Sama seperti kita yang mengalami gegar budaya saat pertama kali datang ke Jepang, orang Jepang pun akan merasakan hal yang sama saat pertama kali datang ke Indonesia. Tentunya Indonesia bagian bukan Bali dan hotel, ya. Bali didesain sedemikian rupa sehingga paham betul kebutuhan dan karakteristik wisatawan Jepang yang berkunjung ke sana sehingga gegar budaya sangat bisa diminimalisir.
Nah, kalau di Indonesia bagian lainnya, tentu ada saja yang membuat mereka awalnya syok dengan hal tersebut. Bagaimanapun bagi orang Jepang, terlebih baru pertama kali pergi ke luar negeri, hal ini sangat lumrah. Hanya butuh adaptasi saja agar bisa menyesuaikan.
Apa saja yang membuat orang Jepang syok?
#1 Toilet dan kamar mandi
Kalau toilet Jepang dikenal sebagai toilet kering di mana hanya ada tisu toilet di sana dan lantai toilet yang selalu dalam keadaan kering, jenis toilet di Indonesia pada umumnya adalah toilet basah. Lantai toilet yang selalu basah adalah ciri khasnya. Ember dan gayung biasanya ada di samping WC-nya atau kalau toilet duduk biasanya bersama dengan semprotan airnya. Tisu toilet di dalam toilet? Ada sih, tetapi hal tersebut sangat jarang di toilet rumah tangga pada umumnya. Ya, kan?
Bak mandi dan gayung juga cukup bikin mereka terheran-heran pada awalnya. Namun, setelah dijelaskan soal sumur dan menimba air, mereka bakal paham, kok. Di Jepang dulu ada sumur juga. Lihat saja itu si Sadako keluar dari sumur. Tetapi, jujur saja selama di Jepang saya belum pernah lihat sumur. Rata-rata sudah pakai PAM.
Selain toilet dan kamar mandi, ada teman Jepang saya yang kaget saat mendapati gulungan tisu toilet diletakkan di atas meja rumah makan. Dia sempat memastikan apakah itu tisu toilet atau bukan. Saya juga kurang paham sih bagaimana awal mula ceritanya tisu toilet bisa bertengger manis di atas meja rumah makan. Jenis tisu toilet memang dibuat lebih tipis karena diharapkan bisa larut ke dalam air setelah diguyur, lho. Mungkin masalah ngirit saja bukan, sih?
#2 Makanan
Makanan sih sudah pasti menjadi hal yang cukup bikin syok saat kita pertama kali mendarat ke sebuah negara. Di Jepang, memang sulit menemukan restoran halal. Makanan halal tidak dijual bebas dan tidak mudah ditemukan. Kadang kita juga harus jereng matanya melihat komposisi makanan untuk memastikan apakah makanan tersebut moslem-friendly atau tidak. Soal kebersihan, higienitas, dan kandungan gizi makanan sih tidak perlu diragukan lagi.
Nah, kalau orang Jepang ke sini tentu tidak peduli halal atau tidak. Mereka lebih peduli terhadap kebersihan dan higienitas makanannya. Soal makanan yang dicampur dalam satu piring sih bukan hal mengejutkan, meski hal ini sebenarnya berbeda dengan Jepang. Di Jepang, makanan disajikan dalam tempat-tempat kecil, seperti mangkok kecil, piring kecil, dll. Makannya pun ambil satu-satu, tidak langsung ditumpuk jadi satu seperti saat kita makan di warteg atau masakan Padang. Makanan berkuah santan juga menjadi primadona di sini, tetapi di Jepang hampir tak ada, lho.
Soal rasa, jangan ditanya, masakan Indonesia katanya enak, kok. Rasa kita jauh lebih bervariasi. Namun, ada juga sih orang Jepang yang sakit diare di awal kedatangannya di Indonesia, entah karena makanannya yang kurang bersih atau tidak cocok dengan pedasnya sambal cabai. Teman saya pernah bawa obat perut buat jaga-jaga, lho. Sepertinya ia diberitahu senpai-nya.
Angkringan juga menjadi “yatai” unik bagi orang Jepang. Makanan bervariasi, harganya murah, tempatnya kecil. Ada bermacam minuman dan orang tak saling kenal pun bisa mengobrol santai sambil kebal-kebul merokok. Di Jepang bisa didenda kalau merokok bukan pada ruangan khusus merokok, tetapi di sini mah bebas, tanpa denda lagi. Ya kan?
Ketar ketir juga lho merekomendasikan kopi jos ke mereka, takutnya malah sakit perut. Haduh.
#3 Raja jalanan: motor
Banyak yang bilang kalau di negara produsen sepeda motor malah sepeda motor jarang digunakan. Memang sih, mereka lebih nyaman menggunakan transportasi umum. Sewaktu pertama kali melihat sepeda motor was wus was wus tikung sana tikung sini, menyalip kanan kiri, mereka cukup kaget, lho. Kesan mereka adalah soal betapa bahayanya naik sepeda motor seperti itu dan hal tersebut tak mungkin dilakukan di Jepang. Kalau lihat betapa ribet aturan dan sistem denda orang Jepang berkendara sepeda motor, saya jadi paham juga kenapa mereka heran. Belum tahu saja dia kalau sepeda motor adalah raja jalanan di Indonesia.
Selain sepeda motor, bus dan angkot kita juga cukup membuat orang Jepang heran. Kalau di Jepang, bayar bus melalui mesin di dekat sopir. Di kita bayarnya ditarik oleh kondektur. Yang mengejutkan sih kalau bus atau angkut penuh bisa sampai bikin penumpang “nggandul”. Berbahaya sekali. Itu dulu sih, sekarang sudah tidak ada pemandangan bus atau angkut penuh.
#4 Tidur vs guling
Keberadaan guling di atas tempat tidur adalah hal yang cukup membuat mereka bertanya-tanya. Apakah semua orang Indonesia memerlukan “daki-makura” agar bisa tertidur? Tentu saja tidak ya. Kalaupun iya, yang jelas bukan guling bergambar karakter waifu, sih. Padahal nyaman juga ya meluk guling itu.
Di Jepang memang banyak yang menggunakan kasur busa dibanding futon (kasur lipat yang biasanya terbuat dari kapas, bulu burung, serat poliester, atau bulu domba). Maka, mereka pun tak heran dengan kondisi kita yang juga menggunakan kasur busa. Mereka belum tahu saja, selain kasur busa, kita juga punya kasur dari kapuk randu dan kapas.
#5 Ayam berkeliaran
Di kota jarang ada ayam berkeliaran, tetapi di desa ayam berkeliaran sampai halaman rumah tetangga dan makan gabah milik tetangganya adalah hal biasa. Pas ada adegan ayam diusir saat makan gabah itu, ada teman yang bertanya, “Kalau diusir, kenapa tidak dikandang saja?” Saya pun bingung menjelaskannya. Kalau semudah itu tentu hidup bertetangga di desa itu tentram dan harmonis.
Belum pula dia bertanya bagaimana kalau ayamnya buang kotoran di sembarang tempat. Duh, ya begitulah, teman. Angel wes angel, susah njelasinnya.
Pengalaman di atas adalah pengalaman saya dulu saat mendampingi mahasiswa dan dosen Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Kalau sekarang sih, bisa jadi orang Jepang Googling dulu sebelum ke Indonesia biar tidak kaget-kaget amat dengan kebiasaan Indonesia. Sama seperti kita kalau ke Jepang ya cari tahu dulu tentang Jepang. Meski kadang sudah menyiapkan hati, tetap saja kaget juga, sih. Eh.
Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Audian Laili