Punya Anak di Indonesia Adalah Perkara yang (Memang Seharusnya) Ribet 

punya anak omongan orang persiapan menikah dewasa sebelum punya anak dinamika keluarga mojok.co

punya anak omongan orang persiapan menikah dewasa sebelum punya anak dinamika keluarga mojok.co

MOJOK.CO Punya anak itu ribet dan membuat semua orang merasa harus ikut campur.

Semua ini bermula ketika seorang tenaga kesehatan mengeluh di Twitter bagaimana para ibu hamil yang ia temui sebenarnya nggak siap untuk punya anak.

“Pernah dapet pasien 18 tahun, baru nikah, masih pengen jadi ‘anak muda’, trus hamil. Udah gede nih hamilnya, 27-28 minggu. Cerita kalau males minum suplemen besi, asam folat, calc, aspirin (iya, skrining PE +), karena bosen minum obat kaya orang sakit,” demikian akun @dafinabalqis memulai utasnya.

Ibu hamil malas minum asam folat itu jelas egois. Tapi bukan cuma itu kasus yang ditemui si pembuat utas. Ia juga menemukan perempuan 41 tahun yang kaget karena hamil lagi serta pasien 17 tahun yang sembarangan memperlakukan kandungannya (dan masih ceria karena kayaknya nggak paham risikonya).

Utas itu kemudian disisipi imbauan keras yang bikin kuping merah.

Soalnya….

Si sesembak got her point, tapi ada respons lain yang berusaha meluruskan cara pandangnya: kalau ada ibu hamil yang kehamilannya bikin tenaga kesehatan prihatin, ya yang disalahin jangan cuma istrinya.

Membaca balasan itu, saya jadi mikir, kalau ada orang mau punya anak tanpa perencanaan matang, yang salah bukan cuma si suami istri atau si laki dan si perempuan, tapi hampir semua orang. Kalau mau dibikin bales-balesan, daftarnya bisa tak terhingga.

Orang tua, misalnya, di Indonesia mereka sering sekali jadi  pihak yang paling kebelet pengin anaknya menikah karena termakan mitos nggak nikah-nikah = nggak laku. Dan kalau anak sudah menikah, apa lagi tuntutannya kalau bukan memberi cucu?

Sering kejadian kok, sebenarnya si anak aslinya tahu dirinya belum siap. Nggak siapnya bisa secara psikologi, tapi terutama masalah ekonomi karena problem satu ini efeknya yang paling ke mana-mana. Namun… karena orang tua kebanyakan intervensi, si anak kemudian memutuskan menikah punya anak. Entah karena jadi kepengin gara-gara dipanas-panasin orang tua, entah dapat janji setelah menikah tetap dapat support orang tua, bisa jadi juga takut dicap anak durhaka karena melawan keinginan orang tua.

Lalu teman, tetangga, keluarga besar, dan lingkungan sosial lain yang kamu tahu sendiri… sering banyak bacot. Mungkin cuma karena bosan dan butuh bahan omongan.

Kalau kamu tak berada di lingkungan racun seperti ini, bersyukurlah. Karena saya sendiri ada di lingkungan kayak gini.

Kalau bicara dari sisi suami-istri yang mau punya anak, saya rasa kita-kita ini aslinya masih punya pilihan ketika menghadapi serangan semacam itu. Yaitu pilihan untuk memutuskan apa yang terbaik bagi diri kita. Syaratnya, kita melihat masalahnya dengan dibekali pendidikan seksual yang baik. Idealnya, kalau sudah begitu, kita lebih matang lah dalam memilah saran-saran yang masuk.

Kalau keputusan kita akhirnya melawan arus utama, kita harus akui: itu sulit memang.

Tapi, daripada hanya karena tidak enak, sungkan, segan, lalu kita menyengsarakan diri untuk waktu sangat panjang, jelas itu pilihan yang sangat tidak taktis dan visioner.

