Tidak Ada yang Lebih Baik di Antara Mahasiswa Organisatoris, Akademis, dan Aktivis

mahasiswa itu buruh

MOJOK.COTidak ada yang lebih baik di antara mahasiswa organisatoris, akademis, dan aktivis. Semuanya sama saja—sama-sama menyedihkan—karena seberapa mentereng prestasi, pengalaman organisasi, atau aktivitas advokasi yang ada di CV mu, pada akhirnya kamu akan tetap menjual diri di pasar kerja. 

Mana yang lebih baik, menghabiskan waktu di kampus sebagai mahasiswa organisatoris, akademis, atau aktivis?

Entah kenapa sampai sekarang saya masih gagal paham kenapa banyak sekali orang memperdebatkan pertanyaan konyol ini. Maksud saya, kenapa sih orang-orang suka sekali membanding-bandingkan, dan merasa label yang satu lebih bagus dari yang lainnya?

Mahasiswa organisatoris so called pejabat kampus macam anggota BEM misalnya, mereka senang sekali mengagung-agungkan skill kepemimpinan, komunikasi, dan sosial yang menurut mereka (biasanya sambil mengutip artikel tentang 20 skill yang dibutuhkan perusahaan di dunia kerja) jauh lebih penting dari sekadar mengejar nilai semata.

Mahasiswa yang pro akademik macam aslab, asdos, ashiap lain lagi. Mereka lebih senang mengglorifikasi pentingnya mengoleksi nilai A semasa kuliah. Bagi mereka, yang bilang IPK nggak penting itu ya emang dasarnya aja terlalu malas—untuk nggak dibilang bego—untuk dapat nilai A.

Lagian, nilai bagus adalah bukti kalau kita serius dan bertanggung jawab dengan kewajiban menuntut ilmu. Mereka lalu melancarkan pukulan seperti petinju dengan mengatakan, “Organisasi buat apa, hah?? Toh kalau IPKmu kecil, boro-boro skillmu dicari di dunia kerja, ngelamar pekerjaan dengan syarat IPK minimal 3 aja nggak akan bisa!” Mamam noh organisasi~

Di sebrang jalan, mahasiswa aktivis biasanya mengacungkan jari tengah kepada keduanya. Lalu bilang kalau mahasiswa organisatoris dan akademis ini hanya sekelompok orang egois yang lupa akan tugas mereka sebagai mahasiswa.

Halo Bung dan Nona, Mahasiswa itu harusnya memikirkan rakyat! Ngapain jadi anak BEM, lagian apa sih BEM itu? Humasnya rektorat?

Dan Bung dan Nona yang mengaku seorang akademisi tapi hanya mencari ilmu untuk dirinya sendiri dan merasa terlalu tinggi untuk berguling di lumpur bersama rakyat (eh mau ngapain juga guling-guling di lumpur) egois kalian semua itu. Ilmu yang di dapat di universitas tuh harusnya disebarkan kepada masyarakat kecil yang tidak sempat mengecap pendidikan, bukannya malah dipakai memperkaya diri sendiri dengan memilih hidup nyaman dan kerja di korporasi. Sekali-kali keluar dong ke jalan! Ilmu nggak cuman bisa di dapatkan di kelas!11! Se666an~

*sementara itu, mahasiswa yang selama kuliahnya cuman kuliah, pulang, ngewibu dan ketiduran pada nontonin keributan sambil makan pop corn*

Kenapa saya bilang membanding-bandingkan, dan mencari kegiatan mana yang lebih baik dilakukan di kampus itu konyol, ya karena sebenarnya karena saya tahu kalau mereka itu aslinya sama-sama aja. Sama-sama menghabiskan waktu kuliah dengan cara menyedihkan hahaha. Loh, nggak percaya? Gini gini saya jelasin.

Anak-anak organisasi pejabat BEM, menghabiskan waktu kuliah mereka dengan menggarap berbagai program kerja mulai dari acara pengembangan semacam diskusi, workshop, dan seminar sampai acara hedon senang-senang. Dalam setahun, kegiatan yang mereka lakukan bisa banyak sekali, lho. (Supaya bisa minta banyak uang ke rektorat yang pelit tentu saja)

Selama masa kerja itu, mereka harus mau rapat kepanitiaan sampai malam, begadang bikin Tor dan rundown, membuat desain gratisan, hingga wara-wiri ke sana kemari buat nyari sponsorship dan jualan danusan (yang akhirnya harus mereka beli sendiri).

