Tanya
Dear Mas Agus Mulyadi,
nama saya Sarah, tentu bukan nama sebenarnya. Saya single parent dengan seorang anak laki-laki berusia 9 tahun, sebut saja Simon. Saya ingin curhat tentang kegundahan saya sebagai orang tua sekaligus anak.
Sejak berpisah dengan mantan suami, saya hanya tinggal berdua dengan Simon. Bahkan ketika saya kembali tinggal di kampung halaman, saya mengontrak rumah agar bisa tinggal berdua dengan anak, dan tidak tinggal di rumah orang tua saya. Sebab, saya ingin menjaga hubungan baik dengan ibu saya.
Saya dan Ibu dekat, tapi tidak mempunyai cara pandang hidup yang sama. Salah satunya masalah keyakinan.
Ibu seorang muslim taat, sedangkan saya masih mempertanyakan apakah saya benar-benar yakin dengan Islam yang merupakan agama saya sejak lahir. Sudah agak lama saya tidak menjalankan salat, hanya ditunaikan sesekali ketika berkunjung ke rumah orang tua. Hal ini adalah satu dari beberapa hal lain yang kadang membuat saya harus adu argumen dengan beliau.
Atas permintaan orang tua, anak saya bersekolah di SDIT (sekolah dasar Islam terpadu). Saya tidak terlalu suka anak saya bersekolah di sana, tapi untuk menghindari perdebatan dengan Ibu, saya mengalah.
Banyak sekali hal yang tidak saya suka dari sekolah tersebut. Puncaknya, ketika anak saya kelas 3, banyak dari wali murid yang mengeluhkan fasilitas sekolah yang tidak sesuai dengan biaya sekolah. Beberapa wali murid kemudian memindahkan anaknya ke sekolah lain. Kesempatan ini saya jadikan alasan untuk memindahkan anak saya ke sekolah yang saya inginkan, yang kebetulan bukan SDIT, dan Ibu memakluminya.
Awal Januari lalu, saya mendapat pekerjaan di luar kota, di tengah hutan, sehingga tidak untuk membawa anak. Sejak saat itu anak saya tinggal dengan orang tua. Sejak itu, saya pulang sebulan sekali dan tinggal di rumah kira-kira seminggu setiap bulannya.
Anak saya mulai tidak menyukai tinggal dengan orang tua saya, dan orang tua saya mulai mengeluhkan sikap anak saya, yang sangat susah disuruh salat dan mengaji. Selama seminggu di rumah orang tua saya, saya pun harus melaksanakan salat, tapi saya selalu merasa membohongi diri sendiri dan semua orang, hingga akhirnya saya tidak lagi melakukannya.
Saya tidak bisa terbuka dengan orang tua saya dengan mengatakan saya sedang tidak percaya dengan agama saya saat ini. Saya juga tidak bisa mengatakan saya ingin anak saya mengenal semua agama dan memutuskan sendiri agama mana yang mau dia percaya.
Saya tidak bisa melakukan itu karena saya tahu, perasaan mereka akan terluka dan saya sudah sering membuat mereka kecewa. Tapi, saya juga tidak bisa mengkhianati hati sendiri dan memaksa anak saya melakukan hal yang saya sendiri tidak lakukan dan mempercayai hal yang saya sendiri tidak percayai.
Sudah tujuh tahun saya menjadi orang tua tunggal. Hal paling susah dari status itu adalah saya tidak bisa bertukar pikiran dengan pasangan tentang cara terbaik membesarkan anak; bagaimana menjadikan dia manusia yang bahagia, baik hati, dan jujur. Saya sudah memikirkan beberapa jalan keluar untuk masalah ini, tapi saat ini, saya tidak bisa melakukannya.
