MOJOK.CO – Pemerintah, eksekutif, kan pelayan publik ya. Kenapa dinamai pemerintah? Akhirnya kelakuannya jadi pemerintah beneran. Tukang perintah. Semena-mena sama tuan yang ngebayar dia.
Bill Murray, aktor kawakan itu, satu kali pernah bilang begini: “Jadi, kalau kita berbohong pada pemerintah, itu kesalahan. Tapi kalau pemerintah yang berbohong pada kita, itu politik.” “Bahasa politik didesain untuk membuat kebohongan terdengar seperti kebenaran dan pembunuhan bisa diterima.” Kalau yang terakhir ini kata George Orwell.
Jadi paham ya, kesalahan atau kebohongan yang dibuat para politisi, ya memang sudah lakunya begitu. Tapi kalau warga yang dianggap berbohong, nah itu lain perkara. Bisa dilaporin, ente. Kena pasal, ente.
Pokoknya, selama para eksekutif dianggap dan disebut pemerintah alias tukang beri perintah, selama itu pula mereka merasa punya kekuasaan berlebih, termasuk dan terutama kekuasaan untuk menindas dan sewenang-wenang.
Relasi pemerintah dan warga yang begini ini menempatkan pemerintah sebagai penguasa. Sementara, warga masyarakat yang memberi kursi kekuasaan itu adalah warga yang harus patuh atas semua perintah pemerintah. Hukum dan aturan dibuat untuk melengkapi relasi tersebut.
Ingat di acara ILC kemarin, ketika Rocky Gerung melontarkan pernyataan bahwa Jokowi tidak paham Pancasila. Anggota DPR Junimart Girsang mengancam akan melaporkan Rocky ke polisi karena telah menghina “simbol negara”.
Simbol negara? Woi, kata Dr. Irman Putra Siddin, presiden mah bukan simbol negara. Bendera, bahasa, lagu kebangsaan, dan lambang negara itu noh baru simbol negara. Gimana sih, anggota DPR bertabur gelar termasuk SH, kok bisa salah fatal begitu?
Gejala the king can do no wrong sudah ada sejak presiden pertama. Jangan lupa juga ketika Soeharto marah dan mematikan hak perdata anggota Petisi 50 karena mengkritik Soeharto yang telah menyamakan dirinya dengan Pancasila.
“Yang mengkritik saya berarti mengkritik Pancasila,” begitu kata Soeharto dulu. Apa bedanya pernyataan Suharto itu dengan ancaman Junimart Girsang di atas, coba? Apah bedanyah?
Makanya, seperti di banyak negara yang demokrasinya sudah khatam dan pejabat tingginya menyebut diri mereka civil servant, kita pun harus mengembalikan arti kata dan fungsi para eksekutif sebagai pelayan publik! Bukan tukang memberi perintah (pemerintah).
Orang mungkin akan mengatakan bahwa jabatan kepala negara, menteri, kepala daerah adalah jabatan politik yang penentuannya dibuat lewat proses politik. Presiden dan kepala daerah lewat pemilihan, sementara para menteri lewat negosiasi dan senggol-senggolan sambil ngasih kode.
Sementara, yang masuk kategori civil servant adalah para birokrat di bawah-bawah mereka. Pamong praja gitulah, istilahnya.
Tapi kan mereka satu kesatuan yang tak terpisahkan. Emangnya para birokrat itu bekerja bukan atas arahan para bos mereka? Kalau para birokrat itu kita anggap para pembokat, apakah bosnya pembokat bukan pembokat juga namanya?
Lah, mereka ada dan eksis di posisi mereka itu, dari mana asbabun nuzulnya kalo bukan dari suara rakyat? Baca lagi teori-teori kontrak sosialnya Ibnu Khaldun atau yang lain, tentang muasal dibentuknya institusi negara.
