Yang Mengkhawatirkan dari Timnas Indonesia jelang Lawan Singapura di Leg Kedua

Egy Maulana Vikir justru bisa jadi buah simalakama.

Yang Mengkhawatirkan dari Timnas Indonesia jelang Lawan Singapura di Leg Kedua

Yang Mengkhawatirkan dari Timnas Indonesia jelang Lawan Singapura di Leg Kedua

MOJOK.CO – Malam ini (25/12) timnas Indonesia akan melawan Singapura di leg kedua. Apa saja hal yang mengkhawatirkan dari skuad Shin Tae-yong?

Asnawi Mangkualam memotong umpan Hariss Harun, gemuruh penonton di tribun terdengar. Kapten timnas Indonesia cepat berlari, melewati hadangan Harun. Kapten Singapura ini coba menghambat potensi fastbreak dari Asnawi di sayap kanan timnas Indonesia.

Tekel kaki kiri menghadang. Asnawi hilang keseimbangan. Tangannya merambat rumput Stadion Nasional, Singapura. Pemain Ansan Greeners ini melacak sisa kuda-kuda untuk bangkit kembali. Dia segera berlari. Ada jalur kosong untuk berakselerasi. Ini kesempatan.

Wasit Kim Hee-gon hampir saja meniup peluit, pelanggaran. Tapi itu advantage untuk timnas Indonesia. Play on!

Gemuruh penonton semakin kencang.

Nazrul Nazari datang menghadang Asnawi. Pemain timnas Singapura bernomor punggung 8 ini menjaga kemungkinan passing Asnawi ke tengah.

Asnawi sadar, dia bukan Kylian Mbappe yang bisa dengan mudah berlari meninggalkan pemain-pemain timnas Singapura. Bermain di Liga 2 Korea Selatan tidak hanya membuat Asnawi kuat, tapi juga mengubahnya jadi pemain lebih pintar. Asnawi menunggu sebentar.

Ada Witan Sulaiman di tengah, tapi memberi umpan ke sana penuh risiko, Asnawi pasti sadar itu. Nazari siap meng-cover. Tak terlalu jauh, tapi juga tak kelewat dekat. Posisi yang sempurna untuk memberi tekanan ke Asnawi.

Mendadak, kaki kanan Asnawi memberi umpan pendek. Kencang. Menuju langsung ke kaki Nazari. Ketika semua orang di dalam lapangan yakin bahwa umpan pendek itu akan terantisipasi, tiba-tiba bola meluncur mulus melewati selangkangan Nazari. Itu passingnutmeg”! Sialan!

Bola mendarat sempurna di ruang kekuasaan Witan, sekali sentuh bola itu dipindahkan lagi ke Asnawi. Ruang kosong semakin terbuka, Asnawi jadi punya banyak sekali opsi. Penetrasi masuk ke half-space atau memberi crossing? Semua kemungkinan itu ada.

Dengan sekali sentuh, Asnawi masuk ke kotak penalti, pemain belakang timnas Singapura berlari sekencang mungkin karena kalah 3 sampai 4 langkah di belakang Asnawi. Kini kapten timnas Indonesia itu seolah-olah seperti Mbappe, larinya terlihat lebih kencang dari sebelumnya.

Ketika dua pemain Singapura ini melaju sekuat tenaga dan sepertinya akan segera menangkap Asnawi, bola tiba-tiba sudah berpindah lagi. Itu umpan cut-back! Mudah dilakukan dalam posisi menyerang dan merepotkan bagi mereka yang di posisi bertahan

Witan menunggu. Kaki kirinya sudah melakukan ancang-ancang bahkan sebelum bola mendarat. Sekali sentuh, bola berputar. Meluncur halus ke tiang jauh gawang Hassan Sunny. Gol. 1-0 untuk timnas Indonesia.

