Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Pojokan

Ridwan Kamil Disoraki “Prabowo”: Sekali Lagi, Sepak Bola Itu Rumah Politik

Yamadipati Seno oleh Yamadipati Seno
20 Februari 2019
A A
ridwan kamil disoraki prabowo MOJOK.CO
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat pendukung Jokowi, disoraki “Prabowo!” oleh ratusan Bobotoh. Bukti sepak bola itu rumah yang nyaman untuk politik.

Tiap kali hendak pemilihan umum, entah Pilkada, entah Pilpres, sepak bola selalu ada di dalam narasi tersebut. Menilik sejarahnya yang panjang, sepak bola memang tidak bisa lepas dari politik. Jika ada yang mengajak “menjauhkan” politik dari sepak bola itu ibarat menahan kebelet boker parah di pagi hari. Sulit dan hampir tidak bisa.

Mengapa sangat sulit menjauhkan politik dari sepak bola? Kita ambil contoh sebuah pertandingan. Penonton di dalam stadion tentu saja manusia. Mereka punya atribut preferensi akan sesuatu. Salah satunya adalah politik. Dan, ketika situasi mendukung, preferensi itu akan diekspresikan secara jelas.

Seperti ketika Ridwan Kamil datang ke stadion untuk nonton Persib Bandung vs Arema FC di Stadion Jalak Harupat, 18 Februari yang lalu. Ratusan Bobotoh meneriakkan nama “Prabowo! Prabowo! Prabowo!”. Kalau nonton videonya, kamu bakal tahu bahwa dari segelintir, teriakan “Prabowo!” disambut Bobotoh lainnya. Seperti menjadi sebuah chant, “Prabowo!” Jalak Harupat menggemakan “Prabowo!”.

Kamu tentunya paham bahwa Ridwan Kamil, yang saat ini mengemban amanat sebagai Gubernur Jawa Barat memilih mendukung Jokowi di Pilpres 2019. Gubernur boleh mendukung Jokowi. Bahkan Ridwal Kamil boleh mengarahkan suara konstituennya untuk Jokowi. namun, di dalam stadion, suara-suara manusia tidak bisa dibendung mengeskpresikan preferensinya.

Sepak bola, yang diusahakan bebas dari politik, nyatanya tidak bisa. Gema “Prabowo!” menjadi bukti bahwa konteks Pilpres 2019 dipadukan dengan suporter yang berkumpul, menjadikan sepak bola sebagai “rumah politik”.

Rumah, seperti pengertian di dalam KBBI disebutkan sebagai “bangunan untuk tempat tinggal”. Sepak bola, sebagai rumah yang megah dan perabot mewah bernama kumpulan massa, adalah habitat yang nyaman untuk politikus.

Sebuah massa dalam jumlah besar yang berkumpul adalah “rumah” yang indah bagi politikus. Itulah alasan banyak politikus yang mbribik basis massa suporter sebuah klub tertentu. Massa yang besar bisa dimanipulasi, diarahkan menjadi tabungan suara. Tengok saja ketika Pilkada DKI, janji membikinkan stadion berkelas bla bla bla selalu ada untuk Persija Jakarta.

Menunggangi sepak bola, banyak tokoh yang tadinya kurang populer mendadak begitu dikenal. Mereka lebih mudah memperoleh ruang pemberitaan di media massa dan media sosial. Juga lebih mudah untuk menjumpai calon pemilihnya. Cukup dengan datang ke stadion, sudah bisa berjumpa dengan puluhan ribu calon pemilihnya.

Pola seperti ini yang bisa kita lihat dari sepak terjang Edy Rahmayadi. Edy memiliki karier militer yang mentereng, mulai dari Pangdam Bukit Barisan dan Pangkostrad. Namun, Edy Rahmayadi sadar bahwa jabatan militernya itu tidak cukup mengangkat popularitas namanya dan bekal untuk masuk ke politik praktis.

Oleh karena itu, mantan Ketum PSSI tersebut masuk ke sepak bola. Apalagi, dia pernah punya pengalaman sebagai pemain junior PSMS Medan sebelum aktif di militer. Sebagai orang yang memiliki ambisi politik, Edy tahu yang mesti dilakukan. Sepak bola menjadi “rumah politik” bagi Edy Rahmayadi.

Bobotoh juga pernah menunjukkan “preferensi” politiknya ketika membuat spanduk dukungan untuk Rohingya berbunyi “Save Rohingya”. PSSI meradang dengan aksi tersebut. Komdis PSSI menghukum Persib Bandung dengan sejumlah denda sebesar Rp50 juta. Tanpa boleh banding, Persib harus membayar denda dalam waktu 14 hari.

Keputusan Komdis PSSI dianggap ngawur. Tak ingin klub kesayangannya didenda karena aksi mendukung Rohingya, Bobotoh saweran dalam bentuk uang koin.

