Meskipun sering lewat dan hampir seluruh cabangnya dipenuhi sepeda motor yang parkir, saya belum benar-benar mengetahui apa saja yang dijual di dalam Mirota Kampus. Hujat saja saya kudet, tapi ya memang kenyataannya belum pernah masuk, kok!
Namun, bulan ini, akhirnya pecah telur juga, saya akhirnya berkunjung ke sana dengan seorang teman. Dari kunjungan pertama ini saja, saya dapat menyimpulkan bahwa Mirota Kampus ini sebenarnya adalah miniatur gabungan dari beberapa toko di Yogyakarta: Sakola, Toko Merah, dan Carrefour. Iya, lho mau cari makanan ada, pakaian juga ada, alat tulis dan kampus juga terhitung lengkap. Wes 3 in 1 pokok e, jos!
Ditambah lagi ketika mengetahui patokan harga parkir di Mirota Kampus hanya seribu rupiah. Mana lagi coba parkir yang menerima seribu rupiah, iya ‘kan? Mungkin inilah aji-aji yang digunakan Mirota Kampus untuk menarik pengunjungnya.
Sayangnya, saya pernah mendapatkan cerita dari seorang teman yang bilang kalau dia sempat membayar dua ribu, tetapi tidak mendapatkan kembalian. Entah salah siapa: salah petugas karcisnya yang tidak mengecek uang teman saya ini atau memang kita diminta nrimo ing pandum bahkan untuk hak kembalian seribu rupiah, ya namanya juga di Yogyakarta, Bos!
Akan tetapi, di balik kemudahan menemui beberapa barang yang dicari, Mirota Kampus menyimpan sisi buruknya tersendiri: antrean e ra ngutek, Lur! Sumpah, saya sampai jongkok menunggu antrean lajur saya jalan. Yang bisa saya lakukan hanya menendang keranjang belanjaan dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Maka, masuk akal juga kenapa setiap mahasiswa yang mau ke Mirota Kampus selalu bertanya kondisi dulu ke orang lain: sepi apa ramai? Kalau ramai, ya paling pulangnya pas Iduladha tahun depan! Ril no fek fek!
Se-ngamuk-ngamuk-nya saya kalau antre mencoba baju di Sakola, kiranya saya lebih nggak sabar lagi menghadapi antrean di Mirota Kampus. Terlebih lagi dengan sistem perbelanjaan mereka yang menerapkan semua kasir menerima seluruh bentuk barang pembelian, nggak ada diferensiasinya. Duh, ini bukannya memudahkan, tetapi malah merepotkan.
Dari pandangan pembeli, saya kira sistem kasir di Mirota ini sangat nggak efektif. Saya lihat di lantai 2 Mirota Kampus Simanjuntak yang notabenenya merupakan lantai khusus fashion, ada Ibu-ibu yang membawa keranjang berisi sayuran fresh dari lantai 1. Duh, ini gimana, sih maksudnya? Saya malah pusing lihat barang belanjaannya yang campur aduk dan nggak sesuai dengan tema barang per lantainya.
Spekulasi saya saja, nih mungkin ini adalah strategi marketing. Jika seorang pembeli bisa membayar di kasir yang mana saja, mereka akan berkunjung ke lantai lain terlebih dahulu untuk melihat-lihat. Kalau ternyata cocok, pasti masuk keranjang, wes template! Kalau begini ‘kan, Mirota Kampus lumayan dapat keuntungan sebab pengunjungnya jadi membeli lebih banyak barang. Benar apa betul, nih Mirota Kampus?
Satu hal lagi yang paling merepotkan di Mirota Kampus adalah mencari keranjang belanjaan. Ini bukanlah permasalahan yang nggak ada akarnya. Biar saya jelaskan, ya, kalau seseorang berbelanja dan diperbolehkan membayar di kasir mana saja, ya otomatis pembeli itu akan membawa keranjangnya kemana-mana dulu. Meskipun misal belanjanya sudah selesai, tetapi keinginan ‘lihat-lihat dulu’ itu nggak bisa dipercaya selesai dalam lima menit. Alhasil, kalau kelamaan melihat-lihat, keranjangnya juga menipis dan pengunjung yang baru datang jadi nggak dapat. Wes, repot meneh!
Eman-eman kalau yang rapi dan tertata hanya tempatnya saja, tetapi kasir dan alur belanjanya nggak demikian. Maka, saran saya, sebaiknya Mirota Kampus itu memberlakukan diferensiasi kasir seperti pusat perbelanjaan lainnya. Kalau belanja makanan, ya di lantai supermarketnya. Kalau fashion, ya di tempat fashion. Bukan untuk menurunkan keuntungan, tetapi mengurai antrean yang panjangnya kayak Jalan Anyer-Panarukan. Tolong, berbenah sedikit-sedikitlah, ya biar yang mau berbelanja juga enak.
Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Membandingkan 5 Cabang Mirota Kampus. Mana yang Jadi Juara?