MOJOK.CO – Tagar #GunungDjatiMenggugat naik di lini masa Twitter adalah jawaban yang lahir dari ketidaklogisan para petinggi kampus UIN Sunan Gunung Djati, Bandung.
Kita bisa menemukan banyak hal konyol dalam hidup. Hal konyol terbaru yang bisa kita temukan di hidup adalah biaya kuliah yang harus dibayar penuh meski pun perkuliahan tatap muka baru mulai Januari 2020. Sepertinya, logika pengeluaran yang harusnya turun gara-gara tidak ada mahasiswa di kampus tidak ditemukan di kepala para petinggi kampus.
Tagar #GunungDjatiMenggugat naik di lini masa Twitter adalah jawaban yang lahir dari ketidaklogisan para petinggi kampus. Kronologi singkatnya begini.
Karena anggaran Kementerian Agama dipotong gegara pandemi, penurunan UKT untuk mahasiswa UIN dibatalkan. UIN Sunan Gunung Djati Bandung mengeluarkan surat keputusan yang berisi jadwal perkuliahan dan tidak memuat informasi tentang keringanan pembayaran UKT.
Para mahasiswa UIN tersebut sontak membuat tagar #GunungDjatiMenggugat dan tuntutan akibat surat keputusan tersebut. Membayar UKT penuh adalah hal yang tidak masuk akal, mengingat semua lapisan masyarakat terkena dampak ekonomi dari pandemi ini.
Tagar #GunungDjatiMenggugat ini mewakili suara para mahasiswa di seluruh Indonesia yang meminta keringanan pembayaran UKT. Keringanan pembayaran yang diminta paling utama adalah pemotongan biaya yang harus dibayarkan secara signifikan.
Ya kalau dipotong dua ratus ribu doang itu namanya bukan pemotongan biaya UKT. Itu pemotongan UKT apa diskon mesin cuci?
Sebelum tagar #GunungDjatiMenggugat, muncul juga tagar #UNYBERGERAK yang mengajukan tuntutan serupa. Tagar tersebut muncul karena surat keputusan yang bocor ke mahasiswa memuat syarat keringanan UKT yang plek-jiplek dengan syarat pengajuan keringanan UKT di hari-hari biasa.
Dan sebenarnya, masih banyak tagar lain yang akan membuat tulisan ini jadi panjang, tapi intinya sama: menuntut hal yang masuk akal.
Fenomena #GunungDjatiMenggugat ini membuktikan satu hal, bahwa kebebalan bisa menular. Para petinggi kampus yang begitu kukuh untuk tidak memberikan keringanan (atau memberikan keringanan, namun tidak signifikan) itu seperti tiba-tiba buta dan tuli tentang berita hancurnya ekonomi di masa pandemi.
Bappenas menyebutkan bahwa jumlah pengangguran akibat wabah corona mencapai 2 sampai 3,7 juta. Dalam kurun waktu tiga bulan saja, ada jutaan orang tak lagi mempunyai penghasilan. Bukan tidak mungkin di antara jutaan pengangguran baru tersebut, punya anak yang masih kuliah.
Kompaknya para mahasiswa menaikkan tagar ini menunjukkan bahwa petinggi kampus sama-sama bebal untuk menerima fakta bahwa pengangguran baru ini hampir pasti tidak bisa membayar biaya kuliah anaknya. #GunungDjatiMenggugat adalah tanda bahwa kebebalan ini belum terlihat akan berhenti.
Saya pikir nasib mahasiswa pada masa pandemi ini begitu mengenaskan. Kampus tetap mengulurkan tangan untuk meminta uang pada saat mereka tak lagi sanggup membeli nasi. Institusi pendidikan yang harusnya membentuk manusia menjadi makhluk yang mengerti empati dan budi justru bertindak sebagai antitesisnya.
Kita harus mengucapkan terima kasih kepada mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati dan tagar #GunungDjatiMenggugat. Selain membawa aspirasi seluruh mahasiswa di Indonesia, mereka memberi contoh antitesis kemanusiaan itu bisa ditemukan di mana saja, bahkan di tempat pencetak manusia unggul sekali pun.
Panjang umur perjuangan!
BACA JUGA Negara Boleh Goblok, Kita Jangan dan artikel menarik lainnya dari Rizky Prasetya.