Tuhan maha mendengar dan Dia mempersilakan siapa saja berdoa kapan saja, dari mana saja dan di mana saja termasuk di media sosial. Maka orang-orang tertentu kemudian berdoa di Facebook dan Twitter. Apa saja yang dianggap perlu dan bisa didoakan akan ditulis di sana.
Mereka yang hendak pulang kampung atau bepergian, menulis doa agar Tuhan melindungi perjalanannya. Mereka yang mau makan di restoran menulis puji-pujian karena merasa mendapat berkat Tuhan sembari tidak lupa memasang aneka foto makanan. Mereka yang naik gaji, yang mau berdemo, yang kesal, yang gelisah, yang gembira, yang hendak pergi ke tempat ibadah, dan lain-lain; semua menuliskan doa di media sosial.
Doa sudah bukan monopoli tempat ibadah atau tempat-tempat wingid lainnya. Tak perlu juga perantara ahli agama dan orang-orang saleh karena Facebook dan Twitter bisa lebih setia menerima doa dan pengharapan apapun. Tak perlu ongkos kecuali hanya harus membeli pulsa.
Susilo Bambang Yudhoyono termasuk orang yang memanfaatkan media sosial untuk berhubungan dengan Tuhan. Beberapa menit setelah pembacaan putusan praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, SBY menaikkan doa lewat Twitter. Dia mengungkapkan keresahan sembari memohon agar Tuhan memberi perlindungan dan bimbingan kepada para elite dan pemimpin bangsa.
“Ya Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Pemimpin, bangsa dan negara kami tengah Engkau uji sekarang ini. Tolonglah kami. *SBY*
Itu doa yang serius, tentu saja, sekaligus memberitahu bahwa sesuatu yang genting sedang terjadi: tak ada lagi tempat yang layak dan pantas untuk berdoa kecuali di media sosial seperti Twitter. Dan isyarat yang serius ini hanya bisa dibaca oleh orang-orang yang peka batin dan berbudi luhur. Mereka itulah yang kemudian membalas doa-doa SBY di Twitter dengan tulisan “Amin” agar Tuhan (segera) mengabulkan.
Tentu banyak yang cerewet dan menyalahkan atau meledek orang-orang yang berdoa di media sosial seperti SBY sebagai orang yang bodoh. Mereka, yang selalu dipenuhi prasangka, menuding orang-orang yang memanjatkan doa dan syukur di media sosial sebagai orang-orang yang suka pamer. Riya. Ingin dianggap saleh.
Kata mereka, media sosial bukan tempat berdoa dan memanjatkan pengharapan. Doa mestinya menjadi wilayah privat, dinaikkan ke langit di tempat-tempat khusus dan suci atau setidaknya pantas dijadikan tempat berdoa.
Pendapat semacam itu mungkin ada benarnya, tapi tempat-tempat ibadah pun kini banyak yang menjadi tempat komersil. Pengajian, misa, pemberkatan dan lain sebagainya, telah dijadikan lahan penghidupan oleh orang-orang yang mengaku atau dianggap dekat dengan Tuhan. Doa ditukar dengan imbalan. Pengharapan dibayar dengan uang dan materi. Menggapai kemurahan Tuhan kemudian terasa menjadi sangat jauh, teramat mahal dan harus ditentukan waktunya.
Kenyataan itu berbeda dengan di media sosial seperti Facebook dan Twitter. Siapa saja sepanjang punya akun dan tersambung ke internet, bisa berdoa apa saja, kapan saja, dan dari mana saja. Bila kebingungan atau resah, nama Tuhan bisa segera ditulis dan disebut-sebut agar mencarikan jalan keluar dan memberi perlindungan. Kalau sedang gembira dan bersuka cita, bisa menulis status ucapan terima kasih dan agar Tuhan terus menambah suka cita itu. Praktis.
Benar, seperti halnya dengan doa-doa yang dipanjatkan di tempat-tempat ibadah atau khusus, doa-doa yang ditulis di media sosial belum tentu dikabulkan oleh Tuhan. Tapi siapa yang tahu, kalau Tuhan kemudian ternyata benar-benar mengabulkan doa-doa dari orang-orang yang menuliskannya di Facebook atau Twitter?
Misalnya kepada SBY, Tuhan lalu mengirimkan pesan lewat DM: “Baiklah, SBY. Aku kabulkan doamu tapi kamu kan sudah jadi komisaris TransCorp? Apa kamu berharap Aku jadi follower-mu?”