Sering kali saat saya sedang mengobrol dengan ibu saya via telepon dan kebetulan ada teman dari Jawa mendengarkan, mereka akan langsung bilang kalau bahasa saya aneh. Seperti bahasa orang Spanyol, Italia, Filipina. Tidak sedikit juga yang komentar kalau bahasa yang saya gunakan ini lebih mirip bunyi-bunyian dibandingkan bahasa pada umumnya. Untuk teman-teman saya yang sering ngeledek soal bahasa (Wakatobi) saya yang aneh, mari saya ceritakan beberapa hal aneh lainnya yang mungkin saja bikin Anda kaget ketika ke Wakatobi suatu saat nanti.
#1 Asal nama
Orang yang tidak pernah mendengar nama Wakatobi, biasanya akan mengira tempat ini ada di Jepang. Padahal, Wakatobi ini ada di Sulawesi, Sulawesi Tenggara lebih tepatnya. Ia di bagian tenggaranya Sulawesi Tenggara dan berhadapan langsung dengan Laut Aru.
Selain itu, Wakatobi ini adalah kabupaten kepulauan. Ia terdiri dari empat pulau besar yaitu, Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko, dan beberapa pulau kecil lainnya. Nama Wakatobi sendiri adalah akronim dari nama empat pulau besar yang diambil huruf depannya saja (WAngi-wangi, KAledupa, TOmia, BInongko).
#2 Pasang surut aneh
Sejak SD kita mengenal konsep pasang surut air laut sebagai kejadian periodik naik turunnya air laut yang disebabkan oleh gaya gravitasi bumi. Di Wakatobi, juga terjadi pasang surut secara periodik. Namun, pasang surut di Wakatobi cukup berbeda. Pasalnya, jarak pasang dan surut akan terjadi dengan sangat jauh. Biasanya, bisa sampai ratusan meter bahkan beberapa kilometer.
Kalau ini terjadi saat kita tengah berada di kapal, ini membuat kapal tidak dapat mendekat ke pantai atau dermaga sehingga kita harus turun dan berjalan kaki. Ya, kita betul-betul harus berjalan kaki di area yang pada kondisi pasang tinggi airnya bisa mencapai dua meter.
#3 Pohon mangrove tumbuh di batu
Di Wakatobi, mangrovenya tidak hanya tumbuh di pasir atau lumpur seperti magrove pada umumnya. Di sini, ada jenis magrove yang justru hidup di batu. Jenis mangrove ini punya batang dan daun yang cukup kecil-kecil. Terkadang, banyak yang mengira bahwa si magrove ini sedang meranggas. Padahal, kondisinya dari kecil sampai tua ya memang segitu-segitu aja.
#4 Bahasa dan nama tempat yang akan bikin orang ketawa
Seperti yang saya jelaskan di awal tulisan ini, kemungkinan orang tertawa mendengar saya ngomong dalam bahasa Wakatobi lebih tinggi dibandingkan mereka yang merasa kebingungan. Pertama, tentu saja bahasa saya yang mirip bunyi-bunyian itu. Kedua, soal rumitnya berbahasa Wakatobi ini. Saya pernah membahas soal rumitnya bahasa Wakatobi tersebut di sini, di sini, dan di sini.
Selain bahasa, nama tempat di wakatobi berpotensi membikin orang luar Wakatobi yang mendengarnya akan tertawa. Mari saya perkenalkan beberapa di antaranya.
Ada nama Kompo nu One, yang berarti Perut Pasir. Saya sarankan untuk membaca “Kompo Nu One” versi Indonesia aja. Jangan membaca “One” dalam bahasa Inggris, ya. Ada pula “Mola” yang merupakan kawasan Suku Bajo terbesar yang ada di Wakatobi.
Selain itu, ada beberapa nama berikut yang tampaknya bisa bikin Anda keseleo lidah. Misalnya, Sampela, Lente’a, Mantigola, Papalia, Rukuwa, Bante, Waha, Runduma, Ambeua, dan Dunia Baru.
#5 Lampu merah baru ada sejak 2019
Bagaimana mungkin sebuah daerah yang “merdeka” dan berotonomi daerah sendiri sejak 2003, baru punya lampu merah pada 2019? Itu pun cuma di satu lokasi dari empat pulau besar yang jadi bagian dari Wakatobi.
Hal ini dikarenakan, pemukiman belum cukup padat di sini. Namun, alasan lainnya karena jalanan di Wakatobi identik dengan jalanan panjang dari selatan ke utara dan sebaliknya ataupun dari timur ke barat dan sebaliknya. Bisa dibilang, justru akan jadi aneh ketika ada lampu merah karena nggak ada urgensinya juga.
Untuk saat ini, pulau-pulau di sini biasanya akan macet saat kampanye. Entah itu untuk Pilkada, Pileg, Pilgub, ataupun Pilpres.
Penulis: Taufik
Editor: Audian Laili