Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Drama Gerindra dan Uang Mahar dalam Politik Kita

Puthut EA oleh Puthut EA
12 Januari 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

[MOJOK.CO] “Jangan sok suci. Demokrasi kita memang mahal. Dan uang mahar adalah salah satu yang membiayainya.”

Pilgub Jatim memulai babak baru dengan dua hal: Gus Ipul-Puti Soekarno bertarung melawan Khofifah-Emil Dardak, dan mencuatnya “uang mahar” yang konon diminta oleh Prabowo Subianto kepada La Nyalla Mattalitti. Jumlahnya terkesan fantastis: ratusan miliar rupiah.

Tentang uang mahar pilkada sebetulnya bukan hal asing di telinga kita. Tapi seperti kentut. Baunya tercium, sementara bendanya tak kelihatan.

Beberapa hari lalu, salah seorang pemerhati politik Indonesia yang sangat otoritatif, Burhanudin Muhtadi, dalam acara Indonesia Lawyers Club, menyatakan keprihatinannya soal pilkada. Salah satu poinnya terkait dengan politik uang, yang kebetulan menjadi tema disertasinya.

Menjelang akhir pemaparannya, ada dialog menarik antara Burhan dengan Karni Ilyas selaku pemandu acara. Kira-kira begini: Apakah Burhan tahu mengenai berapa banyak uang yang dihabiskan oleh para calon, termasuk tentu saja untuk mahar? Burhan menggelengkan kepala, sembari berkata mungkin kajian tentang politik uang akan lebih bagus kalau ada para politikus yang beralih menjadi pengamat politik. Kemudian Karni dengan bagus sekali menutup: coba wawancara saja dengan para calon yang kalah berlaga dalam pilkada.

Dari dialog ini saja kita akan sama-sama mafhum bahwa sebetulnya Burhan tahu ada uang mahar dan lain sebaginya. Hanya saja sebagai intelektual, dia membutuhkan kecukupan bukti untuk bisa memaparkan hal itu. Sementara Karni sebagai wartawan senior, secara tidak langsung bilang: semua itu ada, kalau tidak percaya wawancarai saja mereka yang kalah.

Iya. Pasti yang diwawancara yang kalah. Kalau yang menang pasti tidak bakal mengaku. Kalau bisa, bahkan para pemenang hanya butuh kesucian dan ridha Tuhan dalam menggenggam kemenangan mereka.

Masalahnya, di Indonesia ada ratusan pilkada dan sudah dihelat hampir 3 kali. Ada puluhan bahkan ratusan ribu politikus dari tingkat daerah sampai pusat. Artinya, politik uang termasuk mahar bukan barang yang susah untuk dikenali. Aromanya telanjur menjalar ke berbagai penjuru. Terlalu menyengat untuk ditutup rapat.

Masalahnya adalah apakah uang mahar itu? Dan apakah hanya Partai Gerindra saja yang melakukannya?

Kita jawab dari yang terakhir dulu. Misalnya benar bahwa uang mahar itu ada, apakah Partai Gerindra satu-satunya yang menjalankan prosedur itu?

Saya tidak perlu menjawab pertanyaan ini. Semua pembaca yang pernah menjadi calon yang berlaga dalam pilkada, para politikus, dan bahkan para anggota timses tentu hanya tersenyum belaka. Jadi kalau ada orang yang mengejek Gerindra seandainya apa yang diomongkan La Nyalla itu benar adanya, sesungguhnya dia harus siap dengan fakta bahwa semua partai pun melakukannya. Tanpa terkecuali.

Lalu apakah uang mahar itu? Dan biasanya untuk apa saja?

Sebetulnya pilkada itu menurut saya adalah “pilkades yang diperluas”. Infrastruktur politik dan organisasi kerjanya identik dengan pilkades minus Parpol. Di sana ada calon, botoh, makelar, beking, timses, dan rakyat yang “disuap”. Maka, agak mengherankan jika fenomena memberi uang pada hajatan pilkada dianggap sesuatu yang baru dalam sistem politik kita. Jauh tahun sebelum pilkada ada, di pagelaran pilkades, sangat biasa rakyat pemilih dapat amplop untuk mencoblos.

Sekarang mari kita mulai apa saja sih uang mahar dan peruntukannya?

Iklan

Kita mulai dari yang paling sederhana: pertama, membeli kebijakan dan keputusan parpol. Kebijakan ini biasa disebut “rekom”, kependekan dari “rekomendasi”.

Parpol diisi oleh para politikus. Mereka semua butuh makan, dan bukan hanya itu: butuh hidup. Sukur kehidupan yang mewah. Mereka menjalankan kehidupan berpartai dengan tidak mudah. Bertarung secara internal, bertarung antar-parpol, yang semua itu membutuhkan uang. Ada banyak tulisan yang menyatakan bahwa iuran anggota pada parpol itu hanyalah isapan jempol belaka. Kalaupun ada, sumbangsihnya sangat kecil. Ibarat hanya bisa untuk membeli tisu dalam sebuah makan malam dengan menu kambing guling.