Tahun 2016, Glasgow Celtic didenda UEFA. Saat itu, fans mereka mengibarkan ratusan bendera Palestina ketika Celtic berlaga di Liga Champions. UEFA memandang aksi tersebut sebagai aksi politik. Konon, mereka ingin menjauhkan sepak bola dari politik.

Iklan

Pilihan ini, di sepak bola selalu bisa diartikulasikan menjadi dua arti. Pertama, sebuah keputusan yang bijak karena politik bisa bikin sepak bola menjadi tidak murni. Kedua, sangat naif karena manusia selalu berpolitik. Toh, yang namanya politik tidak selalu bersinggungan dengan soal pilih-memilih caleg atau capres atau cawapres.

Berpolitik sendiri adalah aksi menjalankan atau menganut suatu paham politik. Sementara itu, politik juga bisa diartikan sebagai cara bertindak ketika menghadapi sebuah masalah.

Untung saja, Ridwan Kamil tidak lepas kendali ketika banyak Bobotoh menyuarakan preferensi politiknya. Coba bayangkan kalau Ridwan Kamil ngamuk-ngamuk di medsos sambil bikin puisi. Eh maaf, kalau soal bikin puisi, itu kerjaannya Fadli Zon, yang katanya wakil rakyat itu.

Jika Ridwan Kamil lepas kendali, Jokowi bakal runyam karena bakal ganggu usaha “mengganggu” dominasi Prabowo di Jawa Barat. Seperti kamu ketahui, Jawa Barat adalah basis suara Prabowo, sementara Jokowi sedikit unggul di Jawa Timur dan cukup kuat di Jawa Tengah.

Pada akhirnya, sungguh sulit memisahkan sepak bola dari politik. Bahkan, memang sangat sulit memisahkan politik dari apa pun. Karena yang namanya manusia punya kehendak bebas. Seperti misalnya si dia nggak balas wasapmu. Nggak perlu berharap banyak, mBlo. Berharap tinggi-tinggi itu jatuhnya makin sakit.

 

Terakhir diperbarui pada 20 Februari 2019 oleh

Tags: bobotohjokowiPersib BandungPilpres 2019praboworidwan kamil
Yamadipati Seno

Yamadipati Seno

Redaktur Mojok. Koki di @arsenalskitchen.

Artikel Terkait

kapitalisme terpimpin.MOJOK.CO
Ragam

Bahaya Laten “Kapitalisme Terpimpin” ala Prabowonomics

21 Oktober 2025
Kereta Cepat Whoosh DOSA Jokowi Paling Besar Tak Termaafkan MOJOK.CO
Esai

Whoosh Adalah Proyek Kereta Cepat yang Sudah Busuk Sebelum Mulai, Jadi Dosa Besar Jokowi yang Tidak Bisa Saya Maafkan

17 Oktober 2025
Hentikan MBG! Tiru Keputusan Sleman Pakai Duit Rakyat (Unsplash)
Pojokan

Saatnya Meniru Sleman: Mengalihkan MBG, Mengembalikan Duit Rakyat kepada Rakyat

19 September 2025
Video Prabowo Tayang di Bioskop Itu Bikin Rakyat Muak! MOJOK.CO
Aktual

Tak Asyiknya Bioskop Belakangan Ini, Ruang Hiburan Jadi Alat Personal Branding Prabowo

16 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

UAD: Kampus Terbaik untuk “Mahasiswa Buangan” Seperti Saya MOJOK.CO

UNY Mengajarkan Kebebasan yang Gagal Saya Terjemahkan, sementara UAD Menyeret Saya Kembali ke Akal Sehat Menuju Kelulusan

16 Desember 2025
UMP Jogja bikin miris, mending kerja di Jakarta. MOJOK.CO

Menyesal Kerja di Jogja dengan Gaji yang Nggak Sesuai UMP, Pilih ke Jakarta meski Kerjanya “Hectic”. Toh, Sama-sama Mahal

17 Desember 2025
Peringatan Hari Monyet Ekor Panjang Sedunia di Jogja. MOJOK.CO

Pilu di Balik Atraksi Topeng Monyet Ekor Panjang, Hari-hari Diburu, Disiksa, hingga Terancam Punah

15 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Riset dan pengabdian masyarakat perguruan tinggi/universitas di Indonesia masih belum optimal MOJOK.CO

Universitas di Indonesia Ada 4.000 Lebih tapi Cuma 5% Berorientasi Riset, Pengabdian Masyarakat Mandek di Laporan

18 Desember 2025
Pulau Bawean Begitu Indah, tapi Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri MOJOK.CO

Pengalaman Saya Tinggal Selama 6 Bulan di Pulau Bawean: Pulau Indah yang Warganya Terpaksa Mandiri karena Menjadi Anak Tiri Negeri Sendiri

15 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.