Apa yang Kami Rasakan Saat Punya Teman Lebih Cantik, Padahal Kami Biasa-Biasa Aja

teman perempuan

MOJOK.CO Punya teman dekat tentu menyenangkan, bahkan kalau si teman lebih cantik dan digemari. Tapi, yah, ada hal-hal yang jadi konsekuensinya, sih.

Suatu hari di gudang rumah saya, sebuah buku diary ditemukan. Di sana, saya pernah menulis tulisan pendek berjudul “What Happens when You Become Annabella’s Best Friend while She is the Most Beautiful Girl You’ve Ever Seen (WHWYBABFWSITMBGYES)”.

Annabella adalah sahabat saya sejak kelas 7 SMP. Kami sudah berada di kelas yang sama selama 3 tahun penuh dan selalu duduk sebangku. Tinggi kami tidak berbeda jauh, membuat mudah kalau-kalau kami ingin berjalan berangkulan ke kantin sambil ketawa-ketiwi.

Satu-satunya hal yang paling jelas terlihat dan membedakan saya dan Annabella saat itu adalah: Annabella berjerawat, saya nggak. Tapi, di balik fakta itu, ada fakta yang lebih spektakuler, yaitu…

…penampilan saya biasa-biasa aja, sedangkan Annabela tidak. Dia adalah wujud “teman lebih cantik” di hidup saya.

Sejak SMP, saya seharusnya sadar betapa hidup ini bisa sangat kompleks dan sedikit nggak adil. Serius, deh, bahkan dengan jerawat-jerawatnya—yang tentu saja normal—Annabella tetap terlihat sangat cantik. Sementara itu, saya, yang sedang beruntung dan nggak jerawatan, tetap saja terlihat… tidak.

Secara singkat, kisah saya yang punya teman lebih cantik—si Annabella ini—bisa diambil rangkumannya dari isi tulisan berjudul “WHWYBABFWSITMBGYES” di diary yang saya sebut di bagian awal artikel ini. Tapi, karena tentu saja diary saya udah saya taruh lagi di gudang, mari kita buat copy-nya di sini.

*JENG JENG JENG*

Pertama, Annabella yang cantik bukannya tidak tahu dia cantik.

Dia tahu—sangat tahu malah. Dengan serunya, dia bisa berbaur di banyak lingkungan yang memang menyukai paras cantiknya. Sudah cantik, supel pula. Annabella memang oye~

Annabella punya pacar di kelas 9 SMP—ini tentu saja adalah pacarnya yang kesekian. Mantannya sudah belasan karena dia sudah mulai pacaran sejak kelas 4 SD. Sayangnya, godaan datang kian mengerikan semakin dewasa usia kita, bahkan kalau “dewasa” adalah “menjadi anak kelas 9 SMP”.

Annabela LDR dengan pacarnya, sementara sahabat pacarnya berada di kota yang sama dengan kami. Mungkin karena kasihan sama saya yang belum pernah pacaran dan suka ha-ho tiap ngobrol sama cowok, Annabella bermaksud menjodohkan sahabat pacarnya dengan saya. Tapi, tahu apa yang terjadi?

Sahabat pacarnya ini malah naksir Annabella, atau dengan kata lain, tidak menganggap saya ada. Oh, seolah belum cukup mengejutkan, seorang kawan sekelas kami—tentu saja laki-laki—pernah nembak Annabella dan bersedia menjadi orang kedua kalau Annabella memang sudah punya pacar.

[!!!!!!!!!111!!!!1!!!!!]

Kedua, punya teman lebih cantik membuat kita memiliki kesabaran yang berlebih.

Saya pernah nemenin Annabella ketemuan sama laki-laki yang dikenalnya lewat SMS. Entah saking cantiknya dia atau gimana, nomor hapenya bisa-bisanya sampai ke seorang laki-laki yang belum pernah kami temui.

Bahkan saat mereka kopi darat pun, saya harus ikut karena Annabella takut diapa-apain.

Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Setiap kali—literally setiap kali—pergi dengan Annabella, baik berjalan kaki ataupun naik motor (tentu saja saya dibonceng karena saya adalah tipe orang penakut dan baru berani naik motor waktu berumur 18 tahun), kami bakal dihujani siulan dan kalimat-kalimat semacam, “Ceweeeek…” dari mas-mas random di pinggir jalan. Pandangan mereka juga nggak lepas pada kami.

Bukan cuma mas-mas random, teman-teman kami sendiri bahkan kadang bersikap kurang ajar, sampai-sampai Annabella ketakutan. Dia pernah mengeluh pantatnya dicolek teman sekelas kami diam-diam, sementara teman yang lain berusaha mencium pipinya.

Ya, karena kecantikannya (dan kesupelannya), dia jadi dicap “menggoda” bagi beberapa laki-laki yang otaknya sengklek.

Pada akhirnya, waktu Annabella diganggu lagi, saya langsung nyamperin si cowok tadi sambil berteriak apa saja yang ada di kepala saya,

“Heh, kamu itu kelebihan hormon apa gimana, sih?!”

Mamam.

Ketiga, Annabella cantik dan penggemarnya banyak.

Saya juga sering kecipratan. Bukan, bukan kecipratan dapat penggemar, tapi kecipratan dititipin salam dan dikepoin soal Annabella oleh cowok-cowok ini.

Bahkan, kalau saya mengunggah foto kami di media sosial, komentar yang datang pasti kira-kira berbunyi: “Wah, itu siapa, Li?”, atau “Adem bener, sih, yang sebelah kamu!”, atau “Kenalin, dong….”

Saya, sih, senang-senang aja punya teman lebih cantik, macam Annabella ini. Tapi, jujur saja, rasanya agak ngilu, loh, Kak, dideketin laki-laki yang baik hati, berharap ditaksir balik, eh ternyata dia cuma pengin kepo lebih lanjut soal Annabella yang sudah punya pacar (ingat soal sahabat pacarnya Annabella waktu SMP, kan?).

Yang lebih cantik dari Annabella?

Meski berteman dengan teman lebih cantik itu kadang-kadang bikin capek hati karena jadi sering minder dan merasa dibandingkan, semuanya jelas nggak seburuk itu. Kalau dipikir-pikir, dari Annabella-lah saya akhirnya belajar untuk mengobrol dengan laki-laki, dengan topik yang nggak melulu soal komik Detective Conan yang saya gilai.

Dari Annabella juga, saya jadi belajar untuk membedakan mana modus dan mana cinta, meski sampai sekarang saya masih bego untuk urusan ini. Dari Annabella, saya belajar beli lipstik dan pakai bedak. Dari Annabella, saya jadi terdorong untuk menjaga penampilan—minimal nggak pakai sandal jepit ke mana-mana.

Yang paling utama, dari Annabella, si “teman lebih cantik” ini, saya belajar banyak tentang persahabatan.

Orang-orang mungkin melihatnya sebagai orang yang cantik banget, yang entah kenapa bisa-bisanya berteman dengan saya yang biasa-biasa aja padahal dia bisa bikin geng cewek cantik dengan teman-teman yang lain.

Tapi, saya selamanya akan melihat Annabella sebagai Annabella yang saya kenal: yang juga membutuhkan saya di hidupnya, sebagaimana saya membutuhkan dia di hidup saya.

Dan menurut saya, hubungan kami jauh lebih cantik daripada kecantikan Annabella itu sendiri.

Exit mobile version