MOJOK.CO – Pemerintah meluncurkan aduanasn.id demi melibatkan publik untuk ikut melaporkan ASN yang terpapar radikalisme. Hm, aduan soal kinerja ASN bisa juga nggak?
Sebagai salah satu upaya mencegah radikalisme di lembaga pemerintahan, sebanyak 12 kementerian sekaligus lembaga negara meluncurkan situs aduan bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ini jelas informasi yang luar biasa melegakan untuk mereka yang iri nggak suka dengan ASN. Kalau lagi Twitwar atau berdebat dengan seorang ASN di media sosial, lalu kalah menganggap kalau pandangan si ASN cenderung agak anti-Pancasila gitu, kamu bisa langsung mengadukannya ke www.aduanasn.id.
Paling tidak ada 11 poin alasan kalau kamu ingin melaporkan seorang ASN.
Tentu saja beberapa poin-poin di atas menimbulkan polemik. Bukan soal diluncurkannya aduanasn.id, melainkan poin yang mengikutsertakan soal larangan mengomentari “pemerintah”. Meski di sana tertulis “ujaran kebencian”, namun muncul ketakutan kalau diksi ini bisa ditafsirkan macam-macam oleh pelapor nantinya.
Kamu tentu masih ingat dengan kasus Prita Mulyasari pada 2009. Kasus yang kemudian menyadarkan publik bahwa diksi semacam “pencemaran nama baik” dalam UU ITE pun bisa ditafsirkan macam-macam.
Saat itu, Prita harus ditahan dan kena ancaman 6 tahun penjara karena surat keluhannya untuk Rumah Sakit Omni Internasional Alam Sutera, Tangerang, tersebar ke publik. Sempat divonis bersalah dan dipidana 6 bulan, pada 2012, Mahkamah Agung kemudian memutus vonis bebas untuk Prita.
Meski harus diakui pasal-pasal tersebut juga menyeret pelaku kejahatan sebenarnya, tapi ada beberapa kasus yang luar biasa karena fleksibelnya penggunaan pasal-pasal dengan bahasa semacam ini. Kasus Prita Mulyasari dan—yang terbaru—kasus Baiq Nuril adalah sedikit contohnya.
Meski begitu, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jhonny G. Plate menegaskan bahwa aturan tersebut tidak berarti melarang ASN mengkritik pemerintah.
“Mengkritik boleh. Semuanya boleh mengkritik. Kalau ASN juga boleh mengkritik pekerjaannya sendiri, yang tidak boleh yang tidak dengan dasar, yang fitnah,” kata Jhonny.
Masalahnya, garcepnya pemerintah membuat aduanasn.id ini sebenarnya kurang mashook kalau alasannya adalah mencegah radikalisme semata. Bukankah lebih baik aduanasn.id ini jadi fasilitas bagi publik untuk menilai kinerja ASN juga?
Sebab, ketimbang isu radikalisme, persoalan kinerja ASN kan juga sudah jadi sorotan publik sejak lama. Misalnya ada oknum ASN yang suka sengak dan tak simpatik kalau lagi melayani masyarakat. Lalu begitu ditegur, eh si oknum malah ngancam nggak bakal ngurusin berkasnya. Nggak semua sih, tapi kalau dibilang oknum ASN model begitu nggak ada kok kayaknya naif banget deh.
Menggunakan aduanasn.id sebagai cara publik memberi masukan terhadap pelayanan dan kinerja ASN lebih bermanfaat karena persoalan kinerja ini udah lama banget dirasakannya. Jauh lebih prioritas ketimbang mengikutsertakan publik menilai seorang ASN kena radikalisme atau tidak.
Bukan berarti isu radikalisme ini nggak penting. Ini penting, tapi kan persoalan di ASN nggak cuma itu aja?
Malah kalau perlu, setelah diluncurkannya situs aduanasn.id sebagai wadah pengaduan kinerja ASN, Pemerintah bisa saja juga meluncurkan aduanDPR.id. Sebuah situs yang membuat masyarakat bisa ikut serta mengkritik dan menyentil wakil rakyatnya secara langsung dan legal.
Jadi kalau ada oknum anggota DPR yang melakukan pelanggaran atau kinerjanya asal-asalan, kemudian kebetulan publik mengetahuinya, publik nggak perlu takut kena pasal “pencemaran nama baik” ketika mau mengkritik. Sebab aduannya legal dan tepat guna.
Persoalan laporan itu nanti diproses atau tidak sama Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) ya itu terserah situ lah. Paling nggak masyarakat ada wadah dulu untuk protes ke wakil rakyatnya. Kalau toh akhirnya nggak direspons kan jadi makin kelihatan, kalau si wakil rakyat emang nggak peduli sama rakyat.
Lagian, anggota DPR kan selama ini punya hak imunitas yang bikin mereka nggak bisa dituntut di muka pengadilan. Hak imunitas DPR ini merupakan kekebalan hukum tidak dapat dituntut karena pernyataan atau pendapat yang dikemukakan secara lisan, maupun tulisan dalam rapat-rapat DPR. Nah, karena seperti itu, bisa saja aduanDPR.id ini jadi “lumayan” lebih berguna.
Apalagi, kalau melihat kinerja DPR yang sangat ambyar dalam 5 tahun ke belakang, dan ketika didemo dalam kisruh UU KPK kemarin nggak pernah juga mau dengar masukan masyarakat, situs aduanDPR.id jelas lebih dibutuhkan ketimbang sekadar aduanASN.id.
Gimana Pak Jhonny G. Plate? Mashook nggak usulan ini?
BACA JUGA Selain Terpapar Radikalisme Pemerintah Perlu Sediakan Situs Pelaporan Bagi PNS yang Malas dan Ketus atau tulisan Ahmad Khadafi lainnya.