Bekerja di industri manufaktur—atau sebut saja pabrik—mungkin bukan impian semua orang. Membayangkan gersangnya kawasan industri, problematika outsourcing, hingga persoalan upah saja sudah bikin banyak orang engap. Menariknya, bekerja di pabrik juga banyak melahirkan stereotip di kalangan masyarakat umum yang sayangnya banyak naik pangkat jadi stigma. Beberapa stereotip seorang buruh pabrik, mau yang serius atau yang lucu, tentu saja perlu dikoreksi supaya gambaran tentang profil buruh pabrik nggak lahir jadi gambaran yang “menyesatkan”.
Setidaknya ada 5 stereotip yang saya, seorang buruh pabrik, rasakan dan alami sendiri. Bisa saya pastikan kelimanya keliru dan penting untuk saya jelaskan agar khalayak minimal berani mengirim CV ke pabrik. Mari bersama kita gapai asa dalam debu-debu kawasan industri! Azeeek~
#1 Buruh adalah pekerja kasar
Ini stigma serius yang telanjur mewabah. Entah siapa yang mulai duluan menggambarkan buruh dengan pekerjaan yang sifatnya kasar. Media kah? Pemerintah kah? Atau justru buruh itu sendiri? Ndak tahu. Ingat bos, semua tenaga kerja di Indonesia bernaung dalam satu undang-undang yang sama, yaitu UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2013. Mau karyawan bank, jurnalis, juru masak, bahkan freelancer sekalipun, ketika menerima kontrak kerja dan diberi upah atas pekerjaan itu, maka ia adalah seorang buruh atau pekerja.
Mau penjelasan lebih substansial lagi? Oke. Hal paling substansial adalah soal kepemilikan alat-alat produksi. Ketika kamu punya alat-alat produksi dan membayar orang untuk mengoperasikannya, maka kamu adalah majikan atau pengusaha. Sebaliknya, ketika kamu bekerja dan diberi upah untuk mengoperasikan alat-alat produksi itu, maka kamu adalah buruh. Nah, kalau buruh pabrik gimana? Ya artinya pekerja yang bekerja di pabrik. Sesederhana itu.
#2 Lulusan Teknik
Pekerja pabrik sudah terlanjur lekat dengan gelar sarjana teknik, mau itu teknik industri, mesin, elektro, atau teknik lainnya. Ketika orang tahu saya kerja di pabrik, pertanyaan apa yang langsung keluar dari mulut mereka? Yak, benar sekali. “Lulusan teknik apa, Mas?”
Wah, Bos, memangnya komoditas kalau nggak dipasarkan dan dijual bisa laku sendiri? Saya seorang marketing, btw. Jadi buat teman-teman job seeker yang bukan lulusan Teknik, atau kalau kamu takut kotor, nggak perlu berkecil hati, ya. Banyak kok jenis pekerjaan di pabrik yang nggak bersentuhan langsung dengan mesin. Semangaaat!
#3 Selalu strong
Jangan lupa kalau kami ini juga manusia biasa. Anggapan buruh pabrik itu selalu kuat wajar juga, sih, lantaran tiap hari berhadapan dengan mesin dan suara bising. Belum lagi pengawasnya biasanya galak-galak. Selain fisik, mental juga harus tebal.
Nah, berbeda dengan pekerja yang ada di bagian “kantor” seperti saya, bagian personalia, gudang, atau lainnya. Walaupun seragam kerja kami sama, tapi kami juga bisa sakit kok kalau kehujanan. Waktu diputusin pacar kami juga sambat. Maaf, ya, menjatuhkan ekspektasimu…
#4 Demo terus, kapan kerja?
Beberapa rekan buruh pernah melakukan aksi demonstrasi atau unjuk rasa. Wajar saja kan kalau itu terjadi di Indonesia yang sangat demokratis dan menghargai kebebasan berserikat ini? Setiap perusahaan industri, besar atau kecil, biasanya punya Serikat Pekerja.
Tujuannya apa? Ya mewujudkan kesejahteraan pekerja lah. Bisa juga sebagai media bagi pekerja untuk menyampaikan aspirasi dan sebagai alat check and balance yang memastikan semua peraturan dan kehidupan di lingkungan kerja berlaku adil.
Tapi, kalau dibilang hobi demonstrasi, memangnya setiap hari? Ya nggak lah, Bos. Palingan hanya di hari-hari tertentu seperti May Day atau waktu ada peristiwa penting seperti Omnibus Law yang ramai kemarin. Kalau hobi itu yang kayak kamu, hobi stalking mantan…
#5 Minumnya KukuBima
Buruh pabrik itu minumnya KukuBima, apalagi yang rasa anggur. Beuh, itu hampir pasti selalu ditawarkan kalau saya mampir ke warkop sepulang kerja pas masih pakai seragam. Monmaap nih, banyak di antara teman-teman kerja saya yang malah menghindari minuman itu, soalnya kita minum Extra Joss. Hehehe, canda. Kami semua paham kok minuman energi atau suplemen itu ada batas penggunaannya, alias nggak bisa dikonsumsi setiap hari. Masih tetap lebih enak ngopi lah apalagi sambil sebats dan push rank. Ya, kan?
Penulis: Dimas Bagus
Editor: Intan Ekapratiwi