Awalnya, saya pikir kerja di kontraktor proyek pemerintah itu enak meskipun ilmu kita ini pas-pasan. Dapat gaji yang lumayan plus transpor, tidak perlu ikut panas-panasan. Realitasnya berbeda. Alih-alih nyaman, yang saya liat malah pungli dari oknum preman, LSM, wartawan, bahkan masyarakat sekitar.
Jadi begini ceritanya. Ketika seorang teman sekolah menawarkan kerja ikut kontraktor proyek pemerintah, saya langsung menyanggupi. Ternyata teman saya ini adalah bosnya, tapi emang udah tahu sih sebelumnya bahwa dia itu bosnya. Hehehe.
Meskipun kerja bareng teman, bukan berarti segala hal begitu mudah dan gampang. Kerja itu kan harus profesional dan bisa menempatkan diri kapan waktu kerja dan bercanda. Meski temenan, ya kerja tetep nggak semau gue dong ya.
Nah setelah gabung dengan perusahan kontraktor itu, saya langsung ditempatkan ke lapangan sebagai pelaksana teknis. Deskripsinya pekerjaannya sih nggak beda jauh kaya para mandor kebanyakan. Kontrol alias mengecek pekerjaan sih garis besarnya. Gimana nggak enak tuh kerjaan.
Namun, ada satu hal yang benar-benar bikin saya greget kala sedang berada di lapangan, yakni kehadiran orang-orang yang tidak begitu penting, tapi sangat mengganggu, yang ujungnya mengarah ke pungli.
Bagi mereka dan saya sebagai perwakilan dari kontraktor, sudah menjadi suatu hal yang lumrah menemukan pelbagai pungli yang merajalela. Kadang, praktik ini tak lagi dijalankan dengan halus alias kode-kode, tapi memaksa.
Pungli untuk kalangan ini disebut dengan “uang takut”, yang dilakukan oleh oknum atau pribumi daerah lokasi pengerjaan proyek. Kalau tidak diberi, terkadang para oknum atau pribumi itu membuat jalan dengan mencari-cari kesalahan, serta membuat opini yang meresahkan.
Permintaannya pun beragam. Ada yang meminta uang langsung, ada pula yang meminta pekerjaan, ada yang ingin jadi pemasok material seperti batu, kerikil, pasir, dan sebagainya. Hal tersebut tentunya membuat para kontraktor cenderung tertekan. Semakin tinggi nilai proyek dan banyaknya pekerjaan, akan semakin besar pula jumlah uang atau pekerjaan yang diminta.
Pungutan uang takut atau permintaan yang beragam ini hampir terjadi di setiap lokasi pengerjaan proyek. Bahkan, ketika saya berada di lapangan dan sedang mengerjakan pekerjaan konstruksi jalan dan drainase, bukan hanya para oknum preman yang minta hal kek gini, tapi juga masyarakat sekitar proyek.
Sebagaimana yang diamanatkan oleh Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebagai pemberi proyek, kontraktor diminta untuk bisa menyerap sebanyak mungkin pekerja warga pribumi untuk membantu kelancaran proyek. Asalkan memiliki kemampuan dan keahlian dalam bidang konstruksi.
Nah kebetulan tempat proyek yang saya garap masyarakatnya biasa bekerja sebagai buruh kasar. Namun, sayangnya pada awal pengerjaan proyek dan beberapa item pekerjaan yang akan diberikan kepada warga tidak menemukan kesepakatan.
Warga meminta harga pekerjaan borongan yang di luar harga normal, seperti pada pekerjaan drainase yang meminta harga sampai Rp180.000 per kubik, saya dan perusahaan tentunya menolak permintaan tersebut. Sebab, ada pekerja yang sanggup dengan harga Rp150.000 per kubik, meskipun pekerja dari luar wilayah pekerjaan proyek.
Singkat cerita, akhirnya pekerjaan itu dikerjakan oleh orang luar. Namun, bukan berarti masalah ini selesai begitu saja. Warga pribumi tetap meminta jatah pekerjaan lainnya. Saya pun menyanggupinya, kebetulan memang ada pekerjaan yang agak nanggung, jadi mungkin mereka bisa dipekerjakan di sektor tersebut.
Oke, untuk hal yang berkaitan dengan warga pribumi dapat dibuat jalan keluarnya dan bisa dikatakan beres. Eits, bukan berarti permasalahan non teknis ini akan berakhir begitu saja. Seperti yang diungkapkan pada awal tulisan ini, oknum preman, wartawan, dan LSM belum kita bahas nih.
Nah ketiga jenis oknum ini sangat meresahkan. Meskipun mereka selalu bilang sekadar memonitor, tapi itu cuma kedok. Ujung-ujungnya mereka ini meminta jatah atau bahasa keren dari oknum wartawan yang saya temui adalah “profil”. Hadeh.
Lantas, bagaimana menanggulangi orang-orang itu? Ya terpaksa kita harus memenuhi keinginannya, karena percuma saja untuk mengatakan tidak karena rasanya begitu nano-nano. Meskipun kita sudah memberikan penjelasan pekerjaan dan hal-hal lainnya, tetap saja hal itu tidak dapat menyelesaikan masalah.
Pasalnya para oknum itu berpikir bahwa kita sebagai kontraktor pun tidak benar-benar melaksanakan pekerjaan sesuai spek yang ada. Menurutnya kita ini hanya mencari keuntungan semata. Alamak sampai segitunya. Munafik bener dah.
Padahal ya namanya kerja itu pasti cari untung, cari duit, kalau nggak, ngapain kerja?
Nah, itu beberapa hal yang sering saya temui dan alami selama bekerja di proyek pemerintah. Meski katanya kerjanya menyenangkan, tapi realitas di lapangan bisa berbeda 180 derajat. Butuh mental kuat dan sikap “yaudah gimana lagi” untuk bisa selamat di hutan belantara proyek pemerintah ini.
Jadi kalau mau ikutan kerja di proyek pemerintah, udah tau kan yang harus dilakuin? Yak benar, kerja, kerja, kerja, bodo amat.