Pejabat dengan Citra Diri Buruk Baiknya Sontek Lucinta Luna yang Mengontrol Benci Jadi Komedi

ilustrasi suara lucinta luna Pejabat dengan Citra Diri Buruk Baiknya Sontek Lucinta Luna yang Mengontrol Benci Jadi Komedi mojok.co

ilustrasi suara lucinta luna Pejabat dengan Citra Diri Buruk Baiknya Sontek Lucinta Luna yang Mengontrol Benci Jadi Komedi mojok.co

MOJOK.CO – Manajemen citra diri yang buruk bisa jadi memperparah wacana publik. Pihak-pihak strategis kayak pemerintah ada baiknya belajar dari Lucinta Luna, deh.

Manajemen citra diri bukan sekadar ilmu kira-kira yang bebas dibentuk kapan saja. Orang-orang terkenal beserta manajemennya perlu belajar betul tentang ilmu ini biar muncul pencitraan positif di mata publik. Lho ini penting, citra positif yang dilanjutkan terus-menerus bisa bikin seseorang menjadi presiden nantinya. Bahkan ada trik khusus yang harusnya bisa dipelajari untuk membalik citra buruk jadi baik, kayak yang sedang dipraktikkan Lucinta Luna, lah.

Sebelumnya, perlu kamu tahu deh kalau pembentukkan citra orang terkenal di mata publik juga diatur dan diurus dengan baik oleh orang-orang di balik layar. Nggak semua yang kamu lihat di layar kaca sepolos apa kelihatannya. Ini nggak hanya berlaku untuk selebritas, tapi juga pejabat pemerintahan yang posisinya lebih krusial (karena butuh ngumpulin suara nantinya). Sebenarnya ngatur-ngatur citra diri ini bukanlah dosa besar, kecuali kalau aslinya brandal dibuat seolah-olah dia ahli agama, nah itu fatal.

Nggak hanya Lucinta Luna, artis-artis jebolan baru yang butuh dinotice publik juga kadang disuntikkan skenario settingan biar ada sensasi baru, dikenal publik walau namanya buruk nggak apa-apa. Yang penting dikenal dulu. Sayangnya beberapa artis dan manajemennya pakai cara yang nggak elegan, cenderung norak, dan bikin masyarakat mendiskusikan hal-hal bodoh. Yang begini seharusnya dieliminasi publik sih.

Ada juga citra diri artis yang telanjur buruk karena suatu kasus dan manajemennya juga harus mikir keras buat mengembalikkan keadaan. Kamu pikir semua citra diri artis yang buruk dan berubah jadi baik itu karena nggak sengaja? Seolah-olah mak cempluk semesta mengizinkan gitu? Saya sih percaya bahwa di balik semua ini ada manajer-manajer cerdik yang memilah harus seperti apa si artis (atau si pejabat) tampil di media. Contoh paling mudah adalah kasus Ariel Noah. Buruk benar namanya setelah kasus video-video masa lalu. Beberapa tahun setelahnya, Bang Boriel kembali punya kharisma dan dipuja. Edan.

Ini juga yang terjadi sama Lucinta Luna. Sebenarnya butuh manajer yang cerdik dan artis yang cukup legowo dengan apa yang publik katakan terhadapnya. Mereka kemudian menyusun strategi soal bagaimana si artis harus ditampilkan. Lucinta Luna yang dulu sering di-bully, dibenci, dan dihakimi, kini mengubah semua energi negatif itu jadi komedi. Hasilnya? Orang-orang justru terhibur dan tumbuh respek ke Lucinta Luna sebagai sosok transgender. Padahal tugasnya mudah, ia hanya perlu meredam gengsi untuk sesekali mengeluarkan suara lelaki. Gitu aja uda bikin ngakak.

Format Lucinta Luna “baru” ini awalnya booming berkat nge-vlog bareng Boy William beberapa waktu belakangan. Muncul gimik “mic pengubah suara” yang bisa bikin suara lembut Bang Fatah jadi gahar. Meski masih mengaku hamil, Lucinta tetap saja memainkan suaranya yang kadang lembut, kadang macho itu. Setidaknya ini lebih baik daripada dulu, saat dia habis-habisan dimaki masyarakat karena dianggap halu. Sekarang suara batuknya yang tiba-tiba berat sudah begtu saja dia sebut sebagai suara khodam alias jin penjaga yang bersemayam di tubuh Lucinta dan kita semua terima-terima aja.

Pemerintah, pejabat publik, dan siapa pun yang punya citra diri buruk agaknya perlu menyontek cara membalikkan keadaan ala Mas Fatah ini. Bagaimana dia menjadi legowo, menekan gengsi, dan mengubah benci jadi komedi bisa diformulasikan jadi rumus agar publik kembali respek. Tapi, kayaknya part komedinya harus diaplikasikan dengan hati-hati lah. Nggak lucu kan kalau Pak Luhut, misalnya, tiba-tiba melawak pakai pantun, cakeeep. Duh, ya publik malah tepok jidat. Jadi garing juga kalau misalnya ada menteri yang sok asyik gitu, ngetwit pakai referensi budaya pop di tengah krisis begini. Huh, kayak kenal deh itu menteri.

Bagaimanapun menyontek kan bukan berarti menjiplak, diadaptasi dan disesuaikan itu yang penting. Tim manajemen perlu survei dulu ke publik soal bagaimana figur publik dikenal. Misal, kalau Pak Luhut terkenal seram, apanya yang bikin seram, sejak kapan blio dianggap seram. Nah, dari sinilah kemudian Pak Luhut dengan tim bikin formulasi baru, mengubah citra seram jadi sosok yang tegas dan berwibawa. Misalnya aja lho ini, Pak Luhut. Contoh doang ini mah.

Mau Lucinta Luna kek, Pak Luhut, Pak Mahfud, Pak Jokowi, Pak Jamil (ini eyang saya), semuanya layak diekspos sisi positifnya dengan cara se-smooth mungkin. Citra diri yang baik memperlancar urusan. Pakai buzzer-buzzer-an itu kuno, ah. Mending fokus ke figur publiknya daripada menyerang kubu lawan. Nah, lain halnya kalau si figur publik nggak punya sisi positif, tapi dipaksa “kelihatan positif” ya wassalam. Ini sudah di luar kendali tim manajemen dan di luar kendali publik. Sudah perkara yang beda lagi. Lha wong nggak punya hal baik kok ingin tampil sebagai “figur” di mata publik. Konyol.

BACA JUGA Lucinta Luna dan Noraknya Kita terhadap Mereka yang Transpuan dan tulisan AJENG RIZKA lainnya.

Exit mobile version