Siklus Orang Lapar 4.0: Scroll GoFood dan GrabFood, Berakhir Bikin Mi Instan

Paradoks pesan makanan online di GoFood dan GrabFood

ilustrasi Siklus Orang Lapar 4.0: Scroll GoFood dan GrabFood, Berakhir Bikin Mi Instan mojok.co

Siklus Orang Lapar 4.0: Scroll GoFood dan GrabFood, Berakhir Bikin Mi Instan

MOJOK.CO – Bagi sebagian orang, kebanyakan pilihan itu bikin pusing. Sama kayak orang lapar yang scroll GoFood dan GrabFood dan berakhir pada pilihan sederhana: bikin mi instan.

Ketika TK dulu, saya pengin banget punya jin kayak Aladdin yang bisa mengabulkan tiga permintaan. Bahkan sebelum nemu lampu ajaib, saya sudah menyusun tiga permintaan ultimate. Satu, meminta jumlah permintaan saya diubah jadi tidak terhingga. Dua, meminta semangka tanpa biji yang rasanya manis banget. Tiga, meminta setiap makanan yang ada di buku resep, koran, dan majalah bisa muncul di hadapan saya seketika. Permintaan pertama terdengar cerdas, tapi tidak berwujud, permintaan kedua sudah tuntas dengan teknologi pangan, permintaan ketiga tuntas dengan adanya layanan GoFood dan GrabFood. Memikirkan ini membuat saya percaya bahwa teknologi adalah keajaiban dan manusia lebih hebat dari jin botol.

Layanan pesan antar makanan jadi makin populer dan menggeser perilaku konsumen. Nggak heran kalau rekanan perusahaan digital lain mulai nyemplung juga di bidang ini. Lihat saja Shopee Food dan Traveloka Eats yang nggak mau kalah ngasih diskonan. Konsumen serasa dimanjakan.

Awalnya layanan pesan antar makanan memang begitu menjanjikan banyak kemudahan. Okelah, kalau lapar dan sibuk, tetap bisa kenyang tanpa effort. Asal mau agak telaten cari diskon, soal harga yang lebih mahal juga bisa diakali. Kadang, justru lebih murah pakai layanan pesan antar daripada beli langsung. Mantap nggak? Mantap dong. Saya sering banget ngubek-ngubek tiga aplikasi pesan antar cuma biar dapat harga yang lebih murah, top-up dompet digital sampai dapat bonus cashback yang padahal nilainya nggak seberapa.

Masalahnya gini, orang-orang kayak saya punya problem serius terkait GoFood, GrabFood, dan laynan pesan antar lainnya. Siklusnya begitu rumit dan akan saya ceritakan betapa ketika lapar dan punya banyak pilihan makanan justru mendorong saya ke jurang niatan: ah bikin mi aja lah!

Saat lapar, pilihan pertama yang akan saya ambil adalah buka aplikasi layanan pesan antar. Aplikasi mana yang saya pilih? Jujur saja, saya ngacak. Kadang buka GoFood dulu, kadang buka GrabFood kalau saldo OVO lagi bagus, atau langsung buka Shopee Food demi cari diskon. Tahap berikutnya adalah pilih makanan, tahap yang tidak lebih sederhana dari proses pilih-pilih instansi dan jabatan saat daftar PNS. Sinyal yang otak saya tangkap saat saya lapar adalah: ingin kenyang. Kadang saya juga sudah membayangkan makanan tertentu, misalnya ayam geprek, mi ayam, atau ketoprak. Sayangnya bayangan itu bisa goyah seketika saat saya melihat gambar makanan lain di aplikasi GoFood dan GrabFood.

“Loh, kok siomay kayaknya enaaak.” begitu pikir saya dengan cukup tolol.

Setelah sedikit jalan-jalan ke berbagai gerai siomay, mulai yang ratingnya bagus sampai gerai baru buka, saya lalu melakukan kalkulasi harga. Sering kali, di GoFood diskonnya lumayan, tapi kok harus pakai Gopay dan saya lagi nggak punya. Saya pun memutuskan untuk lihat di aplikasi GrabFood, siapa tahu gerai yang sama diskonnya lebih menguntungkan. Ya, memang sekonyol itu.

Tidak lama setelah buka GrabFood, saya sering mendapati diskon gerai terkenal yang ndilalah menjanjikan banget. Busettt, tak dinyana, Shihlin lagi diskon separuh harga! Saya pun bergegas. Padahal harga Shihlin dibandingkan siomay sebagai tadi juga jauh lebih mahal. Ini jelas-jelas bukan problematika berhemat, tapi lebih kepada membandingkan makanan mana yang terenak dengan value yang paling bagus. Kok jadi njelimet gini ya, kalau dipikir-pikir.

Sek to, belum kelar.

Setelah memilih menu Shihlin dan tinggal menekan tombol order, seketika saya teringat Shopee Food yang kerap ngasih diskon gila-gilaan. Saya pun loncat lagi ke aplikasi lain demi mencari gerai yang sama. Wow, ternyata harganya lebih murah, gas nggak nih? Ah, tapi uang segitu kalau buat beli siomay dapat dua piring. Uang segitu kalau buat beli Olive Chicken yang sama-sama ayam kriuk juga lebih murah. Wadoooh, pusing! Bodo amat, pikir saya, akhirnya saya bikin Indomie goreng pakai telor karena menyerah dengan dilema yang saya buat-buat sendiri. Setengah jam berlalu sia-sia. Scroll GoFood, GrabFood, dan Shopee Food for nothing.

Bukankah konyol? Jauh lebih konyol karena pengalaman ini nggak hanya saya sendiri yang mengalami. Beberapa kawan saya juga melakukan hal yang sama, netizen juga pernah membagikan meme dengan problem serupa. Heran banget, saya nih bukan orang yang pemilih lho padahal. Apa kabar orang-orang Libra?

Fenomena macam ini pernah jadi keresahan hingga muncul sebuah riset yang dijuluki marmalade experiment. Singkatnya eksperimen ini menguji bagaimana perilaku konsumen saat dihadapkan pada begitu banyak pilihan. Kelompok konsumen pertama sebanyak 40% dari jumlah responden, diberikan 6 pilihan selai jeruk. Kelompok konsumen kedua sebanyak 60% dari jumlah responden diberi 24 pilihan selai jeruk. Hasilnya kocak sekali. Sebanyak 12% dari jumlah konsumen kelompok pertama benar-benar membeli selai jeruknya. Sedangkan yang beli selai di kelompok kedua hanya 24%. Berbagai penelitian sejenis juga menyimpulkan hal yang sama.

Selanjutnya, fenomena ini disebut sebagai paradox of choice. Semakin banyak pilihan, orang justru semakin bingung dan berakhir meninggalkan semua pilihan. Persis siklus orang lapar yang scrolling GoFood, GrabFood, dan Shopee Food yang justru berakhir dalam pilihan yang lebih realistis untuk mengganjal perut dengan cepat dan murah: bikin mi instan. Betapa paradoksikal hidupmu, kata saya kepada diri sendiri.

BACA JUGA Layanan GoFood Hanyalah Bentuk Kemalasan yang Menyamar atau artikel AJENG RIZKA lainnya. 

Exit mobile version