4 Hal Jadi Mahasiswa UGM Itu Nggak Enak

4 Hal Jadi Mahasiswa UGM Itu Nggak Enak terminal mojok.co

Kalau ditanya siapa perdana menteri terbaik dalam sejarah nusantara, saya akan menyebut Gajah Mada dan Luhut Binsar Panjaitan. Kalau menyebut salah satu universitas terbaik Indonesia, saya akan menyebut Universitas Gadjah Mada (UGM).

Namun, jangan bayangkan FTV, apalagi kehidupan seperti film Holywood. Jadi mahasiswa UGM bukanlah drama yang penuh cita dan cinta. Jadi mahasiswa UGM memang biasa saja kalau tidak bisa dibilang tidak sesuai ekspetasi. Apalagi membayangkan Anda menabrak lawan jenis lalu jatuh cinta. Sebaiknya, Anda segera cuci muka agar tidak terlalu halu.

Jujur saja, saya bilang demikian bukan karena telat lulus. Tapi sebagai lulusan yang 7 tahun ndekem di UGM, saya merasa kompeten untuk mereview kampus dengan jas almamater yang warnanya agak “wagu” ini. Apa yang banyak dimimpikan calon Gamada memang sering berbeda dari realita, kok.

Jadi daripada sibuk berkhayal, berikut saya sampaikan realita jadi mahasiswa UGM. Tentu sesuai dengan apa yang saya lihat dan rasa. Jadi, mari saya hantarkan Anda menuju UGM undercover.

#1 Jalanan sekitar UGM bisa mengganggu kesehatan mental Anda

Mari saya buka dari perkara infrastruktur, terutaman akses jalan. Mungkin dalam benak Gamada, jalanan UGM akan semulus jalan tol. Kan kampus terbaik, pasti perkara infrastruktur akan layak dan nyaman dilalui. Sayang sekali, mimpi Anda akan dipukul telak oleh realita.

Meskipun lulusan UGM banyak yang terlibat dalam pembangunan skala nasional, tapi jalan raya di sekitar UGM jauh dari kata layak. Batako lepas dan tidak rata masih disempurnakan oleh polisi tidur yang ukurannya naudzubillah. Kalau polisi tidur biasa bisa disebut perwira muda, polisi tidur di UGM setingkat Kabareskrim

Sudah rusak, jalan kampung di sekitar UGM juga selayaknya labirin. Apabila Anda tersesat di kasultanan Pogung, saya sarankan untuk menetap sekalian. Bisa jadi, Anda tidak bisa keluar sampai Jokowi 4 periode. Sungguh, melalui jalanan UGM benar-benar menguras mental.

#2 Beda fakultas serasa beda universitas

Misalnya, Anda menjadi mahasiswa di Fakultas Teknik, apakah Anda pernah melihat kehidupan akademisi Fakultas Peternakan di kampus? Atau merasakan dinamika perkuliahan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis? Kecuali, Anda aktivis kepolen atau gabut setengah mati, semua hal tadi adalah alien bagi Anda.

Inilah intinya. Ketika kampus lain lebih guyub antar fakultas, di UGM yang terasa malah seperti beda universitas. Tidak hanya manusianya, bahkan pembangunan dan fasilitas kampusnya berbeda. Satu fakultas memiliki gerai starbucks, di fakultas lain beli kopi sachet harus utang.

Jadi, jangan harap Anda bisa menabrak lawan jenis dari fakultas lain. Yang ada, Anda malah bingung mereka mahasiswa mana. Apalagi kalau Anda dari fakultas paling timur dan bertemu lawan jenis dari Fakultas Kedokteran. Benar-benar istimewa dalam ketimpangan. Persis seperti kota di mana UGM berdiri dan berada.

#3 Ngaku Jogja tapi di Sleman

“Wah kuliah di Jogja, ya?” ujar banyak orang saat mendengar saya mahasiswa UGM. Yah wajar sih, karena di benak orang Jogja itu kota yang besar dan megah. Dan di dalamnya bertaburan berbagai universitas terkemuka. Dari UGM, UNY, dan Sanata Dharma. Maklum, gelarnya saja kota pendidikan.

Nyatanya nggatheli. Ketiga kampus tadi berada di Sleman! Alias di kabupaten dan bukan kota. Yah kalau kita menyebut Jogja sebagai provinsi, sih ada benarnya. Tapi kalau bicara kota, UGM hanyalah kampus kabupaten. Tapi gimana lagi. Kalau menyebut “kuliah di Sleman” malah dibalas “Sleman itu mana?”

Ya, nggak apa-apa kalau mau berhalusinasi kuliah di kota besar biar berani bersaing dengan UI dan ITB. Tapi di balik halu kalian, Anda semua sedang kuliah di kabupaten yang UMR-nya dua jutaan saja.

#4 Ekspetasi ketinggian, padahal biasa saja

Mahasiswa UGM itu luar biasa kata orang. Penuh dengan cendekiawan muda yang sepanjang hari berdialektika membawa pengetahuan masing-masing. Tapi itu kan jarene. Nyatanya UGM tak ubahnya kampus lain. Dengan dinamika perkuliahan yang sama saja.

Di UGM tetap ada lift yang bunyinya cekit cekit. Di UGM tetap ada mahasiswa plonga-plongo macam saya. Di UGM tetap ada candaan receh yang jauh dari nuansa intelektualitas. Kuliah di UGM ya sama seperti kampus lain, kok. Meskipun tetap ada yang membuat UGM lebih istimewa. Misalnya, perkara fasilitas riset dan UKT yang setinggi Merapi.

Dan kalau bicara lulusannya, tidak semua jadi Jokowi. Tidak semua jadi Anies. Tetap ada mahasiswa mangkir. Tetap ada yang telat lulus. Tetap ada mahasiswa yang kemalingan helm.

Sumber Gambar: Unsplash

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version