Saya Mau Kok Dipimpin Prabowo yang Suka Ngomong Kasar

Prabowo ngamuk MOJOK.CO

MOJOK.COPak Prabowo suka memaki dan ngomong kasar? Ya nggak papa toh. Itu tandanya beliau orang yang cerdas, fleksibel, paham masalah, dan bisa jadi teman yang baik.

Saya sendiri suka ngomong kasar. Namun, dalam konteks dan situasi yang tepat. Makian, ketika digunakan dalam konteks dan situasi yang tepat, bisa jadi bumbu pertemanan yang asik. Obrolan menjadi cair dan pertemanan terasa semakin dekat. Saling memaki (misuh, dalam Bahasa Jawa) ketika bercanda dengan teman juga bisa menjadi pertanda strata pertemanan.

Kalau makiannya masih menggunakan kata “jancok” atau “gundulmu” itu menggambarkan teman, dekat, tapi jarang ketemu. Kalau lebih akrab dan sering ketemu, misalnya ketika asik main PES atau FIFA, biasa terdengar makian, “Asu koe, Daf!” atau “Jingan koe, Ga!” atau “Babi koe, Don!”. Makian itu untuk mengekspresikan kekesalan karena dicurangi ketika main game. Namun, konteksnya bercanda.

Terdengar kasar, tapi itu wujud rasa sayang kepada teman. Menunjukkan tidak ada sekat di antara kita. Oleh sebab itu, ketika Prabowo sering menggunakan kata atau istilah yang kasar, marah-marah di atas mimbar, saya sih malah suka.

Yang dilakukan Prabowo itu kan cuma ekspresi. Ya kalau rumahmu dikepung panser seperti rumahnya Pak Habibie dulu karena mengkritik kebiasaan Prabowo, ya itu berarti kamu yang kelewatan. Pak Prabowo masak kelewatan. Ya nggak bisa. Cuma saya dan kamu yang bisa, beliau nggak mungkin. Camkan itu, Sugi!

Baru-baru ini, dalam rentetan kampanye ketika hari coblosan semakin dekat, Pak Prabowo sering menggunakan ungkapan yang sungguh menarik. Beliau marah-marah. Saya tahu, kalau soal marah-marah sih biasa saja. Namun, kalau dibumbui dengan omongan kasar di depan ribuan massa, nah itu baru menarik.

Yang menarik bagi saya adalah diksi, pilihan kata yang digunakan oleh Prabowo. Beliau mencoba mengombinasikan antara intimidasi dan ice breaking. Seperti misalnya ketika menanggapi “kabar miring” soal kampanye akbar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta tempo hari.

Jadi, banyak “elite” dan pemberitaan di luar sana yang menyebut kalau massa yang datang di kampanye akbar itu hanya 15 ribu orang saja. Nah, ketika kampanye di Pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) Palembang, Prabowo terbawa “suasana”.

Saking emosinya, bahkan beliau sampai menggunakan sebuah makian, yang bukannya menyeramkan, malah terdengar lucu. Jadi, Ketum Gerindra itu bilang begini: “Elite semua bohong, yang bilang di GBK 15 ribu orang matanya di dengkul!”

“Matanya di dengkul!” Sebuah makian yang justru terdengar lucu. Ini jenis makian yang satu cluster dengan “Mbahmu kiper!” dan “Dengkulmu mlocot!” yang kalau dialihbahasakan ke Bahasa Indonesia menjadi jauh dari kata seram: “Nenekmu penjaga gawang!” dan “Lututmu terkelupas!”. Ini usaha yang perlu kamu hargai. Beliau tetap ingin terdengar tegas dan berani, tapi tetap unyu. Ini sulit, lho.

Tapi saya sih nggak heran kalau Prabowo bisa sekreatif ini. Lha wong gurunya Ki Amien Rais. Seorang politikus andal, senior, dan pandai bermain kata-kata. Err, maksud saya menciptakan istilah yang quote-able. Tak perlu saya jelaskan, misalnya, ketika Ki Amien Rais bisa tahu doa malaikat yang meminta Jokowi kalah.

Untuk mengimbangi makian yang unyu dan squishy-able itu, Pak Prabowo menggunakan kata “bajingan”. Begini kalimatnya:

“Banyak antek-antek asing itu di Jakarta, bajingan itu. Eh, maaf, maaf, nggak boleh bicara kasar… Ini karena Wong Kito Galo ini. Tapi kalian mau dengar yang kasar apa yang benar? Kalau kalian mau dengar yang benar, memang bajingan mereka.”

Perhatikan, ini Pak Prabowo ingin menegaskan bahwa kebenaran itu memang pahit. Kalau memang bajingan, ya katakan bajingan. Nggak perlu ditutupi, nggak perlu pakai topeng. Lagian siapa sih para elite ini? Elite yang biasanya rapat, tapi bolos dan nggak menyelesaikan target RUU? BTW, Pak Prabowo termasuk elite nggak ya?

Ya nggak dong, Pak Prabs kan sedang memosisikan dirinya sebagai populist. Apa itu populist? Populist adalah orang, biasanya politikus, yang berusaha menarik simpati warga dengan menekankan keprihatikan karena sudah diabaikan oleh para elite yang sudah mapan. Pak Prabowo mapan? Ya enggak, dong. Lha wong bayar gaji karyawan saja nggak biasa, kan itu berarti beliau belum mapan. Ehh, betul nggak sih berita itu? Tolong saya dicerahkan.

Ngomong kasar dan suka memaki itu bukan sesuatu yang buruk. Makian adalah indikator kecerdasan seseorang. Sebuah penelitian yang dilansir oleh washingtonpost.com menemukan bahwa orang yang suka memaki adalah orang yang cerdas. Kok bisa begitu?

Pertama, makian berkaitan dengan kayanya perbendaharaan kata seseorang. Kedua, paham betul dengan konteks lawan bicara. Ketiga, menunjukkan kepercayaan diri seseorang. Keempat, menunjukkan bahwa kamu orang yang fleksibel. Kelima, sadar dengan kondisi emosi diri sendiri. Keenam, lebih mudah menemukan solusi sebuah masalah.

Bagi politikus, makian menjadi sebuah kata yang tabu untuk diucapkan. Setidaknya itulah anggapan masyarakat luas. Sebagai tokoh masyarakat, citra diri menjadi terlalu penting. Yang sopan, yang santun, dianggap sebagai politikus yang lebih baik. Padahal di belakang korupsi berjamaah. Padahal katakan tidak, ternyata kok korupsi.

Oleh sebab itu, saya mau saja dipimpin Prabowo. Dipimpin ya. Dipimpin kan nggak selalu harus jadi presiden. Ketua Kelas, Ketua RW, atau jadi Pak Dukuh kayaknya cocok juga buat Pak Prabs kalau kalah (lagi) di Pilpres.

Dipimpin Pak Dukuh yang tegas dan fleksibel kayaknya enak. Kalau ngobrol di warung kopi, sambil ngudud, kaki dinaikkan satu ke kursi, bisa sambil bertukar makian dengan manja.

“Wah Pak Dukuh, buajingan betul itu si Sugi. Disuruh ikut kerja bakti banyak alasan.”

“Ya sudah, biarin saja. Mungkin dengkulnya mlocot.”

Mesraa~

Exit mobile version