Belum genap satu musim, Casemiro sudah memberikan gelar untuk Manchester United. Padahal saya ingat betul, banyak fans Liga Inggris yang meragukan Case.
Waktu saya melihat keraguan-keraguan tersebut, saya nggak bisa untuk nggak heran sama kelakuan-kelakuan bocil kematian yang bacot tentang keraguan mereka. Mereka meragukan Casemiro, pemain yang datang ke United setelah memberi 19 gelar untuk Madrid dalam 9 musim? Udah gila emang.
Memang betul Casemiro pindah ke United ketika sudah berumur 30 tahun. Tapi Case tak menunjukkan penurunan performa. Dia pindah memang untuk merasakan pengalaman baru. Pemain yang sudah merasakan semua gelar yang ada tak perlu diragukan lagi tentang kualitasnya. Terlebih, ia selalu jadi pemeran utama dalam gelar-gelar tersebut.
Maka ketika ia akhirnya memberi gelar untuk Manchester United setelah puasa gelar begitu lama, saya nggak kaget-kaget amat. Dia sebenar-benarnya Madridistas, dalam darahnya mengalir semangat Bernabeu. Trofi, baginya, hanya masalah waktu. Saya yakin United akan kembali ke fitrahnya dengan kehadirannya.
Andai dia pindah ke Chelsea, mungkin Chelsea tak seremuk ini. Eh, bagian ini saya kurang yakin sih.
Dunia tak berputar mengelilingi Inggris
Keraguan-keraguan yang disematkan pada Casemiro, saya yakin, berasal dari fakta bahwa ia datang dari La Liga. Entah kenapa, banyak fans Premier League yang terlalu memandang Inggris adalah pusat sepak bola. Kalau pusat industri, saya masih percaya. Tapi kalau pusat sepak bola dalam hal permainan, prestasi, kekuatan, you name it, saya menolak keras perkara hal ini.
Faktanya, Real Madrid masih terlalu perkasa bagi tim mana pun di Liga Champion. Satu dekade terakhir memperlihatkan bahwa tim Spanyol menguasai Eropa bak lahan bermain. Liverpool dan Chelsea memang sempat juara, tapi dalam satu dekade terakhir, justru Munchen dan Madrid lah yang bisa menjuarai UCL lebih dari sekali.
Tim dari Premier League memang kuat, saya tak akan mungkiri itu. Tapi bukan berarti dunia berputar mengelilingi Inggris. Justru faktanya berkebalikan. Inggris tak bisa mendominasi Eropa selihai Spanyol. Iya, betul, Spanyol, yang kalian ejek kalau nggak Madrid, ya Barca yang juara.
Berangkat dari catatan tersebut saja, harusnya, kedatangan Casemiro tak bisa disambut dengan keraguan. Hanya karena Case menghabiskan banyak waktunya di liga yang dianggap tak “keras”, bukan berarti ia tak tahu caranya main bola. Bukan berarti ia tak tahu bagaimana memenangkan pertandingan. Ia tahu betul akan hal ini.
Real Madrid memang tim brengsek. Brengsek dalam artian, mereka tak menerima alasan apa pun ketika kalah, dan tak menerima hasil apa pun selain juara. Ancelotti memang sedang di atas angin sekarang, tapi kita perlu mengingat bagaimana ia didepak begitu saja semusim setelah membawa Madrid memenangi La Decima.
DNA Madrid dalam darah Casemiro
Ini sudah jadi budaya dalam Real Madrid. Bagi mereka, musim tanpa gelar major ya berarti kegagalan. Mereka enteng saja melepas Copa del Rey atau piala ciki-ciki yang lain demi Champions League. Targetnya ya juara. Mencapai semifinal itu aib. Lha kalau semifinal dianggap standar, ya Ancelotti nggak bakalan dipecat.
Budaya kek gini, bikin pemain punya mental yang bagus. Mereka tahu betul arti bermain di Madrid ya juara. Daya juang mereka, mau tak mau, jadi tinggi. Mereka bisa saja tertinggal atau ditekan sepanjang laga, tapi mereka tetap keluar sebagai pemenang. Casemiro jelas paham hal ini.
Dan itu terlihat dari bagaimana ia masih bisa berdebat dengan Bruno, padahal United baru saja mendapat gelar.
Saya kasih tahu ya, kalau nggak percaya, cek aja videonya di kanal Madrid. Isco, begitu masuk ruang ganti setelah Real Madrid melumat Liverpool di UCL 2018, udah ngomongin kalau dia pengin juara Copa del Rey musim depan. Literally beberapa menit setelah juara piala tertinggi di Eropa, dia sudah mikir musim depan. Kufur nikmat? Nope. Memang itu budaya Madrid. Sehari setelah juara UCL ke-14, pemain Madrid sudah menargetkan untuk fokus piala ke-15. We won, move on, on to the next target.
Madrid Mart
Pemain-pemain bermental seperti ini, tentu aset yang berharga untuk tim mana pun. Casemiro—juga Varane, adalah aset berharga yang MU dapatkan. Pemain-pemain yang sudah lupa rasanya juara harus belajar betul dari dirinya. Untuk tim mana pun yang sudah lupa berjuang, membeli pemain Madrid bisa jadi solusi untuk segera keluar dari puasa gelar.
Saran saya sih, masih ada Mariano Diaz. Meski jarang bermain, kualitas dia nggak kaleng-kaleng. Sengaja nggak dimainin dia tuh, biar sepak bola nggak timpang sebelah.
Setelah Casemiro, saya harap tak lagi ada celetukan buruk tentang pemain luar Liga Inggris yang bernada merendahkan. Fans Liga Inggris harus sadar, bahwa pusat dunia itu bukan Inggris. Di luar sana, masih ada raksasa-raksasa lain yang tahu betul cara bermain bola, dan bisa mendominasi kapan saja.
Ya sesekali napak bumi gitu lho. Ketimbang malu kayak Liverpool, kan susah.
Sumber gambar: Akun Instagram Casemiro
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.