Trauma Gimmick Adalah Keniscayaan. Dari Awkarin Beli Hotel sampai Curiga Jualan Pinkan Mambo

ilustrasi Trauma Gimmick Adalah Keniscayaan. Dari Awkarin Beli Hotel sampai Curiga Jualan Pinkan Mambo mojok.co

ilustrasi Trauma Gimmick Adalah Keniscayaan. Dari Awkarin Beli Hotel sampai Curiga Jualan Pinkan Mambo mojok.co

MOJOK.COSejak zaman ibu-ibu rebutan rendang di kondangan kita telah menyadari gimmick adalah hal menyebalkan sekaligus kreatif nggak ngotak. Eh, Pinkan Mambo juga jualan cobek ya katanya?

Gimmick adalah hal yang nggak buruk-buruk amat kalau dipikir. Mirip kayak prank jadi gembel yang dilakukan… ya tahu sendiri lah. Dari zaman Deddy Corbuzier bengkokkan sendok pun kita tahu soal “trik” (untuk tidak mengatakannya “tipuan”) di dunia entertainment. Sayang, belakangan gimmick artis ini terasa obvious dan bikin traumatis. Trauma ini juga mendorong kecurigaan saya ke Mbak Pinkan Mambo.

Dua ibu-ibu pernah ribut saat kondangan perkara berebut rendang saat mengambil hidangan prasmanan. Saya pikir, kakek-kakek salto juga paham bahwa ini perkara yang amat memalukan. Peliknya, momen ini terekam kamera dengan baik dan viral di media sosial. Stigma emak-emak jadi semakin buruk menyusul bagaimana mereka hobi nyalain lampu sein ke kanan padahal mau belok kiri. Besoknya, surprise! Kegaduhan tadi cuma gimmick produk bumbu rendang.

Netizen 0:1 Marketing.

Semenjak saat itu saya jadi agak perlu hati-hati dalam berkomentar di media sosial. Plus, sebab saya adalah penulis, hal-hal begini juga perlu saya hindari. Mau diletakkan di mana ini muka kalau tergocek gimmick marketing yang bahkan mereka nggak bayar slot iklan?

Namun, seperti sebuah keniscayaan, tergocek gimmick adalah hal yang tidak bisa dihindari. Kekagetan kita soal Awkarin beli hotel di usia 23 tahun sempat bikin kaum-kaum insecure makin meronta. Saya sempat merasa jadi selebgram adalah profesi impian yang jelas paling banyak cuan. Fadil Jaidi dan Keanu saja bisa beli Alphard, bukan mustahil Awkarin beli hotel.

Lagi-lagi saya merasa seperti dikhianati ketika tahu Awkarin beli hotel adalah bagian dari marketing plan. Walau dari lubuk hati terdalam saya mengapresiasi bagaimana kampanye ini dipikirkan betul-betul sama pihak pengiklan, tapi tolonglah, kejauhan kreatifnya. Saya kadung dibuat baper akan iri dengki yang menggerogoti saya ketika melihat Awkarin sukses. Makin merasa tidak berguna ketika tahu ini semua adalah gimmick semata. Tegores rasanya.

Netizen 0:2 Marketing.

Saya pribadi masih memaklumi bagaimana settingan artis digelonggongkan di infotainment dan akun-akun gosip. Meski seringnya bodoh dan menjengkelkan, kita tahu sama tahu kalau si artis memang cari sensasi. Pak RT yang turut menyaksikan keributan Vicky Prasetyo vs Angel Lelga juga kalem. Intinya saya nggak bisa terbeli sama gimmick dan setting murahan. Huh, emangnya gue netizen apaan?

Saya pun berjanji pada diri sendiri untuk lebih hati-hati biar nggak gampang tergocek settingan. Mau ada keributan di jalanan, saya nggak mau suuzan kalau itu memang beneran keributan. Ada ibu-ibu nyerobot antrean supermarket, saya juga nggak mau suuzan kalau ada seorang ibu yang sengawur itu sama Mbak-mbak. Pokoknya jangan sampai tergocek lagi, malunya itu loh.

Hingga kemarin saya tahu kalau Mbak Pinkan Mambo jualan cobek, bola basket, sofa, dan banyak sekali benda-benda di rumahnya. Hmmm, banyak yang bilang Pinkan Mambo emang lagi butuh uang makanya jualin barang-barang. Oke, alasan ini sih nggak masalah. Semua orang berhak melakukannya.

Tapi, Mbak, mohon maaf segala cobek dijual itu kenapa sih?

Saya jadi bingung. Antara menganggap Pinkan Mambo emang lagi hopeless dan suuzan ini bagian dari gimmick. Sejauh ini gimmick adalah alasan yang paling masuk akal kenapa bola basket yang tadinya dijual Rp350 ribu naik jadi Rp360 ribu. Bahkan ada yang bilang terakhir jadi Rp500 ribu. Duh, bingung ya? Sama.

Masalahnya tipe yang begini ini sedap banget kalau digoreng sama brand marketplace. Cocok dan masuk banget alurnya. Tapi, jelas dong demi menghormati Mbak Pinkan Mambo saya nggak pengin menuduh dulu. Analisis ini kan cuma sejauh kecurigaan dan hasil trauma tergocek marketing. Kalau ujungnya memang gimmick entah dari brand atau dari manajemen artis, yang jadi juri adalah masyarakat sendiri.

Sungguh, saya akui marketing 4.0 zaman sekarang kreatif betul. Namun, agak menyakitkan dan bikin sebel. Lama-lama jualan pakai gimmick bisa nggak laku lagi saking banalnya. Aturan orang kalau mau iklan mah jujur. Minimal nggak usah bikin sakit hati dan baper gitu deh.

BACA JUGA Kontes Dangdut di Indonesia Itu Sungguh Kebanyakan Gimmick dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version