Sebagai orang berlabel generasi 90-an yang lahir di tahun 80-an, masa kecil saya tentu tak mengenal gawai dan jaringan internet. Bangun pagi, sekolah, pulang, main, mengaji, main lagi, istirahat malam. Begitu saja. Namun, ada yang khas dari kehidupan masa kecil kami di tahun 90-an, yaitu melimpahnya bacaan khusus untuk anak-anak. Mulai dari komik, buku berseri, sampai majalah dan tabloid. Kalau bicara mengenai majalah, tak lain dan tak bukan, imej pertama yang muncul di kepala para generasi 90-an pastilah majalah Bobo.
Tetapi, apa kalian tahu bahwa ada banyak sekali majalah dan tabloid sejenis saat itu? Salah duanya adalah tabloid Fantasi dan majalah Mentari.
Tabloid Fantasi: Bocoran Serial Anak dan Gim
Ibu saya mulai berlangganan majalah Bobo sejak saya berusia dua tahun dan belum bisa membaca. Jujur, Bobo lah yang menjadi pemantik saya untuk rajin belajar membaca. Dan saat akhirnya lancar membaca di usia tiga tahun, Ibu memutuskan menambah bahan bacaan saya dengan berlangganan tabloid Fantasi.
Tabloid Fantasi ini cukup berbeda dengan majalah Bobo. Pertama, jenisnya saja sudah lain, ya. Bobo berbentuk majalah alias seperti buku tapi dengan ukuran besar, sedangkan tabloid Fantasi—sesuai namanya—bentuknya lebih mirip seperti surat kabar dengan ukuran sedikit lebih kecil. Bila majalah Bobo bisa dibaca sambil tiduran (iya, ini buruk, jangan ditiru!), tabloid Fantasi tidak bisa. Karena ukurannya yang lebar, memang lebih nyaman membacanya dalam keadaan duduk.
Dari segi isi pun, tabloid Fantasi ini cukup berani tampil beda. Fantasi terbit dengan mengusung sejumlah resensi film dan serial anak yang tayang di televisi. Dengan jumlah tayangan khusus anak yang saat itu melimpah, tentu saja ini termasuk ide yang cerdas.
Dulu saya selalu menanti-nanti bocoran seri Ksatria Baja Hitam terbaru, lalu memamerkannya ke teman-teman (yang tidak berlangganan), dan kemudian menonton sambil histeris sendiri karena perpaduan sudah sedikit tahu bocoran ceritanya dan rasa penasaran akan ending-nya.
Saya ingat, betapa sedihnya saya saat tahu Ksatria Baja Hitam bertransformasi menjadi RX Bio dan RX Robo. Iya, saat banyak anak lain yang senang dengan perubahan itu, saya malah sedih karena memang lebih suka dengan sosok Ksatria Baja Hitam yang orisinil bersama motor belalang tempurnya.
Serial lain yang juga saya tunggu-tunggu bocorannya adalah—apa lagi kalau bukan—Mighty Morphin Power Rangers. Saya juga mengalami banyak kekecewaan saat tahu lebih dulu bahwa Tommy yang awalnya bermusuhan, malah jadi satu geng dengan para Power Rangers. Saya lebih tertarik dengan Tommy sebagai tokoh villain, sih. Ehehehe.
Tetapi, ada satu bahasan yang tidak pernah bisa saya ikuti di tabloid Fantasi, yaitu gim. Tak main-main, Fantasi punya empat halaman khusus untuk membahas gim-gim yang sedang tren saat itu. Saya bukan gamer dan tidak suka main gim, jadi ya rubrik yang sedang hype itu justru saya lewatkan begitu saja.
Hal lain yang saya ingat juga adalah tabloid Fantasi ini tidak terlalu sering memberikan bonus untuk kami para pelanggannya. Tidak seperti majalah Bobo yang suka memberi poster atau bundling hadiah lainnya, Fantasi lumayan jarang melakukannya. Mungkin redaksinya berpikir bahwa rubrik yang mereka usung sudah cukup untuk menarik perhatian pembaca.
Majalah Mentari yang Warna-warni
Tahun 1995 saya diajak oleh orang tua pindah dari Palembang ke Surabaya. Otomatis sesi berlangganan majalah Bobo dan tabloid Fantasi pun terhenti. Di rumah Surabaya, saya menemukan banyak sekali seri majalah anak-anak yang sebelumnya tidak pernah saya tahu. Namanya majalah Mentari. Bentuknya sama dengan Bobo, isinya juga full warna-warni.
