MOJOK.CO – Betapa kesalnya saya saat ada seorang kawan menjual kacamata dengan harga yang sangat tidak masuk akal.
Seorang kawan dekat, sebut saja namanya Prayit, sekarang sedang sangat bersemangat menggeluti bisnis barunya: bisnis kacamata.
Kacamata yang dijual Prayit adalah jenis kacamata anti radiasi. Kacamata yang bagus digunakan oleh mereka yang terlalu banyak menatap layar hape dan laptop.
Bisnis yang baru digelutinya satu bulan terakhir itu, menurut Prayit, sangat menyenangkan.
Dalam sehari, ia bisa menjual antara 5-10 kacamata. Angka penjualan yang sempat membuat saya terbelalak sebab menurut saya itu kelewat bagus untuk ukuran seorang penjual baru.
Usut punya usut, ternyata Prayit menjual kacamatanya dengan harga yang, menurut saya, kelewat murah. Ia menjual kacamatanya itu dengan harga hanya 20 ribu rupiah.
Pantas saja bisa laku banyak, batin saya.
“Dengan harga segitu, memangnya kamu dapat untung?” tanya saya pada Prayit suatu kali.
“Ya dapat tho, kalau nggak dapat, ngapain juga aku jualan.”
“Untung berapa?”
“Ya ada lah.”
Sebagai kawan dekatnya, saya merasa tak rela ia menjual kacamatanya kelewat murah. Saya merasa angka 20 ribu terlalu murah untuk sebuah kacamata.
“Kamu tahu nggak? Beberapa bulan lalu, aku beli kacamata itu 1,3 juta. Kacamataku sebelumnya nggak jauh beda, 1,2 juta. Masak sekarang kamu jual kacamata cuma 20 ribu.”
“Memang kacamata harus mahal?”
“Ya nggak harus sih, tapi minimal ya jangan murah banget. Lha itu punyaku aja sejuta lebih. Mahal kan?”
“Itu bukan mahal, tapi kamunya aja yang goblok, beli kacamata kok sampai jutaan, wong yang murah aja ada, kok.”
“Asuuuuu.”
“Kan punyaku bukan kacamata minus, tapi cuma kacamata anti radiasi.”
“Ya tetap saja kacamata, Yit,” tepis saya, “Jangan terlalu murah. Itu kacamatamu dijual lima puluh atau seratus ribu juga laku. Ngapain harus dua puluh?”
“Nggak papa, kalau dijual lima puluh atau seratus, belum tentu lakunya sebanyak sekarang.”
Saya masih ngotot. Sebagai seseorang yang juga menggeluti bisnis dagang, saya punya teori sendiri dalam berjualan. Menurut saya, barang yang bagus jika dijual dengan harga yang kelewat murah, justru akan membuat orang tak percaya dan mengira barang tersebut palsu.
“Ini kayak kamu jual hape, tapi harganya cuma 50 ribu. Orang pasti bakal ngira itu bukan hape beneran, tapi hape-hapean yang kalau dipencet tombol angka nol bakal keluar suara anjing ‘guk guk guk’ atau lagu disko ‘aiyaiyaiaya’ itu,” terang saya kukuh.
Prayit malah tertawa mendengar penjelasan serius saya.
“Ini serius, Cuk!”
Bagi saya, harga yang murah tak melulu baik buat bisnis.
Begini, kita tentu masih ingat dengan produk mukena yang dulu pernah dijual oleh Syahrini dan sempat menjadi topik yang ramai di sosial media itu. Mukena tersebut saat itu oleh Syahrini dijual dengan banderol harga 3,5 juta.
Tentu saja itu harga yang sangat mahal untuk ukuran sebuah mukena. Namun menurut saya, itu harga yang pantas, sebab kalau Syahrini menjualnya dengan harga yang hanya ratusan ribu, misalnya, maka justru mukena itu nggak ada spesial-spesialnya. Nggak ada bedanya dengan mukena-mukena biasa.
Brand Syahrini yang glamor memang seharusnya menyertai produk apa pun yang dijualnya. Toh nyatanya, dengan harga jutaan itu, mukena Syahrini itu tetap laris.
Itu pula yang menjadi pertimbangan saya memberikan saran buat Prayit agar berani menaikkan harga kacamatanya. Kalau dijual dengan harga murah, justru berpotensi membuat orang mengira kacamata yang dijual Prayit adalah produk murahan.
“Wah, ya gimana ya, aku sudah kadung nyaman dengan harga segini, je.”
“Haisssh, ya wis.”
Saya pasrah. Mungkin memang begitulah cara Prayit hidup. Mencari untung sekecil-kecilnya yang penting banyak jumlahnya. Walau saya masih tetap yakin, efford yang dia habiskan untuk menjual satu kacamata tidak sebanding nilainya dengan keuntungan yang dia dapatkan.
Ah, keparat. Kenapa saya malah jadi sibuk mikirin bisnis si Prayit, ya.
Yang untung dia, yang rugi juga dia.