“Mbak, kuliah di mana?”
“Pekalongan, Pak.”
“Oh, STAIN?”
“Hehe, iya itu.” Padahal dalam hati—yaelah Pak, udah ganti IAIN sejak tiga tahun lalu. Tapi yang keluar cuma cengiran aja. Mau nyolot begitu takut dosa. wqwq
Kurang lebih begitu, percakapan yang sering terjadi antara bapak-bapak dan ibu-ibu jika mereka bertanya kuliah di mana. Ya gimana lagi, sejak dulu mereka kenalnya STAIN, mau berubah jadi IAIN atau UIN sekalipun, di hati mereka ya tetap aja STAIN forever.
Jadi buat mahasiswa yang kuliahnya di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri pasti mengalami hal semacam ini. Mereka manut-manut saja, mau dibilang apapun yang penting kuliah. Karena kadang dijelaskan pun, bapak-bapak dan ibu-ibu tydac juga paham. Apa boleh buat, buang tenaga aja, kan?
Seperti kejadian beberapa hari lalu, ada seorang ibu yang bertanya kuliah di mana. Karena mood sedang bagus-bagusnya untuk menjelaskan panjang kali lebar kali tinggi, akhirnya tak jawab, kuliah di IAIN Pekalongan. Dahi ibu paruh baya itu berkerut, analisis simple-nya bingung, aneh, ragu, lucu, ih emang ada. Perasaan hanya ada STAIN, Unikal, STIE, STIKES, STIMIK.
Karena tidak kunjung paham, akhirnya saya menyerah dan menyebut, STAIN, Bu. Dulu namanya memang STAIN, tapi sekarang sudah jadi IAIN. Baru sang ibu mengangguk tahu.
“Kalau STAIN paham, kalau IAIN nggak tau.” Si ibu berujar begitu. Lalu kembali bertanya lagi, “Kenapa ganti IAIN, Mbak? Padahal kan lebih enak ngomong STAIN daripada IAIN. Toh sama saja.”
Siapa yang tidak gemas mendengar pertanyaan si ibu yang begitu? Rasanya ingin cium pipi kanan dan kirinya dengan penuh kasih sayang ehhh, tidak jadi. hehe
Saya jelaskan sedikit. Menurut UU nomor 12 tahun 2002 tentang Pendidikan Tinggi dijelaskan bahwa Institut merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam sejumlah rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, institut dapat menyelenggarakan pendidikan profesi (pasal 59 ayat 3).
Sedangkan Sekolah Tinggi merupakan Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan pendidikan akademik dan dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam satu rumpun Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi tertentu dan jika memenuhi syarat, sekolah tinggi dapat menyelenggarakan pendidikan profesi (pasal 59 ayat 4).
Berdasarkan bunyi UU di atas, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara STAIN dan IAIN terletak pada kata satu rumpun ilmu pengetahuan (untuk STAIN) dan sejumlah rumpun ilmu pengetahuan (untuk IAIN).
Rumpun ilmu pengetahuan yang dimaksud di sini tentu saja adalah ilmu keislaman yang menjadi napas dalam Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, di mana terdiri atas Tarbiyah, Syariah, Ushuludian, Adab dan Dakwah.
Artinya adalah alih status dari STAIN menjadi IAIN juga membawa dampak pada rumpun ilmu pengetahuan yang cakupannya lebih luas lagi, dalam hal ini seperti bertambahnya jurusan baru yang sebelumnya tidak ada. Seperti misalnya jurusan Pendidikan Bahasa Inggris atau Pendidikan Matematika dan lain sebagainya.
Selain itu, ketika menjadi IAIN, struktur kelembagaannya pun berubah. Tidak ada lagi Ketua atau Pembantu Ketua (PK), melainkan berganti dengan Rektor dan Wakil Rektor. Tidak ada lagi ketua program pendidikan (prodi), namun sudah berganti menjadi ketua jurusan (kajur).
Hal paling kentara dan nyata terasa dari perubahan alih status ini adalah terdapat pada pembayaran uang kuliah tunggal (UKT) bagi mahasiswa. Ketika masih STAIN, per semeter mahasiswa masih ada yang bisa menikmati UKT di bawah satu juta rupiah, berbeda jauh dengan mahasiswa baru yang masuk ketika sudah alih status ke IAIN.
Jadi buat ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, bagi yang sering mengatakan STAIN dan IAIN sama saja, tolong diresapi tulisan ini baik-baik. Memang benar sih, STAIN atau IAIN sama-sama perguruan tinggi, tapi tetap saja, kedua hal itu beda jika ditinjau dari berbagai sisi.
Pemahaman perbedaan ini penting bagi kami—mahasiswa yang kuliah di IAIN rasa STAIN—biar tidak dilema lagi ketika ditanya orang-orang.
“Mbak, kuliah dimana?”
“IAIN, Pak.”
“Oh, IAIN tho.”
Biar begitu yang keluar, bukan lagi percakapan seperti tulisan paling atas. (*)
BACA JUGA Sastra Pesantren Kekinian: Jangan Cuma Bahas Kasih Tak Sampai atau tulisan Nina Fitriani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.