MOJOK.CO – Walau merasa telah setara dengan lelaki, ternyata perempuan yang telah menikah dan bekerja, masih punya beban stereotip peran gender yang telah melekat di masyarakat.
Sebetulnya tanggung jawab sebuah komitmen pernikahan, tidak hanya dibebankan pada lelaki saja. Namun, juga pada perempuan—sebagai pasangannya. Setelah menikah, ada beberapa kebebasan yang sama-sama tidak lagi dirasakan oleh kedua belah pihak, karena tanggung jawab untuk bisa saling membahagiakan satu sama lain juga semakin besar. Tidak jarang keduanya pun jadi lebih sulit untuk menjadi diri sendiri. Pasalnya setelah menikah, ada kewajiban yang membuat seseorang tidak lagi hanya fokus dengan diri sendiri namun juga kepada orang lain yang telah mendampingi.
Saat ini, tidak sedikit pasangan yang berusaha membagi tanggung jawab sebuah pernikahan dengan setara. Misalnya, banyak perempuan yang memutuskan untuk tetap bekerja meskipun telah menikah. Meski pola ini memang menjadi salah satu hal yang dapat menunjukkan kesetaraan peran perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Nyatanya budaya kita, masih menjadikan perempuan yang telah meluangkan waktu panjangnya untuk bekerja—untuk membantu keuangan keluarga, tetap harus memikirkan tugas rumah tangganya.
Meski rumah tangga tersebut telah dibangun dengan pola egaliter atau setara tentang gender, baik mengenai pembagian tugas rumah tangga, pendapatan yang merata, maupun pola komunikasi yang tidak lagi menimbulkan sungkan-sungkanan. Ternyata, konsep tersebut terlalu mudah luruh dengan stereotip peran gender yang telah begitu lama melekat dalam hidup masyarakat: bahwa urusan mencari nafkah adalah tanggung jawab laki-laki sementara urusan mengurus rumah tangga adalah tanggung jawab perempuan.
Hal ini tak lepas dari stereotip, bahwa laki-laki pantas menjadi pemimpin dan kepala keluarga karena ia rasional. Laki-laki memiliki tenaga yang lebih kuat sehingga dialah yang wajib menafkahi keluarganya. Sementara perempuan, karena dianggap lebih memiliki kelembutan dan kesabaran, maka ia dirasa lebih cocok untuk mengasuh anak. Apalagi perempuan juga memiliki fungsi biologis untuk melahirkan. Dengan ini, seolah-olah tugas mengasuh anak menjadi tanggung jawabnya.
Tentu saja, keadaan yang kepalang tanggung ini, menjadikan perempuan berada dalam posisi yang serba ribet dan sangat sibuk. Pasalnya, dia telah mengambil peran yang sama seperti suaminya untuk mencari nafkah. Namun, dalam keadaan tersebut, ternyata dia juga membawa beban stereotip peran gender untuk mengurus rumah. Maka, tidak jarang dengan keadaan ini, perempuan menjadi kesulitan untuk mendapatkan me time-nya, dan pelan-pelan kesulitan untuk membahagiakan diri sendiri.
Gimana? Perlu contoh?
Contoh yang sederhana, tidak sedikit perempuan yang sudah menikah dan memutuskan untuk tetap bekerja. Bisa dikatakan, ia melakukan itu untuk ikut membantu keuangan keluarga, maupun untuk kemandirian ekonominya sendiri. Jadi, kalau pengin apa-apa, nggak perlu minta-minta ke suami. Meski waktunya sudah begitu lama dihabiskan untuk bekerja—kira-kira 9 jam per hari ditambah hilir mudik perjalanannya, eh, mereka juga yang turut memikirkan urusan printilan di rumah tangga. Semisal, nanti malam makan apa, ya? Anak-anak nanti pulang sekolahnya dijemput siapa, ya? Dan lain sebagainya.
Selanjutnya, contoh hal yang lebih besar lainnya mengenai keterikatan stereotip gender ini. Ketika si suami mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri dari kantornya, biasanya ia tidak akan berpikir panjang. Langsung senang dan menyetujuinya begitu saja. Sebaliknya, jika hal tersebut dialami oleh si istri, maka dia bakal lebih mempertimbangkan banyak hal. Misalnya, kalau dia menerima beasiswa tersebut, siapa yang nantinya bakal ngurus anaknya, ngurus suaminya? Bagaimana kalau mereka nanti ditinggal? Apa lebih baik mereka ikut saja ke luar negeri? Tapi kalau ikut, nanti biayanya bagaimana? Dan seterusnya.
Demikian pula dengan seorang perempuan yang sukses dalam kariernya, tidak jarang ia pula yang cenderung dipersalahkan jika kehidupan perkawinannya tersebut tidak harmonis. Lihat saja beberapa waktu yang lalu, ketika Hengky Kurniawan memutuskan membuat program Sekolah Ibu untuk meminimalisir angka perceraian. Lagi-lagi, perempuan yang diminta bertanggung jawab jika keadaan rumah tangga tersebut tidak baik-baik saja. Padahal, tidak sedikit kasus perceraian yang terjadi karena sikap suami yang memang tidak layak untuk dipertahankan, dan bukankah…
…pernikahan adalah tanggung jawab bersama?
Dari sini semakin menyakinkan, bahwa sesukses apa pun karier perempuan, ia masih dilekatkan dengan perannya sebagai seorang ibu rumah tangga. Lebih jauh lagi, perempuan yang sukses seolah-olah bukanlah dilihat dari prestasi gemilangnya dalam karier maupun kegiatan sosial. Namun, sebatas bagaimana dia berhasil mengelola kehidupan rumah tangganya supaya terlihat baik-baik saja.
Sungguh menyesakkan, jika beban stereotip peran gender yang tidak diinginkan ini, terus menerus mengikuti kehidupan kita. Apalagi stereotip tersebut melekat dalam masyarakat dan sungguh sulit disangkal. Menjadikan tanggung jawab urusan rumah tangga masih ada di tangan perempuan, meski ia telah menyelesaikan tanggung jawab lainnya.
Tetapi, jika mengharapkan stereotip peran gender tersebut lenyap dan kesetaraan betul-betul nyata adanya dalam waktu dekat? Ehmmm~