Perbandingan Standar Gaji 8 Juta Lulusan UI dengan Standar Hidup Mahasiswa UI Negeri

gaji 8 juta

MOJOK.CO – Tidak seperti “oknum” lulusan UI yang ditawari gaji 8 juta udah ngomel-ngomel, mahasiswa UI Negeri mah terima berkat besek aja otw sujud syukur.

Viral “oknum” alumni UI fresh graduate yang ngomel-ngomel karena ditawari gaji 8 juta lewat IG Story, sepertinya banyak perusahaan sebaiknya memikirkan prosedur penerimaan karyawan khusus untuk lulusan UI Negeri.


Selain lebih murah secara biaya operasional karena nggak harus bayar gaji 8 juta ke atas, anak-anak UI Negeri saya jamin tidak akan mikirin besaran gaji kalau diterima kerja. Boro-boro mikir gaji 8 juta, dibayar gula sama teh saja sudah sujud syukur kayang jungkir balik Demak-Jogja mereka.

Maklum, anak-anak UI Negeri sudah terbiasa dengan salam tempel terima kasih alias bisyaroh yang disesuaikan dengan kemampuan pihak yang mengontrak. Ngisi ceramah, bisyaroh. Ngisi pengajian, bisyaroh. Ikut aqiqoh, bisyaroh gule juga diterima. Bahkan gaji pertama bisyaroh ya nggak apa-apa.

Hidup penuh kesederhanaan dan nggak neko-neko adalah falsafah hidup anak-anak UI Negeri. Soalnya bagi anak UI Negeri, rezeki itu udah ada yang ngatur. Jadi ya nggak perlu ngatur-ngatur rezeki orang, apalagi sampai ngatur rezeki sendiri.

Saya tahu betul kebiasaan ini karena sejak kecil kehidupan saya tidak pernah jauh dari UI Negeri. Saya lahir dan besar di kompleks perumahan UI Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta (dulu masih IAIN sih).

Sedari orok saya sudah di lingkungan UI Negeri, atau sebut UIN saja lah biar enak. Bahkan konon, kalau darah saya ini diambil, di sana akan akan muncul falsafah kampus islami yang lekat dengan laku tirakat mahasiswanya ini.

Semua pengalaman masa kecil saya selalu bertaut dengan UIN. Dari pengalaman nonton bola pertama sampai pengalaman ikut-ikutan demo di Tangga Demokrasi UIN Sunan Kalijaga yang legendaris itu.

Ketika demo 1998 misalnya, saat mahasiswa lari tunggang langgang masuk perumahan di UIN (termasuk rumah saya) karena dikejar-kejar isilop, saya malah riang gembira. Menyambut kedatangan gas air mata dan terkagum-kagum melihat alat berat tentara masuk kampus. Seru. Kayak isi museum Monjali tiba-tiba dipindah dan dijereng di depan rumah saya.

Sampai kemudian keluarga saya harus pindah dari sana, karena status perumahan kampus IAIN mau dipugar untuk jadi gedung perkuliahan UIN seperti sekarang.

Tapi bertahun-tahun kemudian ikatan saya dengan UIN tak pernah pudar. Pun setelah saya lulus kuliah. Tautan ini terus nyambung saja. Paling tidak, sampai saat ini saya masih dipercaya untuk mengajar beberapa mata kuliah di UIN-wanna-be, alias IAIN. Bukan di Yogyakarta, tapi di Surakarta. Sambil sesekali ngisi kelas besar kalau diperlukan Dekan Fakultas.

Seperti beberapa waktu silam, ketika masa kuliah belum aktif dan kampus masih kosong melompong, saya diminta untuk mengisi kelas besar oleh Dekan. Saya pikir tak akan banyak yang bakal mau datang kelas besar ini. Dengan kuota ruang hampir 100 mahasiswa, saya tak berharap banyak. Ya maklum sih, anak IAIN di hari libur gitu. Ke kampus? Pfft, mau ngapain?

Sampai kemudian saya dikejutkan dengan mahasiswa yang datang sampai 80-an mahasiswa. Heran saya. Selo sekali mereka mau datang dengerin saya ngibul berjam-jam? IAIN lho ini, bukan lulusan UI yang lumrah dengan gaji 8 juta ke atas itu.

Melihat kenyataan ini saya kecewa. Kecewa, sungguh kecewa. Soalnya mereka yang datang bikin kultur UIN atau IAIN jadi benar-benar asing di mata saya. Idih, udah kayak anak UI atau UGM aja sih, rajin amat libur-libur gini datang.

Lha gimana? UIN itu kan dekat sama slengean. Selo. Kuliah aja kadang pakai sepatu futsal. Kalau ditawari gaji pertama waktu wawancara kerja nggak mungkin nyebutin gaji 8 juta. Lha kok gaji 8 juta rupiah, nyebut nominal bisyaroh aja udah masuk kategori su’ul adab bagi mereka.

Selain soal perkara selo soal tawaran gaji 8 juta, anak UIN atau IAIN di mata saya juga merupakan sekelompok mahasiswa tukang protes dan kritis. Apa-apa dikritik. Hawong selesai acara saya ini aja ada mahasiswi yang maju ke depan dan langsung melayangkan kritik ke panitia dan saya kok (sumpah ini serius).

Ya ini wajar belaka. Anak UIN itu punya kemistri sendiri sama sifat kritis. Apa saja bisa jadi bahan baku untuk dikritisi. Apa saja bisa didemo.

SPP naik demo, AC mati demo, parkiran pindah demo, bahkan wifii rektorat dipasword aja bisa demo. Apa aja dilawan. Konon lulusan terbaik di UIN bukan dinilai dari bagus-bagusan IPK, tapi soal kemampuan merancang aksi perlawanan.

Jika di kampus lain atau seperti kampus UI yang lulusannya biasa minta gaji 8 juta jabatan tertinggi saat mahasiswa adalah Ketua BEM, nah di UIN beda. Jabatan tertinggi bagi mahasiswa UIN atau IAIN ya Korlap Demo. Udah dewa itu. Nggak bakal ada yang bisa ngalahin.

Lha ini yang kemudian jadi tanda tanya besar bagi saya. Hakok ada gitu 80-an mahasiswa IAIN di tempat saya, manut-manut aja datang di kelas fardhu kifayah model begini. Kalau ini adalah mahasiswa UI ya wajar saja. Sebagai universitas terbaik, tentu lumrah kalau mahasiswa-mahasiswanya sangat haus akan ilmu dan rajin-rajin.

Tapipaak, mereka yang datang di kelas saya ini kan anak IAIN. IAIN lho ini. Institut Agama Islam Negeri. UIN aja belum lho padahal. Heran saya.

Karena penasaran, saya tanya ke moderator.

“Tumben ramai gini, Mas?”

Si moderator kemudian bisik-bisik ke saya.

“Anu, Mas, soalnya ada makan siang gratis untuk mahasiswa yang hadir.”

Haduh, tiba-tiba saya menyesal kalau tadi udah su’udzon.

Exit mobile version