Sebelum saya pindah ke Surabaya, rumah itu hanya ditempati oleh Mbah Putri dan satu Bude saya. Tapi, kenapa ada banyak majalah Mentari, ya? Kata Mbah Putri, dulu almarhum Mbah Kakung saya turut membantu proses awal terbitnya majalah ini. Jadi sebagai rasa terima kasih, Kak Kresno Mulyadi memutuskan untuk terus mengirimkan hasil cetaknya ke rumah kami walau Mbah Kakung sudah tiada.
Bagi kalian yang mungkin belum tahu, majalah Mentari ini murni cetak dan terbit di Surabaya lho. Di saat majalah dan bacaan anak lainnya bermarkas di ibu kota negara, Kak Kresno cukup berani untuk tampil beda. Itulah alasannya kenapa anak-anak yang tinggal di daerah Jawa Timur lebih akrab dengan majalah Mentari dibanding lainnya. Walau begitu, pendistribusiannya sudah sampai skala nasional. Nggak kaleng-kaleng.
Lalu, bagaimana dengan isinya?
Wuah, bagi kalian yang hobi membaca, Mentari adalah surga dunia. Bacaannya banyak sekali. Bagi saya, hal ini juga yang menjadikan majalah Mentari berbeda dengan terbitan lainnya. Bacaan yang ada di dalamnya mayoritas adalah cerita pendek, tapi terasa panjang bagi ukuran anak-anak. Eits, jangan salah. Di sini redaksinya memainkan trik cerdas, karena sepanjang apa pun ceritanya, tidak ada yang namanya kata bosan saat membacanya. Pasti dibikin penasaran dan akhirnya menjadikan saya membacanya sampai kelar.
Yang paling saya ingat dari majalah Mentari adalah serial Hamindalid. Siapa Hamindalid? Hamindalid ini ceritanya sih adalah seorang penyihir. Tapi bukan penyihir dengan tampilan seram, ya. Hamindalid ini bergelar penyihir kocak saking lucunya. Tapi isi ceritanya penuh dengan informasi dan pengetahuan. Misalnya, pengenalan berbagai macam hewan atau juga proses pembuatan makanan atau minuman. Jadi asyik kan bacanya.
Selain Hamindalid, ada juga Abunawas. Kalau kalian pikir Abunawas di sini adalah tokoh yang sama dengan yang selama kalian kenal, ya bisa dibilang mirip lah. Dongeng Abunawas si penyair cerdik dengan tampilan yang “Arab banget” ini jadi salah satu cerita yang selalu saya tunggu-tunggu. Biasanya saya sengaja melewatinya saat pertama kali menerima majalah edisi terbaru, dan akan saya baca paling akhir nantinya.
Seperti bacaan anak lainnya, majalah Mentari tetap menyisipkan berita dan informasi terbaru dari tokoh artis atau penyanyi anak-anak. Di tahun-tahun itu, musik Indonesia memang dipenuhi banyak penyanyi cilik. Otomatis berita seputar Agnes Monica, Joshua, Trio Kwek-Kwek, dan yang lainnya menjadi santapan tetap bagi kami para pelanggannya.
Mentari juga tidak pelit dengan bonus dan hadiah. Sering memberi bonus poster film atau foto artis cilik, belum lagi rubrik TTS dan mewarnainya yang juga selalu berhadiah. Dari rubrik perkenalan di majalah Mentari juga saya mendapat banyak sahabat pena saat itu. Hmmm, saya jadi kangen.
Dua bacaan yang saya bahas ini memang sudah jadi sejarah, ya, Mylov. Alias sudah tidak terbit lagi. Sedih sih belum sempat mengenalkan mereka ke anak-anak saya. Padahal bacaan berkualitas seperti inilah yang sebenarnya selalu dibutuhkan oleh anak-anak di usia sekolahnya. Informatif dan edukatif.
Sumber Gambar: Fimela.com
BACA JUGA Mengenal Bedak Saripohatji, Bedak Populer dari Zaman Nenekmu Muda dan tulisan Dini N. Rizeki lainnya.