Wong nyatanya kita tak bisa memilih untuk bebas dari omongan orang, tapi kita masih bebas untuk tidak mendengarkan mereka.

Ketika itu sudah terlampaui, atau dirasa mudah diatasi, mungkin yang rada ribet justru melawan keinginan impulsif diri sendiri. Semacam, pengin nikah karena tergiur jadi raja dan ratu sehari, tapi tabungan aja nggak punya padahal sadar ongkos ngasih makan dan pendidikan anak itu muahal.

Saya masuk golongan orang yang nggak percaya bahwa “Tenang aja, memberanikan diri nikah dan punya anak akan membuka pintu rezeki”. Jika kamu percaya, silakan. Saya sendiri sudah cukup trauma menyaksikan kesedihan-kesedihan orang tua.

Bagi saya, cukup sudah perangai impulsif membuat masa-masa umur 25 tahun ke bawah saya penuh drama dan turbulensi. Sekarang yang saya tahu, saya takut sekali jika keputusan salah saya soal menikah dan punya anak membuat saya menderita kelak. Dan dalam jangka panjang.

Sebab, jika pun saya salah ambil keputusan, saya sih memang pantas menyesal dan menanggung hukumannya. Tapi ini soal punya anak, dan anak adalah nyawa baru, diri baru, pribadi lain di luar diri kita. Keputusan salah soal punya anak berimbas paling besar pada diri mereka alih-alih pada si ayah dan ibu, si kakek dan nenek, si tetangga, si om dan tante, dan si-si lainnya.

Saya takut sekali anak saya kelak menyesal saya lahirkan dan berkata, “Seandainya aja aku jadi anaknya orang lain….”

Dari sisi para pihak yang terbukti memang bisa mengintervensi keputusan satu pasangan untuk punya anak, saya memandang mereka juga mengintervensi ke arah sebaliknya. Ketika mereka bisa menjerumuskan orang ke keputusan salah, mereka juga bisa menyelamatkan orang dari keputusan yang salah.

Ini menurut saya: @dafinabalqis benar, @cicipls benar, namun sebaik-baiknya imbauan adalah dengan menghilangkan subjeknya. Menekankan bahwa yang salah adalah A saja atau B saja malah mengaburkan tanggung jawab pihak yang lain. Membuat pihak lain seakan-akan tak punya peran dan kuasa apa pun.

Rumah tangga, sebagai institusi yang salah satu pembangunnya adalah cinta atau emosi, adalah masalah kompleks. Siapa yang salah bisa sangat situasional. Mungkin ini tentang suami yang berkeras bahwa banyak anak, banyak rezeki. Mungkin ini perkara istri yang terjebak dengan perasaan belum menjadi wanita jika belum punya anak.

Tulisan ini akhirnya menjadi sangat normatif. Tapi tengoklah, mungkin kamu sendiri adalah korban rumah tangga yang tidak dipersiapkan dengan baik. Mungkin kamu sendiri kerap terenyuh menyaksikan berita-berita tragis, akibat dari orang yang tak layak jadi orang tua tapi ngeyel dan jalan terus.

Jadi, kepada siapa pun kalian, sebaiknya tekankan pada diri sendiri, perkara anak sejatinya memang ribet dan sudah seharusnya ribet. Demi kebaikan yang lebih besar, pendapat saya yang paling ekstrem menganggap, lebih baik menjadi tak beranak tapi bisa menyayangi semua makhluk hidup ketimbang menjadi orang tua yang buruk.

Toh, apa gunanya ilusi melanjutkan keturunan ketika dunia sangat tidak baik-baik saja seperti sekarang ini. Nambah masalah aja. Iya, gara-gara tiap hari baca berita, pandangan saya jadi sesurem ini 🙁

BACA JUGA Alasan Mengapa Hanya Pohon Tertentu yang Jadi Tempat Tinggal Hantu atau artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version