Jalan keluar pertama adalah mencari pekerjaan lain. Sebagai orang tua tunggal yang harus membiayai anak sepenuhnya, saya sangat membutuhkan pekerjaan dengan bayaran cukup, dan saat ini, pekerjaan yang mengharuskan saya berpisah dengan anak justru merupakan pekerjaan dengan bayaran terbaik yang bisa saya dapat. Hendak mencari suami baru agar tidak terlalu berat secara finansial juga tidak mudah. Dan jika Simon mau saya tinggal dengan pengasuh, ia masih 9 tahun dan tidak bisa saya tinggal dengan pengasuh selama dua puluh hari.
Mohon masukannya, apa yang sebaiknya saya lakukan agar hubungan saya dengan orang tua tetap baik-baik saja sekaligus saya tetap bisa membesarkan anak sesuai dengan keinginan saya. Terima kasih.
Sarah
Jawab
Mbak Sarah yang baik,
mula-mula saya mengabarkan bahwa Cik Prim yang bertugas menjawab curhat minggu ini. Meski belum berkeluarga, saya usahakan untuk memberi pandangan atas masalah Mbak dengan sebaik-baiknya.
Mbak, pada konflik yang opsi penyelesaiannya hanya A dan B, sulit sekali menghindari perasaan terluka. Salah satu harus berkompromi dengan kesepakatan kelak, dan kompromi selalu dimulai dengan perasaan terluka, apalagi dalam kasus Mbak.
Saya pikir jujur adalah jalan terbaik. Masalah hidup keseharian sudah cukup membuat lelah tanpa harus ditambah dengan berpura-pura. Jadi, saya pikir Mbak harus memulai negosiasi dengan orang tua, yang bisa jadi akan berlangsung lama, soal pilihan Mbak dalam beragama.
Agar negosiasi itu tidak menjadi debat agama seperti di media sosial, usahakan Mbak memulainya dengan mengungkapkan kegelisahan hati Mbak. Jangan memulainya dengan perang dalil atau mencari-cari kejelekan agama. Kalau kita ingin pilihan kita dihargai, bukankah kita juga harus berlaku sebaliknya? Intinya, hindari kemungkinan negosiasi itu memperburuk hubungan keluarga.
Tapi, soal anak, saya pikir tidak sepenuhnya benar juga membiarkan ia mempelajari semua agama, yang tentu baru bisa ia mulai saat remaja atau bahkan dewasa, dan kemudian mengabaikan pendidikan agama yang secara “official” ia peluk saat ini.
Agama tidak cuma mencakup wilayah personal, tapi juga sosial. Anak laki-laki kadang dituntut masyarakat untuk terlibat dalam ritus-ritus agama. Dia justru bisa terkucil jika tidak punya pengetahuan itu.
Kemudian, bisa juga kelak ketika dewasa, Simon justru memutuskan menjadi muslim taat. Jangan sampai ia menyesali pilihan ibunya yang tidak membekalinya dengan pelajaran agama. Anggap saja, belajar Islam sejak kecil adalah pintu pertama Simon sebelum mempelajari agama-agama lainnya. Jika ia tidak menyukainya, bisa jadi itu kewajaran anak-anak belaka. Tidak semua keinginan anak harus diiyakan, kan?
Pada akhirnya, saya sangat mendukung pikiran Mbak untuk mencari pekerjaan yang memungkinkan dekat dengan anak sekaligus memberi bayaran baik. Itu lebih baik buat Mbak, juga buat Simon. Jika pekerjaan dengan dua kriteria itu belum didapat, teruslah mencari (ya, sedihnya saya hanya bisa bilang itu) atau memikirkan jalan keluar lain. Saya pernah membaca bahwa memikirkan masalah secara terus-menerus akan semakin mendekatkan pada jawaban, alih-alih meninggalkan masalah itu atau menghindarinya.
Hanya itu saja pandangan yang bisa saya bagi. Semoga bisa membantu. Doa saya agar Mbak tetap kuat dan semakin kuat. Mbak sudah melalui masa tujuh tahun sebagai orang tua tunggal. Itu berarti, Mbak jauh lebih kuat dari yang Mbak kira.
Salam sayang,
Cik Prim