Ironi Sang Sarjana Pemegang Gelar S1 dan S2: Rasa Iri Abadi kepada Lulusan UGM, Kampus Terbaik di Jogja yang Katanya Sulit Dapat Kerja

UGM Kampus Terbaik Jogja, Alumni Sulit Kerja Itu Gak Masuk Akal (Dok. UGM)

UGM Kampus Terbaik Jogja, Alumni Sulit Kerja Itu Gak Masuk Akal (Dok. UGM)

UGM adalah kampus terbaik di Jogja. Kalau ada alumninya yang mengaku sulit dapat kerja, saya rasa itu nggak masuk akal. Kok bisa?

Saya adalah produk lokal, lahir dan besar secara akademis di jantung kota pelajar, Jogja. Dua kali, gelar sarjana (S1) dan magister (S2), saya raih dari sebuah kampus terbaik dalam kategori swasta di Jogja. 

Secara objektif, saya seharusnya bangga dengan catatan ini. Kampus saya memiliki akreditasi bagus, fasilitas juga sudah dan semakin modern, serta jejaring alumni terbilang mumpuni.

Namun, di balik jubah akademik yang saya kenakan, ada satu rasa yang selalu mengganjal. Sampai dua tahun yang lalu, masih ada sedikit rasa iri terhadap setiap individu, yang menyandang status sebagai lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM).

UGM masih menyandang status the real winner

Kita seharusnya bisa bersepakat bahwa di Jogja, di negeri ini, dan dalam pandangan banyak pihak, UGM adalah The Real Winner. Saya rasa hal ini tak terbantahkan.

Ya, saya tahu, dalam beberapa pemeringkatan global, seperti yang dirilis oleh Times Higher Education (THE) World University Rankings 2024, UGM mungkin berada di peringkat ke-2 di Indonesia, di bawah Universitas Indonesia (UI). Atau, berdasarkan data QS World University Rankings 2026, UI juga tampak sedikit lebih unggul.

Namun, mari jujur. Secara historis, sosial, dan kultural, UGM tetap memiliki aura keagungan yang tak tertandingi, terutama di mata masyarakat Jogja dan nasional. Ia bahkan sempat menduduki peringkat nomor satu di Indonesia dalam QS Sustainability Ranking 2025. 

Status UGM sebagai kampus rakyat, sekaligus institusi pendidikan tertua yang lahir dari kancah revolusi kemerdekaan, memberikannya bobot sejarah dan prestise yang tak bisa dibeli. Bagi saya, ia bukan hanya universitas. Ia adalah simbol dari nasib akademik yang menjadi buruan banyak siswa. 

Nah, sebagai seorang sarjana kampus terbaik swasta dengan dua gelar, tentu saya tidak ingin rasa iri ini sekadar emosi kosong. Saya merasionalisasikannya. Saya mencari data dan bukti yang paling masuk akal mengapa nasib lulusan UGM itu menjanjikan, baik secara subjektif maupun objektif.

Baca halaman selanjutnya: UGM masih yang terbaik di jogja.

#1 Keunggulan reputasi akademik UGM dan kualitas riset global

Di dunia kerja dan dalam jejaring akademik, reputasi adalah mata uang yang paling berharga. Lulusan UGM membawa cap prestise yang secara otomatis membuka lebih banyak pintu.

Bukan hanya omongan kosong, reputasi ini didukung data dari lembaga pemeringkatan global. Coba lihat QS World University Rankings 2026, UGM berada di peringkat 224 dunia, sedangkan kampus terbaik dalam kategori swasta di Jogja umumnya berada di peringkat yang jauh lebih rendah, bahkan sering tidak terdaftar di Top 500 Global. 

Data ini menunjukkan keunggulan UGM. Terutama pada indikator Academic Reputation dan Citations per Faculty.

UGM, secara konsisten diakui karena kualitas riset dan kontribusi nyatanya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di kancah internasional. Misalnya, dalam THE Impact Rankings 2024, UGM berhasil masuk Top 100 Dunia untuk tiga Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), bahkan berada di peringkat 17 dunia untuk SDG 1 (No Poverty). 

Kontribusi nyata ini membuktikan bahwa UGM tidak hanya mengajar, tetapi juga menciptakan dampak signifikan bagi masyarakat. Sebuah hal yang sering sulit dicapai oleh kamus terbaik lainnya. Cap-cap seperti ini secara langsung meningkatkan nilai jual setiap alumni di mata perekrut global maupun nasional.