Lah ini kan namanya kerja gratisan… Lebih parah dari perburuhan karena nggak pernah dapat upah. Terus kenapa dong kalian begitu bangga dengan perbudakan modern semacam itu hahaha?

Eitsss. Yang akademisi jangan ketawa dulu.

Jadi seorang aslab/asdos/asprak/aspirin atau apa pun lah itu namanya mungkin terdengar keren. Kamu juga akan banyak dicemburui teman-temanmu karena menjalin hubungan yang sangat dekat dengan dosen sampai-sampai disebut “anak kesayangan dosen”. Tapiiiiii, kamu tahu sendiri bahwa kamu sebenarnya juga jadi korban perbudakan di jurusan…

Hampir setiap hari ngelembur di lab buat bimbing praktikum, bikin slide presentasi, bantuin dosen buat penelitian, disuruh jagain dan ngoreksi ujian, sampai-sampai diminta anter jemput anak dosen dari sekolahnya.

Dan yang lebih mengerikan, kamu bahkan nggak bisa bilang “nggak” karena sangat sungkan.

Padahal kenapa sih harus memperlakukan dosen seperti itu? Apa yang ingin kalian tunjukan sampai-sampai mau-maunya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang harusnya bisa dilakukan dosen itu sendiri? Kalian sadar nggak kalau kalian tuh dimanfaatin?

Sementara kalian susah payah bikin laporan, LPJ, penelitian dll dll dll, dosen-dosen akan semakin keenakan karena merasa bisa terus mengandalkan kalian. Itu artinya~ dosen-dosen nggak melihat kamu secara setara. Mereka lebih berpikir kalau waktu mereka lebih penting, sementara kamu nggak~ makanya kerjaan mereka ya lebih enak dikasihin ke kamu lahh, jadi mereka bisa gosip haha hihi—ketika jelas-jelas sebenarnya kamu juga punya banyak tugas lain sebagai mahasiswa. Lalu, diperlakukan kayak gitu kamu masih bangga? Hahaha.

Terakhir, Bung dan Nona mahasiswa Aktivis yang mendaku paling peduli dengan rakyat dan kaum yang tertinggal tapi sendirinya meninggalkan terlalu banyak urusan kampus sampai kuliahnya kedodoran.

Abai pada kampus itu bertentangan dengan amanat rakyat, lho. Yang bayarin kuliahmu kan sekian persennya subsidi dari rakyat. Kalau kamu terlalu lama di kampus, artinya uang UKTmu yang mahal itu, yang sebagian dari keringat rakyat yang bercucuran itu, dibiarkan menguap begitu saja~ Ha ha ha.

Betul, tidak lulus cepat dan lebih banyak menghabiskan waktu sebat di jalan memang tidak merugikan orang lain. Tapi omong kosong dengan perjuangan ketika kamu sendiri masih terbelenggu dengan beban kuliah sekian sks dan skripsi yang tidak pernah kamu jamah lagi.

Kamu sebenarnya boleh saja jadi organisatoris, akademis, aktivis atau jadi tiga-tiganya sekalian, tapi merasa lebih superior dan mendiskreditkan mahasiswa lain hanya karena memilih jalan yang berbeda adalah hal yang sangat konyol.

Apa pun yang kamu lakukan untuk menghabiskan masa kuliahmu, kalau tujuannya cuman buat pamer dan ingin menunjukan kalah “aq menghabiskan waktu kuliahku dengan lebih berfaedah dari qmu”, seberapa mentereng prestasi, pengalaman organisasi, atau aktivitas advokasi yang ada di CV mu, pada akhirnya kamu akan tetap menjual diri di pasar kerja. Karena itu kan yang ada di kepalamu? Cuman persaingan.

Kalau kamu beneran kuliah untuk tujuan sebenar-benarnya pendidikan, kamu nggak akan sibuk dengan menyinyiri apa yang dilakukan oleh mahasiswa lain. Kamu akan lebih banyak berpikir, membaca, berdiskusi, melakukan gerakan-gerakan emansipasi, dan lebih peduli pada pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Bukannya malah mikirin persaingan, siapa yang lebih baik di antara mahasiswa satu dan yang lainnya untuk bisa diterima di dunia kerja.

Btw, saya jadi ngerti kenapa Peringatan Hari buruh dan hari Pendidikan diperingati secara berdekatan. Mungkin biar mengingatkan kita bahwa Mahasiswa (kelompok yang dianggap paling berpendidikan) mau apa pun kegiatan yang mereka punya, pada akhirnya akan jadi buruh juga. He he he.

 

Exit mobile version