Salah satu menu khas Nusantara yang banyak digemari adalah nasi padang. Persebaran RM Padang yang menyerupai jamur di musim hujan, menjadi bukti bahwa nasi padang bukan sembarang nasi. Dengan cita rasanya yang kaya, kuliner ini telah menjelma menjadi bagian dari peradaban.
Literatur mencatat, nasi padang telah ada sejak zaman kolonial Belanda, tepatnya sekitar abad ke-20. Yaitu ketika Belanda membuat jalur transportasi pada masa PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Bukittinggi. Hingga saat ini, ketika pemerintah bikin Ibu Kota Negara (IKN) pun, nasi padang masih eksis. Bahkan, RM Padang mulai jamak ditemukan di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Belanda, dll.
Meskipun sudah mendunia, bukan berarti kuliner ini hadir tanpa cela. Dosa-dosa penjual nasi padang, terutama yang bukan orang Padang asli, bisa kalian baca di tulisan ini. Yah, maklum, namanya juga makanan, dia harus menyesuaikan diri dengan daerah setempat semata agar rasanya bisa lebih diterima warga.
Maka alih-alih mengomentari tentang dosa-dosa penjual nasi padang, saya justru ingin sambat tentang hal-hal yang bikin kesel saat membeli makanan ini. Siapa tahu kalian juga pernah merasakannya.
#1 Pelayan jutek
Ada rasa deg-degan tiap kali masuk ke RM Padang. Gimana ya, sering kali saya ketemu dengan pelayan yang jutek, sih. Blas nggak ada senyumnya. Kadang, pelayannya cuma jalan ke etalase, menyibak tirai penutup, lalu diam mematung di hadapan si lauk-lauk menunggu saya menyebut pesanan. Bukan cuma itu. Saat menyebutkan total harga yang harus saya bayar pun, lagi-lagi dia lakukan tanpa senyum.
Konon katanya, karakter orang Sumatra pada umumnya begitu. Keras, tegas, dan nggak suka bertele-tele. Ya saya sih maklum-maklum saja ya, tapi minimal kasih senyum dikit bisa kali, Uda~
#2 Nasi lembek
Hal selanjutnya yang bikin saya kesal sebagai pelanggan saat membeli nasi padang adalah ketika mendapatkan yang nasinya lembek. Astaga, jadi berasa pengin join ke sekte makan nasi padang pakai sendok!
Gimana, ya? Nasi padang itu kan nasi yang disiram dengan kuah gulai. Lha, kalau nasinya sudah lemes, ditambah kuah, ya jadi bubur, dong? Nggak menantang banget kan buat gigi-gigi saya.
Itu sebabnya di daerah asalnya, kuliner ini disajikan dengan nasi pera, yaitu nasi yang tiap butirnya nggak saling menempel. Tujuannya ya supaya ketika disiram dengan kuah gulai yang lezat, nasinya nggak berubah jadi bubur.
Baca halaman selanjutnya