MOJOK.CO – Dulu narasi kedaulatan selalu mendominasi konflik sengketa di Perairan Natuna. Tapi hari ini, yang dimunculkan malah narasi rebutan tempat mancing antara Indonesia dan China. Ada apa dengan Prabowo dan Luhut?
Satu minggu ke belakang sepertinya jadi hari-hari paling menggairahkan buat anak-anak HI, khususnya yang lagi galau judul skripsi. Selain rame-rame isu Perang Dunia III, Indonesia juga lagi tegang karena China main api lagi dengan mempersilakan kapal nelayan mereka mancing secara ilegal di Perairan Natuna. Masalahnya, kali ini bukan cuma kapal nelayannya yang datang, tapi ditemani segala sama kapal penjaga pantai China (China Coast Guard, CCG).
Saya bingung sama sengketa kambuhan antara Indonesia-China di perairan Natuna ini. Soalnya negara suka nggak kompak mendefinisikan apa yang terjadi di sana.
Kapan hari, sengketa ini dianggap sebagai konflik yang berhubungan dengan kedaulatan. China dianggap kurang ajar karena berani-beraninya maling ikan di perairan Indonesia. Kalau narasinya tentang kedaulatan gini, respons negara sudah pasti LAWAN!!1!! Atau kalau di jaman Bu Susi, TENGGELAMKAN! NKRI HARGA MATI! Alias: Tidak ada tawar-menawar soal kedaulatan.
Tapi di lain hari, konflik ini dilihat sebagai perebutan tempat mancing antara Indonesia dan China. Indonesia merasa perairan Natuna adalah milik mereka dan diakui dalam UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) atau perjanjian hukum laut internasional PBB. Sementara Cina berpandangan perairan Natuna itu milik mereka soalnya sejak jaman nenek moyang, mereka udah mancing di sana.
Nah, karena narasi yang berkembang cuman rebutan tempat mancing, respons yang dibutuhkan tentu cukup negosiasi dan perjanjian bilateral.
Dari dua narasi yang ada, narasi kedaulatan selalu mendominasi konflik sengketa di Perairan Natuna. Tapi hari ini, yang terjadi malah narasi yang kedua. Hal ini terlihat dari pernyataan Menteri Pertahanan Indonesia, Pak Prabowo, dan Menkomaritim Lord Luhut Panjaitan. Keduanya sepakat untuk tidak membesar-besarkan masalah ini.
Aneh sebenarnya melihat Pak Prabowo dan Lord Luhut jadi soft dalam masalah ini. Pak Prabowo bahkan bilang kalau China itu negara sahabat, jadi harus baik-baik. Hampir saja saya lupa kalau beliau adalah sosok yang sama dengan Prabowo yang sewaktu debat pilpres getol sekali membawa narasi perang—sampai bikin saya repot harus nulis negara mana yang punya potensi perang sama Indonesia.
Saya jadi penasaran kenapa Pak Prabs dan Lord Luhut berubah dari yang asalnya garang menjadi sangat hati-hati terhadap China?
Emangnya, AADC alias Ada Apa sih dengan China?
Ternyata, eh ternyata, jawabannya ada pada i n v e s t a s i.
Kalau mengorek-ngorek data yang ada, sebenarnya sampai saat ini China bukan negara nomor 1 yang ada di hati, eh daftar penyuplai investasi di Indonesia. Dalam kaitannya dengan investasi, China menempati peringkat 3 di bawah Singapura dan Jepang.
China juga bukan satu-satunya partner dagang kita. Ekspor-impor dengan China memang besar. Tapi dalam praktiknya, perdagangan kita dengan mereka defisit alias rugi. Sebab, kita cuma bisa ekspor bahan mentah kayak batu bara dan minyak sawit, tapi Cina mengekspor barang olahan dan teknologi.
Kerja sama dengan China terkait pembangunan infrastruktur juga mandek. Kereta cepat Bandung-Jakarta misalnya. Belum lagi masalah tenaga kerja asing dst. dst. Singkat kata, untuk saat ini hubungan Indonesia dan China cukup problematis
Jadi kenapa Indonesia harus mati-matian mempertahankan relasi baik dengan China meski sengketa Natuna membuat banyak orang Indonesia marah?
Jawabannya adalah “masa depan”.
Ekonomi China sedang tumbuh sangat sangat pesat dan karena itu, di masa depan China bakal jadi partner ekonomi paling penting Indonesia.
China di masa depan juga akan jadi negara penyumbang bantuan pembangunan terbesar, dan hampir tidak mungkin kita bisa menolak segala bentuk ekspor dan investasi mereka. Selain karena punya duit, China juga kelak akan punya…
… militer yang sangat kuat. Waduh, kalau macam-macam, bisa-bisa kita dibabat.
Ini saya agak sedih juga sih nulisnya, di masa depan, investasi bakal jadi satu-satunya roda penggerak pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di Indonesia karena kita tidak cukup mandiri (baca: banyak utang) untuk melakukan pembangunan, membuka lapangan pekerjaan, dst. dst.
Bantuan dana pembangunan dari Cina, kelak, bukan hanya akan membantu Indonesia menyelesaikan defisit pengeluaran, tapi juga membangun infrastruktur yang lebih baik yang akan meningkatkan konektivitas dan mengurangi biaya transportasi manusia dan logistik.
Dengan kata lain, kompromi-kompromi yang sedang kita lakukan sekarang, khususnya terkait sengketa di Natuna, adalah bentuk tahu diri Indonesia kalau-kalau di masa depan kita yang akan lebih membutuhkan China ketimbang mereka yang membutuhkan Indonesia.
Begitulah risiko jadi negara berkembang. NKRI harga mati bisa ditawar jadi NKRI harga investasi. Semua demi kelangsungan hidup.
BACA JUGA Risiko Lahir di Negara Berkembang atau artikel lainnya di POJOKAN.