Mari kita lihat akar kata government dalam Inggris yang berinduk dari kata Latin gubernare, yang juga terdapat pada beberapa lingua franca seperti Prancis kuno (governer), Spanyol (gobernar), dan Italia (governare). Semuanya mempunyai arti yang kurang lebih sama: ‘to steer; to pilot’.
Penyerapannya ke dalam bahasa Indonesia, yang paling dekat, ya gubernur. Kata itu mempunyai arti sopir, nakhoda, pilot yang menyetir dan mengendalikan kendaraan. Kayak sopir ojol, lah. Para sopir atau pengendali ini adalah kita, rakyat, yang milih. Persis kayak kita milih mau naik taksi reguler atau online.
Setelah naruh bokong di jok kendaraan, kita bisa bilang, “Tolong anter ke kantor Pak Junimart,” misalnya. Lalu kita bisa juga bilang dengan nada memberi perintah, “Jangan ngebut, pelan-pelan aja!” Dan kalau si sopir macem-macem bikin kita tak nyaman, kita bisa komplain ke perusahaan mereka.
Begitu juga dengan para pelaksana negara ini. Mereka para pengendali kendaraan (iya, sopir) yang akan membawa kita, para rakyat ini, ke baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur. Makanya kalau para pelaksana itu disebut pemerintah, dilihat dari akar katanya, ya gabener.
Jadi kita harus menegaskan kembali bahwa lembaga-lembaga eksekutif itu cuma pelayan publik! Dari kepala negara, para menteri, kepala daerah, mereka semua pembokat publik. Jangan sakralkan mereka. Mereka harus menghamba pada kepentingan publik. Kita, warga negara, rakyat, inilah para juragan mereka.
Oleh sebab itu, dalil hukum yang memberi celah untuk menghukum orang yang dianggap (atau dikerjain) sebagai “penghina” padahal aslinya cuma komplain/ngritik kepala negara, harus dibuang! Dihapus! Karena logikanya jadi aneh. Ha, pelayan kok menghukum juragan? Masa juragan nggak boleh ngritik jongosnya?
Harus ada hukum yang mengatur penghinaan, pelecehan, atau kekerasan yang dibuat para penyelenggara negara, dalam bentuk tindakan, perkataan, pikiran, kebijakan, aturan terhadap rakyat juragan mereka. Sungsepin ke bui dan jabatannya langsung dibikin rontok! Kalau perlu, nggak usah pake delik aduan segala!
Di masa Orde Baru dulu, dalam sebuah pertemuan para aktifis ornop yang baru pulang dari konferensi di luar negeri, mereka membahas perintah Mendagri Jendral Rudini agar mereka membuat laporan resmi kegiatan mereka di luar negeri ke pemerintah.
Perdebatan menghangat. Lalu bersuaralah mendiang Pak Yap Thiam Hien, kurang lebih begini: “Logika kalian itu kacau! Sejak kapan warga negara punya kewajiban melaporkan apa yang ia lakukan, ke pemerintah? Mereka pemerintah itulah yang harus memberi laporan ke rakyat atas apa yang sudah mereka lakukan!”
Semua peserta pertemuan diam.
Perdebatan tersebut kemudian memicu perdebatan lain yang mungkin akan menciptakan gelut di media-media online. “Rakyat itu hanya punya hak (yang harus dipenuhi dan dilindungi) tanpa punya kewajiban.”
Padahal kewajiban juragan itu cuma membayar sopir setelah haknya untuk dilayani dipenuhi. Itu yang dibilang Dr. Irmanputra Siddin di acara ILC kemarin. Bahkan rakyat sudah menyediakan fasilitas dan ongkos-ongkos lain (gajinya) sebelum seorang presiden dipilih.
Masa penumpang (juragan) yang kudu nyetirin si sopir (pelayan) atau ngegarukin punggungnya yang gatal?
BACA JUGA Mahfud MD Memang Benar, Pelanggaran di Era Jokowi Nggak Ada Sama Sekali atau esai SALEH ABDULLAH lainnya.