MOJOK.CO – Spotify itu asik, tapi kadang membosankan. Kebosanan itu yang melahirkan rasa kangen dengerin radio Geronimo FM.
Selain laptop dan jaringan internet, barang penting yang harus ada saat saya bekerja adalah headset. Menulis artikel, mau panjang atau pendek, bakal lebih mengalir ketika ada lagu yang menemani kedua telinga saya. Apalagi ketika tema tulisan saya berkaitan dengan musik atau musisi. Vibe-nya jadi lebih enak.
Nggak cuma pas duduk berjam-jam di depan laptop, headset selalu menempel di telinga ketika saya pergi atau pulang kerja. Untuk menuju kantor Mojok di Jalan Kaliurang kilometer 13, saya membutuhkan sekitar 30 hingga 40 menit perjalanan. Tanpa ditemani lagu, saya pasti mengantuk dan Spotify adalah aplikasi yang tiap hari bekerja keras menemani saya bekerja.
Saya tahu, kebiasaan ini sebetulnya berbahaya. Berkendara sambil mendengarkan lagu bisa mengurangi konsentrasi pengendara. Di beberapa momen, bikin pengendara tidak mendengar suara klakson pengendara lain. Buat saya pribadi, suara lagu malah bikin konsentrasi naik dan jadi lebih awas di jalan. Namun, sekali lagi, tolong jangan ditiru, ya.
Sejak Spotify muncul, saya tak perlu lagi repot ke warnet untuk mengunduh lagu ke harddisk. Setelah melakukan sortir di rumah, baru lagu-lagu tersebut dipindah ke hape. Ribet dan kalau bosan, saya harus mengulangi proses yang sama. Spotify memang terbaik… kalau buat saya, ya.
Namun, seiring waktu, rasa bosan itu muncul. Akui saja, lagu yang kita dengerin di Spotify biasanya “itu-itu aja”. Berkutat di antara genre lagu yang dekat dengan generasi dan selera masing-masing pendengar. Sesekali berubah, tapi akhirnya kembali ke circle yang “itu-itu aja”.
Rasa bosan yang muncul itu hampir selalu sukses membuat saya kangen dengerin radio, salah satunya Geronimo FM. Ada banyak radio di Yogyakarta, tapi yang paling akrab dengan telinga saya hanya Geronimo FM. Mungkin karena kantor mereka dekat dengan rumah saya. Kamu tahu, kedekatan seperti itu memang absurd tapi rasanya jujur.
Berkat Spotify, saya hanya mendengarkan radio ketika naik GoCar atau GrabCar. Beberapa kali saya mendengarkan Geronimo FM lagi ketika nebeng di mobil teman. Selebihnya, hanya ada saya dan hubungan satu arah dengan berbagai playlist di Spotify.
Iya, hubungan kami sifatnya satu arah. Bahkan ketika saya mendengarkan podcast di perjalanan pulang dari kantor Mojok. Rekaman suara itu tidak bisa memunculkan rasa “ditemani” seperti ketika mendengarkan radio Geronimo FM. Mungkin, lantaran suara yang muncul dari radio Geronimo FM sifatnya live, jadi saya merasa ditemani di sepanjang perjalanan.
Ocehan, wejangan, suara tertawa, pisuhan yang disamarkan, hingga tangis penyiar radio terasa organik. Orisinal. Bahkan ketika suara penyiar radio terdengar lebih cempreng dan bikin mood saya turun. Tetap saja, rasanya saya sedang ditemani, setelah lelah bekerja dan ingin segera pulang untuk mandi, menyeduh kopi, membakar kretek, lalu menikmati malam dengan tenang.
Saya jadi ingat dengan masa-masa SMA ketika Geronimo FM selalu berkumandang dari radio di rumah. Pagi sebelum berangkat sekolah, siaran pagi menemani keluarga saya memulai aktivitas. Malam harinya, saling berkirim pesan dengan teman satu sekolah, memesan lagu, dan menyampaikan perasaan lewat SMS.
Sekarang, aktivitas itu tidak terjadi lagi. Pagi hari, saya sudah suntuk mengerjakan artikel untuk tayang pagi. Kembali, Spotify yang jadi pilihan. Siang harinya, di kantor, sesekali lagu-lagu dari Youtube yang menemani. Rindu kepada radio terlupakan begitu saja.
Ketika menulis artikel ini saja, saya mendengarkan Geronimo FM lewat kanal jogjastreamers.com, bukan lewat radio. Kualitas suaranya bagus, kok. Namun, tetap saja, sensasi dan rasa yang dihadirkan dari kotak persegi panjang bernama radio itu sangat berbeda.
Masalah lain yang saya temui adalah tidak bisa mendengarkan radio secara stream ketika naik motor. Posisi hape yang idle, biasanya bikin stream terhenti. Kayak nonton YouTube yang bukan premium. Posisi hape “harus nyala”. Jadi, mau nggak mau, balik ke Spotify lagi.
Saat ini, radio memang kehilangan pamornya di hadapan layanan streaming. Pandemi juga membuat beberapa radio gulung tikar, atau minimal menderita kerugian yang tidak sedikit. Saat ini, saya juga cuma bisa berimajinasi, ketika radio menemukan kembali momennya.
Ketika pendengar bukan sekadar hadir untuk mendengarkan. Ketika pendengar menjadi universe dari radio itu sendiri. Pendengar yang dilibatkan dan merasa ditemani.
Terkadang, dalam hidup ini, perasaan terbaik adalah ketika ada sosok yang mau meluangkan waktu menemani kita di segala perasaan. Penyiar radio punya tone tersendiri yang membuat mereka seperti teman padahal kenal saja tidak. Pada saat itu, Spotify dan layanan streaming lagu lainnya menjadi tidak ada nilainya.
Hubungan terbaik selalu bersifat dua arah. Meski pada kenyataannya hanya virtual, tapi merasa “ada” itu ternyata sangat penting. Terima kasih radio, terima kasih Geronimo FM. Terima kasih Spotify meski kamu terkadang sangat membosankan.
BACA JUGA Kenapa sih Kita Nggak Pernah Bosen Denger Lagu di Radio Meski Ada Spotify dan YouTube? dan artikel lainnya dari Yamadipati Seno.