#2 Kualitas input mahasiswa dan jaringan alumni yang sangat besar

Setiap kampus adalah cerminan dari mahasiswanya. UGM, sebagai kampus terbaik, memiliki selektivitas yang cukup ketat. Ketika seseorang berhasil masuk UGM, baik di level S1 maupun S2, itu sudah menjadi validasi kecerdasan dan kerja keras. Artinya, lingkungan belajar di sana dipenuhi oleh individu-individu paling cemerlang dari seluruh pelosok negeri.

Bayangkan jaringan yang terbentuk. Lulusan UGM, yang tersebar luas di setiap sektor strategis, mulai dari kementerian, BUMN, perusahaan multinasional, hingga big startup, menciptakan jaringan alumni yang kuat dan solid. Jaringan ini bertindak sebagai fast track bagi alumni baru untuk mendapatkan pekerjaan atau peluang bisnis.

Sebagai perbandingan, kampus terbaik (swasta) di Jogja memang memiliki alumni yang sukses. Tetapi, keragaman dan kedalaman pengaruh jaringan alumni UGM, yang sudah ada sejak puluhan tahun silam, hampir mustahil disamai. 

Ketika bersaing di pasar kerja di Surabaya beberapa tahun silam, label “Lulusan UGM” sering sudah memberikan keuntungan awal. Ini sebuah keistimewaan yang tidak otomatis melekat pada label “lulusan kampus terbaik tapi swasta” sekuat apapun namanya.

#3 Keunggulan spesifik bidang ilmu  dan fokus employability UGM

Meskipun kampus terbaik (swasta) lainnya memiliki keunggulan di bidang-bidang tertentu, UGM sering mendominasi pemeringkatan per bidang ilmu (subject ranking) di Indonesia. 

Misalnya, berdasarkan THE World University Rankings 2024 by Subject, UGM menempati peringkat teratas di Indonesia untuk bidang Ilmu Sosial (Social Sciences). Kampus ini juga masuk 1.000 besar dunia untuk bidang Clinical and Health, Engineering, dan Life Sciences.

Keunggulan bidang ilmu ini memberikan jaminan kualifikasi yang lebih kuat. Kurikulum mereka terus diperbarui agar relevan dengan kebutuhan industri. 

Indikator Employability yang dinilai lembaga pemeringkatan adalah bukti nyata bahwa lulusan UGM cenderung lebih mudah terserap di dunia kerja. Kalau ada alumni yang sulit dapat kerja, saya malah heran, deh.

Bagi saya yang lulus dari kampus terbaik (swasta), meskipun bekerja keras, saya harus berjuang ekstra lagi. Ini hanya untuk membuktikan bahwa kualifikasi saya setara dengan lulusan mereka. 

Sementara itu, nama UGM sudah menjadi jaminan kualitas yang dipercaya oleh sebagian besar perusahaan besar. Mereka tidak perlu banyak bertanya, karena brand sudah berbicara.

Sebuah harapan yang terlambat

Menuliskan ini adalah terapi sekaligus penegasan realitas. Dua gelar dari kampus swasta terbaik di Jogja, kota yang sama dengan UGM, tidak serta merta menghapus jurang prestise. 

Saya bangga dengan kampus saya, tentu saja. Namun, saya tidak bisa memungkiri bahwa di setiap langkah karier, bayangan almamater kuning gading itu selalu terasa satu langkah di depan.

Rasa iri ini adalah pengakuan jujur seorang sarjana atas hierarki akademik di Indonesia. UGM bukan hanya kampus terbaik di Jogja. Ia adalah salah satu pilar pendidikan tinggi nasional, bahkan global.

Kini, yang bisa saya lakukan hanyalah bekerja lebih keras lagi, menggunakan ilmu dari dua gelar saya, untuk membuktikan bahwa lulusan kampus terbaik (swasta) juga bisa bersaing. Bahkan melampaui keunggulan komparatif dari lulusan mereka. Tapi, jujur, beban membuktikan diri itu sendiri adalah sumber kelelahan.

Lantas, apakah Anda, wahai lulusan UGM, pernah menyadari betapa besarnya privilege yang Anda sandang, yang membuat kami, para alumni kampus swasta, selalu memandang dengan rasa kagum dan sedikit iri hati?***

***Seperti dituturkan istri saya kepada saya dua tahun yang lalu.

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Saya Gagal Kuliah di UGM, dan setelah 13 Tahun, Penyesalan Tersebut Tetap Ada dan pengalaman menarik lainnya di rubrik POJOKAN.

Exit mobile version