Saya bersorak luar biasa heboh saat gol itu dilesakkan. Bukan hanya karena itu gol untuk timnas Indonesia, tapi karena proses yang terjadi begitu luar biasa. Tentu saja, luar biasa untuk ukuran timnas Indonesia. Timnas dengan peringkat 164 dunia.

***

Pertandingan babak pertama timnas Indonesia melawan Singapura itu, menjadi salah satu dari dua wajah sepak bola kita yang sebenarnya di tahun ini. Satu pertandingan yang lain adalah ketika anak-anak Shin Tae-yong bersua dengan Vietnam di babak grup.

Lupakan dulu hasil pertandingan melawan Kamboja, Laos, atau—bahkan—Malaysia. Dua tim yang secara kelas jauh di bawah timnas Indonesia, dan Malaysia yang sedang under-perform. Itu tiga pertandingan yang tak bisa jadi patokan.

Tapi melawan Singapura—terutama babak pertama, kita bisa menyaksikan bagaimana Shin Tae-yong mengubah secara radikal cara bermain timnas Indonesia. Cara bermain yang tadinya menghamba gaya-gaya Timnas U-19 Indra Sjafri dan diteruskan dengan Luis Milla, menjadi gaya bermain yang lebih heavy metal.

Tentu saja, jangan kelewat bodoh membandingkan dengan gaya heavy metal-nya Jurgen Klopp bersama Liverpool, setidaknya secara konsep, Shin Tae-yong tahu bagaimana memanfaatkan pemain-pemain cepat Indonesia.

Jika dulu pemain cepat timnas Indonesia selalu dipakai untuk menyerang, prenetasi, melakukan dribble, kali ini pemain-pemain seperti Witan, Asnawi, Ahsan Pratama, Irfan Jaya, bahkan sampai Ricky Kambuaya, lebih banyak diarahkan untuk memanfaatkan kecepatan dalam rangka pressing atau menutup ruang lawan.

Sesuatu yang sama sekali belum terpikirkan oleh Peter White, Luis Milla, Jackson F. Tiago—apalagi—Benny Dollo dulu-dulu.

Hal ini terlihat betul di babak pertama melawan Singapura, dan lebih jelas terlihat lagi ketika melawan timnas Vietnam. Terlihat belepotan sepanjang laga, tapi tak ada satu pun peluang bersih yang didapatkan Vietnam pada laga 0-0 itu. Semua kecepatan itu diarahkan sebesar-besarnya untuk menutup lawan, alih-alih hanya dipakai untuk membangun serangan.

Shin Tae-yong seolah tahu, masalah timnas Indonesia itu ada pada level sepak bola paling mendasar. Passing dan kontrol bola.

Kecepatan mungkin oke, tapi kalau passing dan kontrol berantakan, kecepatan itu akan sia-sia belaka. Ketimbang menghabiskan tenaga untuk menguasai laga dengan cara percuma, akan lebih baik memanfaatkannya dengan kualitas dan kapasitas yang ada. 

***

Problemnya, semifinal melawan Singapura (terutama pada babak kedua) juga menunjukkan kelemahan paling besar dari timnas Indonesia. Kelemahan yang bakal dihabisi kalau tidak segera dievaluasi malam ini. Transisi pemain Indonesia dari menyerang ke bertahan ternyata buruk sekali.

Setidaknya, gol Ikhsan Fandi, penyerang timnas Singapura pada leg pertama, menunjukkan hal itu. Bagaimana kegagalan umpan jarak jauh dari pemain belakang ke depan, tidak akan jadi masalah besar kalau transisi bertahan timnas Indonesia secepat transisi mereka saat menyerang.

Umpan Dewangga yang salah, langsung menjadi fastbreak bagi Singapura. Hanya dalam hitungan detik, Fandi langsung berhadap-hadapan dengan Nadeo dan menjadi petaka penyama kedudukan bagi Singapura.

