Mendukung Purbaya adalah mendukung kebijakan yang lebih manusiawi. Sebuah kenyataan yang tidak kita temukan dari aksi premanisme menteri keuangan terdahulu.
Industri Hasil Tembakau (IHT) di Indonesia selalu berada dalam sorotan. Isu ini diposisikan ke dalam konteks “dilematis” karena punya peran sebagai penyumbang penerimaan negara yang besar melalui cukai rokok, ladang pencahariaan jutaan petani tembakau, serta penghidupan buruh rokok.
Dan jangan salah, mereka yang “menggantungkan hidup” di sekitar industri tembakau jumlahnya lebih besar lagi. Mulai dari buruh linting, hingga pedagang kecil atau pengecer.
Melihat potensi kematian ladang kehidupan petani di depan mata, Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, resah. Beliau berusaha mencegah kematian sumur kehidupan jutaan rakyat kecil. Namun, yang beliau dapat adalah usaha penghalangan yang sungguh tidak masuk akal. Ada orang yang mau menyelamatkan jutaan petani, malah dihalangi.
Aksi Purbaya ini memang sangat kontras dengan pandahulunya, Sri Mulyani. Sosok kesayangan Bank Dunia, mantan menteri keuangan, adalah menteri yang lebih cocok disebut “preman”. Ingat, saya pakai tanda petik. Kalau nggak paham, jangan sok paham.
Sri Mulyani dengan sangat kejam dan serampangan, terus menaikkan cukai rokok. Dalihnya adalah demi kesehatan, tapi niat utamanya adalah membunuh sumur kehidupan jutaan petani tembakau. Sudah begitu, Sri tidak mau bertindak ketika rokok ilegal membanjiri pasar.
Padahal, keberadaan rokok ilegal ini juga membunuh potensi pendapatan yang seharusnya dinikmati jutaan petani Indonesia. Memang, kesayangan Bank Dunia ini saya rasa nggak pernah memikirkan nasib rakyat. Bagi Sri, kematian rakyat hanya sebatas angka-angka di dalam laporan Excel.
Perbedaan pendekatan kebijakan antara Sri Mulyani dengan Purbaya terhadap IHT jelas menunjukkan pergeseran prioritas yang signifikan. Terutama dalam konteks dampaknya terhadap petani tembakau. Izinkan saya menjelaskan.
Era Sri Mulyani: Premanisme kenaikan cukai yang agresif
Selama masa jabatannya, kebijakan Sri Mulyani terhadap IHT ditandai dengan kenaikan cukai yang agresif setiap tahun. Bahkan sering di atas inflasi. Kebijakan ini didasarkan pada dua tujuan utama: pengendalian konsumsi rokok (aspek kesehatan) dan peningkatan penerimaan negara (aspek fiskal).
Serampangan menaikkan cukai dan dampaknya pada jutaan petani
Kebijakan cukai yang tinggi secara konsisten (misalnya, rata-rata 10% di tahun 2023-2024) memang meningkatkan penerimaan negara. Namun, data dan analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini justru menimbulkan dampak negatif yang signifikan pada petani tembakau dan buruh rokok.

Kenaikan cukai yang masif membuat harga rokok legal melambung tinggi. Hal ini menekan daya beli masyarakat, mendorong fenomena down trading. Konsumen beralih dari rokok golongan I (premium) ke golongan yang lebih murah (golongan II dan III).
Pabrikan rokok golongan besar yang menyerap tembakau petani dalam jumlah besar jadi tertekan. Pada gilirannya, berdampak pada penyerapan tembakau petani dan harga beli tembakau di tingkat petani. Paham nggak, Sri?
Sudah begitu, petani tembakau dilaporkan menderita karena harga jual yang tidak stabil dan cenderung rendah. Maklum, permintaan dari pabrikan yang tertekan oleh kenaikan cukai jadi rendah.
Klaim pemerintah bahwa kenaikan cukai rokok memperhatikan kesejahteraan petani dan buruh belum sepenuhnya terbukti. Berbagai keluhan muncul dari petani yang merasa manfaat Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) minim dirasakan langsung.
Nyatanya, mereka masih kesulitan memperoleh pupuk subsidi, modal, dan asuransi pertanian. Kenaikan cukai di tengah pandemi dan pelemahan daya beli masyarakat juga memperburuk kondisi, sampai mengancam PHK di sektor padat karya ini.
Ironisnya, kenaikan cukai yang bertujuan mengendalikan konsumsi malah meningkatkan peredaran rokok ilegal. Ketika rokok legal menjadi mahal, konsumen yang daya belinya rendah akan beralih ke rokok ilegal yang tanpa cukai. Ini merugikan penerimaan negara yang notabene menggunakan bahan baku tembakau petani. Tapi pemerintah diam saja. Kan bajingan!
Baca halaman selanjutnya: Niat mulia Purbaya.












