MOJOK.CO – Mantan napi dipandang selalu jahat. Mereka terbentur SKCK ketika ingin membangun hidup baru. Sangat kontras dengan mantan napi koruptor.
Sebelum berbicara terlalu jauh, kita perlu bersepakat terlebih dahulu soal pemakaian istilah “si kaya” dan “si miskin”. Saya menggunakan istilah ini untuk konteks yang spesifik.
Si kaya merujuk kepada para koruptor yang mendapatkan lampu hijau untuk kembali mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Sementara itu, si miskin adalah orang-orang, mantan narapidana, orang kecil, mantan mahasiswa nganggur yang tengah berusaha mendaftar PNS, dan kita-kita semua yang terbentur dengan masalah SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian).
Isitilah “si kaya” di sini juga tidak selalu berhubungan dengan tebalnya dompet para koruptor. Namun para koruptor yang punya akses mengumpulkan advokat, akses pengetahuan hukum, dan kemahiran berorasi. Mereka kaya. Kaya akan pengetahuan yang bisa dimanfaatkan untuk bisa kembali menjadi “wakil rakyat”, saya dan kamu semua.
Nah, kalau sudah sepakat, mari kita masuk ke dalam inti tulisan pendek ini.
Bulan ini, diperkirakan ada lebih dari 10 juta orang yang akan saling sikut untuk memperebutkan “nasib baik” menjadi PNS. Posisi PNS yang dibuka hanya ada 238 ribu posisi. Sebuah perbandingan yang dahsyat, bukan? Ada 10 ribu pelamar, untuk dua ratusan posisi saja. “Nasib baik” atau bisa kamu baca menjadi PNS masih menjadi pilihan profesi yang seksi. Terutama di mata beberapa mertua. Heuheuheu…
Salah satu syarat untuk mendaftar adalah membuat SKCK di kepolisian. Sebuah “surat sakti” yang menyatakan kamu bukan mantan kriminal, yang menyatakan bahwa kamu adalah orang yang bersih dan layak untuk “mengabdi kepada masyarakat”. Citra diri ini memang sangat penting bagi semua pemerintah di dunia. Pastinya, yang dicari adalah mereka yang bersih dari status jahat dan layak.
Masalahnya kemudian, para calon PNS, dan semua pelamar pekerjaan merasakan ketidakadilan atas perlakuan kepada koruptor. Kamu juga boleh menambahkan kata “mantan” di depan kata “koruptor” supaya lebih halus. Bersikap santun di depan publik kan wajib hukumnya bagi koruptor.
Minggu lalu, Mahkamah Agung memberi lampu hijau kepada mantan koruptor untuk kembali mencalonkan diri menjadi legislator. Korupsi adalah dosa besar. Dosanya memengaruhi kehidupan banyak orang. Apalagi kalau uang yang mereka tilap jumlahnya sangat besar. Ooh, kamu jangan main-main, konon “penyakit” ini belum ada obatnya, apalagi kalau sudah berjamaah.
Beberapa warga net mempertanyakan, “Apakah koruptor tidak perlu bikin SKCK? Mereka tidak terganjal dengan status mantan penjahat itu? Nah, kalau tidak, mengapa kami harus bikin SKCK untuk menegaskan bahwa kami ini orang baik?” Kamu punya jawaban atas pernyataan itu?
Saya punya. Jawabannya ada di pengertian “si kaya” yang saya tegaskan di atas. Para mantan koruptor ini punya akses untuk “berserikat dan berkumpul” untuk beramai-ramai menggugat UU yang melarang mantan koruptor untuk nyaleg ke Mahkamah Agung. Dan mereka berhasil. Salah satu narasi yang beredar adalah mereka sudah bertobat setelah menjalani hukuman (yang terasa sangat singkat itu).
Sampai di sini semua terasa masuk akal. Agama kita mengajarkan untuk memberi maaf, terutama kepada orang jahat, yang sudah menjalani hukuman. Apalagi mereka bilang sudah bertobat. Secara agama, sudah benar. Namun soal rasa, semuanya terasa salah.
Si kaya ini punya akses uang untuk berkumpul dan menyewa advokat. Mereka punya akses informasi untuk menggugat Mahkamah Agung. Dua hal tersebut adalah kekuatan yang tidak dimiliki oleh si miskin, katakanlah mantan napi biasa.
Si mantan napi ini, begitu keluar dari perjara, biasanya akan merasa jeri ketika dipaksa membuat SKCK untuk melamar pekerjaan. Ketika ada keterangan mantan napi di dalam SKCK, si pemberi kerja pasti berpikir seribu kali. Bahkan ketika misalnya si pemberi kerja ini orang yang sangat baik hatinya. Ia pasti butuh waktu untuk diam dan merenung. Mempertimbangkan risiko ketika memperkejakan mantan napi. Bahkan mantan napi yang sudah sebetul-betulnya bertobat.
Lain halnya ketika bertemu pemberi kerja dengan sifat yang berbeda. Karena status pernah berbuat kejahatan, si mantan napi pasti langsung ditolak. Padahal, di dalam penjara, napi dibekali berbagai kemampuan dasar. Mau sejago apapun mantan napi, di mata beberapa orang, mereka tetap penjahat.
Bulan Juli 2018 yang lalu, Vice memuat sebuah tulisan yang menarik. Isinya adalah hasil wawancara mantan napi bernama Galang Wibisono dan Sigit Priambodo. Keduanya merasakan sulitnya mencari kerja setelah keluar dari penjara. Keduanya sadar bahwa status napi itu memberatkan usaha mereka. Bahkan, saya menangkap rasa malu di dalamnya.
Galang, misalnya. Ketika melamar sebagai office boy dan dimintai SKCK, Galang memilih mundur. Sigit juga merasakan sulitnya kembali ke masyarakat. “Sanksi sosial itu jauh lebih berat daripada sanksi penjara,” ungkap Sigit.
Rasa malu ini nampaknya tidak bersemayam di dada koruptor. Pun dengan berat pertobatan di mata orang banyak. Mantan koruptor dianggap lebih berat massa tobatnya dibandingkan napi biasa. Mereka bisa kembali mencoba menjadi “wakil rakyat” dengan bebas. Berbeda dengan mantan napi yang sudah tobat dengan tulus.
Budaya malu itu tidak sepenuhnya nyata. Rasa tobat itu pun beratnya berbeda bagi masing-masing orang. Khususnya untuk saat-saat seperti ini. Sebenarnya, siapa yang bisa menakar berat pertobatan masing-masing? Pada titik tertentu, jawabannya adalah diri sendiri.