Transisi ini menjadi problem, terutama karena timnas Indonesia sangat-sangat bergantung pada keberadaan Rachmat Irianto. Bek yang diplot jadi gelandang bertahan. Pemain Persebaya Surabaya ini menunjukkan bahwa dirinya lebih bernilai daripada Evan Dimas untuk skema permainan heavy metal ala Shin Tae-yong.

Setidaknya, babak kedua melawan Singapura, Indonesia terlihat begitu keteteran tanpa Irianto. Tak ada lagi breaker. Dewangga memang bagus, tapi dia tak bisa kerja sendirian karena posisinya diplot sebagai bek tengah. Kambuaya? Dia setipe dengan Evan Dimas—hanya dalam gaya yang lebih sederhana.

Jika Irianto tak bisa main selama 90 menit melawan Singapura di leg kedua nanti malam, ini jelas bakal jadi masalah besar bagi timnas Indonesia. Artinya, Shin Tae-yong harus pandai-pandai mengatur ritme permainan heavy metal-nya.

Percuma menguasai laga di 45 menit awal, tapi remuk di 45 menit sisanya. Shin Tae-yong harus ingat pula bahwa endurance pemain Indonesia tidak sebaik pemain-pemain Vietnam atau Thailand.

Selain ketergantungan yang besar terhadap Irianto, Shin Tae-yong juga sebaiknya jangan lagi memainkan Elkan Baggott—terutama untuk menit-menit rawan. Pemain Ipswich Town ini terlalu “hijau” dan badan bongsornya justru jadi kelemahan terbesar.

Oke lah kalau Singapura main bola-bola atas, tapi ketika memainkan bola daerah, Baggott benar-benar kepayahan. Buruknya kualitas Baggott di bola daerah memang baru terlihat ketika Indonesia bertemu dengan lawan yang selevel. Sesuatu yang tak terlihat saat Baggott berduel dengan penyerang-penyerang Malaysia.

Pertandingan melawan Singapura pada leg pertama juga menjadi jawaban dari banyak pertanyaan dari pendukung Indonesia, kenapa Baggott tak pernah dipasang oleh Shin Tae-yong sejak babak pertama?

Ternyata, memang kualitasnya tak sebaik yang kita kira. Dan itu justru menunjukkan bagaimana kualitas Shin Tae-yong yang tak silau dengan reputasi seorang pemain.

Meski begitu, bagi saya, hal yang sebenarnya justru paling mengkhawatirkan selain soal transisi ke bertahan yang payah dan ketergantungan akan Irianto (soal Ezra Walian tak usah dibahas lah ya), tapi malah ketika Egy Maulana Vikri masuk ke skuad timnas.

Begini. Shin Tae-yong akan berhadapan dengan pertaruhan besar kalau langsung memasukkan Egy sebagai starter. Meski menjadi pemain yang paling diwaspadai Singapura, tapi kualitas Egy yang bagus justru bisa menghancurkan harmoni tim.

Egy, belum menunjukkan harmoni yang cocok dengan Irfan Jaya atau Ricky Kambuaya. Keberadaan Egy bisa jadi malah seperti keberadaan Evan Dimas. Pemain bagus, tapi belum tentu klop dengan gaya Shin Tae-yong. Apalagi pertandingan malam nanti langsung ada di tensi tinggi.

Artinya, memainkan Evan Dimas dan Egy sejak menit awal bisa jadi simalakama. Keduanya justru bukan menjadi jawaban tapi justru jadi pisau bermata dua untuk pelatih yang sukses memulangkan Jerman pada Piala Dunia 2018 ini.

Pilihan yang berat. Sangat berat bagi Shin Tae-yong.

Memainkan Evan dan Egy sejak menit awal seperti berjudi, tapi kalau tidak memainkan keduanya dan akhirnya kalah, itu bakal jadi cerita yang lebih buruk lagi.

BACA JUGA Drama Timnas U-19 dan Tidak Rasionalnya Sepak Bola Kita dan ESAI lainnya.

Penulis: Ahmad Khadafi

Editor: Ahmad Khadafi

Exit mobile version