Parpol memiliki kekuatan lain, yakni mengumpulkan sejumlah pundi secara tidak resmi. Hal yang jelas dan kasat mata adalah kasus-kasus yang diketok di KPK, yakni dari mesin pemerintahan dan birokrasi. Ada juga yang lain, misalnya dari pengusaha. Menjadi pengusaha di Indonesia, apalagi jika kaya, itu artinya Anda wajib menyisihkan uang untuk menyumbang parpol sekalipun parpol itu tidak Anda sukai. Lalu ada sumbangan lain, salah satunya dari pilkada.

Kedua, belum tentu juga uang mahar itu untuk orang per orang di dalam partai. Lihat saja yang dipaparkan oleh pihak Gerindra ketika diminta klarifikasi soal ocehan La Nyalla: ada lebih dari 68.000 TPS. Kalau dalam satu TPS ada dua saksi, dan masing-masing saksi dibayar 200 ribu rupiah, maka… Silakan ambil kalkulator Anda.

Itu baru saksi. Padahal saksi itu hanya sekian jam bekerja. Sementara ada lebih dari 100 hari pertarungan yang ketat. Butuh baliho, spanduk, kampanye langsung dan tidak langsung, termasuk membayar survei, konsultan politik, timses, dan jangan lupa: buzzer. Silakan ambil kalkulator lagi.

Jadi wahai buzzer, sudahlah, lebih baik berhenti dalam mencerca Partai Gerindra. Sadarilah bahwa uang yang dipakai untuk membayar Anda itu jangan-jangan ya dari mahar politik itu. Kalaupun tidak ya dari pengusaha yang mungkin “terpaksa” menyumbang. Sudahlah, tidak ada yang merasa paling suci kalau bicara soal politik di negeri ini.

Ketiga, ini juga sangat penting: uang yang dipakai untuk membeli suara rakyat. Tentu saja jumlahnya besar sekali. Kalau satu orang dikasih 50 ribu rupiah saja, berapa banyak yang harus dikeluarkan dalam pilkada di Jabar, Jatim, Jateng dan daerah lain….

Jadi menurut saya, apa pun yang dimaksud dengan mahar dan daftar peruntukannya untuk apa saja, yang jelas: demokrasi di Indonesia adalah barang mahal. Dan jangan dilupakan, itu sudah terjadi sejak dulu, sejak ada pilkades. Ini bukan fenomena sosial yang serba-ujug-ujug.

Seorang calon kepala desa di Jawa bisa mengeluarkan uang 200 s.d. 400 juta. Itu pun belum tentu menang. Untuk desa yang kaya bisa di atas 500 juta. Bahkan ada yang di atas 1 miliar. Itu baru kepala desa.

Lalu bagaimana dengan bupati, wali kota, dan gubernur?

Di sebuah kabupaten yang kecil di Jawa, jika ada calon bupati mengaku hanya mengeluarkan 10 miliar, saya kira dia menutupi banyak hal. Lalu bagaimana dengan daerah kaya, dan bagaimana dengan gubernur?

Jika Anda bertanya, apakah semua calon pasti begitu, atau bisa diperlakukan seperti itu? Jawaban saya: mungkin tidak. Tapi, biaya itu pasti ada. Mungkin bukan uang mereka sendiri, misalnya dikumpulkan dari banyak orang. Tapi mengumpulkan uang puluhan sampai ratusan miliar, jelas hanya ada dua kemungkinan.

Pertama: memeras. Kedua: membuat kesepakatan politik. Keduanya jelas tidak sehat bagi kehidupan berbangsa kita.

Bagaimana supaya sehat? Kalau Anda bertanya seperti itu kepada saya, saya langsung dengan tegas bilang, “Buang kalkulator!”

Apakah bisa?

“Bisa apanya?”

Dengan dibuang kalkulatornya, bisa tidak ada uang politik dan mahar?

“Lho, Anda ini gila. Kalau dibuang kalkulatornya, itu artinya tidak usah dihitung.”

Lho, berarti tidak bisa hilang?

“Haesemboooh!”

Terakhir diperbarui pada 12 Januari 2018 oleh

Tags: burhanudin muhtadidemokrasigerindraindonesia lawyer clubla nyalla matalittipilgubpilkada jatimuang mahar
Puthut EA

Puthut EA

Kepala Suku Mojok. Anak kesayangan Tuhan.

Artikel Terkait

Feri Amsari: Partai Politik Adalah Masalah Terbesar Bagi Demokrasi Kita
Video

Feri Amsari: Partai Politik Adalah Masalah Terbesar Bagi Demokrasi Kita

1 Juni 2025
Toto Raharjo: Desa dan Pangan adalah Kunci Demokrasi Agar Tidak Dikuasai Para Perampok
Video

Toto Raharjo: Desa dan Pangan adalah Kunci Demokrasi Agar Tidak Dikuasai Para Perampok

14 Januari 2025
Mengingat Kembali Peristiwa Kudatuli dan Sosok Romo Sandy
Video

Mengingat Kembali Peristiwa Kudatuli dan Sosok Romo Sandy

29 Juli 2024
Marchel Widianto satrio piningit Tangerang Selatan MOJOK.CO
Esai

Marshel Widianto Adalah Satrio Piningit yang Dibutuhkan Tangerang Selatan

25 Juni 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.