Terima Kasih Kampanye BKKBN, Kini Kami Punya Alasan Enggan Menikah

MOJOK.CO Tidak semua orang memimpikan hidup sebagai suami istri—sebagian justru enggan menikah, dan siapa sangka kampanye BKKBN mendukung ini tanpa sengaja!

Adik saya menelepon malam-malam. Katanya, ayah kami baru saja terlibat kecelakaan mobil. Beruntung, Ayah baik-baik saja—hanya mobil bagian depan yang penyok.

Beberapa hari kemudian, saya baru tahu cerita sebenarnya: Ayah mengantuk dan kurang sigap menginjak tuas rem saat mobil di depannya mulai melambat karena akan berbelok. Hanya ada dua orang di rumah yang tahu soal ini: saya dan adik saya—begitu juga dengan fakta bahwa Ayah sudah berjanji untuk bertanggung jawab pada mobil yang ditabraknya.

“Jangan bilang Ibu dulu,” pesan Ayah. Saya bertanya—setengah kesal—apakah Ayah takut dimarahi Ibu atau apa, tapi beliau cuma memandang dengan mata memohon.

Ayah dan Ibu sudah menikah 30 tahun. Tapi, sejak beberapa hari lalu, kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) soal pernikahan menghantam otak saya keras-keras dan—mau nggak mau—membuat saya jadi teringat peristiwa kecelakaan tadi.

Kampanye BKKBN Dimulai dengan Poster Calon Suami

Di foto kedua pada poster soal karakter calon suami yang siap menikah di atas, ada poin berbunyi: “Ketika aku mampu berkata jujur untuk segala urusan”.

Saya membacanya 10 kali, sebelum akhirnya menggelengkan kepala dan membatin, “Wah, bukan Ayah banget ini.”

Pertanyaannya, apakah keputusan Ayah yang tidak mampu bercerita jujur pada Ibu menunjukkan bahwa mereka berdua seharusnya tidak menikah (dan saya tidak lahir ke dunia ini)??? Apakah ini menunjukkan bahwa, seperti apa yang dipublikasikan BKKBN, Ayah tak bisa digolongkan sebagai suami yang pantas untuk istrinya, begitu???

Hmmm, gimana nih, BKKBN???

Saya membaca lagi semua syarat calon suami di kampanye pernikahan BKKBN: berusia lebih dari 25 tahun, mampu menghabiskan seluruh waktu bersamamu, menyadari perubahanmu, menghiburmu di kala sedih, menjadi teman diskusimu, memberikan apresiasi, menerima perbedaan pendapat, bertanggung jawab pada kebahagiaanmu.

Wow. Daftar di atas terasa sangat… gombal.

Jangan salah—orang-orang yang enggan menikah sekalipun mungkin bakal klepek-klepek kalau ada laki-laki yang rela menghabiskan waktu bersamanya, mendengar pendapatnya, menjadi teman diskusi, bicara jujur, bertanggung jawab, dan lain sebagainya. Tapi, memangnya hal-hal ini saja yang membuat seorang pria pantas menjadi suami?

Maksud saya—ayolah, kenapa tidak ada bahasan yang lebih nyata soal perannya sebagai suami dalam rumah tangga, misalnya—yang paling umum—turut mendidik anak, alih-alih hanya menjadi sosok dominan dalam keluarga?

Memangnya harus, ya, bahasan tersebut cuma mentok di calon istri?

Terima Kasih, BKKBN, tapi Kami Masih Enggan Menikah

Menurut BKKBN, sebagai calon istri, perempuan-perempuan Indonesia diminta untuk berusia minimal 21 tahun, mampu mendidik anak, menjadi wanita pengertian, telaten, dan sabar, memasak makanan favorit suami, meningkatkan produktivitas harian suami, berkata jujur tentang apa pun, menerima suami apa adanya, dan menjadi wanita mandiri.

Selain poin terakhir dan poin mengenai umur, saya rasa syarat-syarat di atas sesungguhnya nggak relevan-relevan amat, kecuali hanya memindahkan pekerjaan domestik ke kolom calon istri, sedangkan calon suami digambarkan sebagai sosok pengayom.

Maksud saya, bagaimana bisa saya yakin 100% bahwa saya mampu mendidik anak, padahal saya belum pernah punya anak sama sekali, dan calon suami saya—menurut BKKBN—tidak diharuskan memiliki kemampuan serupa?

Lalu, memasak makanan favorit suami? Apakah ini wujud nyata dari pendapat orang-orang yang meyakini bahwa istri yang tidak bisa memasak hanya akan membuat suaminya berselingkuh?

Hadeh, itu suami atau tukang cicip makanan dah, sampai harus selingkuh segala, padahal restoran dan warung makan bertebaran di mana-mana???!!!

Yang tak kalah menarik perhatian saya, calon istri diminta untuk “menerima suami apa adanya”. Tapi, di poster untuk calon suami, tak ada poin serupa “menerima istri apa adanya”, tuh.

Ini pasti karena BKKBN-nya lupa, kan? Iya, kan?

Saya rasa, sudah banyak yang mengkritik poster kampanye BKKBN ini, dan bagi saya itu hal yang wajar-wajar saja. Kalau saya, sih, malah mau berterima kasih sama BKKBN.

Soalnya, meski banyak yang nggak saya setujui dari poster itu, setidaknya saya bisa pakai poin-poin di sana untuk menjawab pertanyaan “Kapan” dari orang lain.

“Kapan nikah?”

“Nanti, habis les masak. Eh, kapan-kapan masak bareng, yuk. Kamu suka makan apa?

Atau,

“Kapan nikah?”

“Nanti, habis selesai latihan jadi babysitter keponakan sendiri. Eh, keponakanku lucu banget, loh, kalau kentut suka bau. Kamu juga nggak?”

Yaaah, minimal, jawaban-jawaban ini—walaupun sama mengesalkannya—cukuplah untuk mengalihkan pembicaraan dari topik pernikahan.

Harapan saya, sih, cuma satu: semoga saya tidak perlu bertemu dengan orang yang bertanya “Kapan nikah?” dan, di saat bersamaan, menganggap saya “terlalu enggan menikah hanya karena patah hati”.

Duh, please, ya, patah hati itu bukan hanya. Kami—para penyintasnya—butuh waktu yang kadang tak cukup singkat, apalagi kalau terjadinya berturut-turut.

Toh, luka tidak sembuh dengan tiba-tiba menikah saat itu juga. FYI aja.

Exit mobile version