MOJOK.CO – Orang bilang, persahabatan laki-laki dan perempuan pasti nggak murni. Sebagai pelaku (dan korban), saya bisa bilang “ya” dan “tidak” untuk premis ini.
Waktu SMA kelas 10, “pacar” saya banyak. Kenapa saya pakaikan tanda petik? Soalnya, “pacar-pacar” ini adalah mereka-mereka yang kerap di-ciye-ciye-kan dengan saya, saking seringnya kami pergi bersama. Daripada capek menjawab, “Kami cuma temenan,” tapi nggak pernah dipercaya, ya udah, mending saya iseng aja sebut sebagai “pacar”. Mamam~
Saya ceritakan latar belakangnya dulu: Saya adalah satu-satunya perempuan dalam circle pertemanan empat orang lelaki. Fenomena persahabatan laki-laki dan perempuan ini ada enaknya dan nggak enaknya sekaligus. Yang paling mengganggu saya adalah anggapan orang-orang bahwa hubungan pertemanan kami nggak murni: pasti ada yang punya perasaan cinta diam-diam.
Jadi gini, Saudara-saudara, meskipun sahabat saya, Redaktur Audian Laili, pernah menulis soal hubungan platonik di mana hubungan laki-laki dan perempuan yang murni sahabatan itu bisa terjadi, saya rasa saya perlu menjabarkan secara langsung apa yang sebenarnya terjadi dalam sebuah persahabatan laki-laki dan perempuan.
*JENG JENG JENG*
Mulanya, saya sendiri juga sempat meragukan kemurnian persahabatan saya dengan para lelaki ini, bahkan sampai emosi. Lah gimana nggak: dua orang dari mereka, dalam waktu yang berbeda, pernah menyatakan perasaannya pada saya. Hadeh!
Seorang kawan, perempuan, pernah bertanya, “Kenapa kamu nggak pacaran aja sama salah satu dari mereka? Pasti ngobrolnya nyambung, kan, udah berteman bertahun-tahun?”
Sungguh, saya nggak bercanda: jenis pertanyaan ini adalah pertanyaan PALING menyebalkan sedunia.
Kenapa menyebalkan? Karena, sebagai pelaku (dan korban) langsung dalam persahabatan laki-laki dan perempuan, percayalah, saya sudah pernah mengalaminya: menghadapi perasaan cinta diam-diam.
Dari dua orang teman yang menyatakan perasaannya pada saya di atas, kisahnya berlanjut. Dasar anak sedang puber, saya juga punya perasaan pada salah satunya, dan tebak: apa yang terjadi berikutnya? Benar: kami berpacaran.
Jangka waktunya cukup panjang—sejak SMA hingga kami lulus kuliah. Percayalah, hubungan pacaran yang dimulai dari persahabatan itu ternyata nggak buruk-buruk amat. Saya nggak perlu repot-repot jaim sama dia, begitu pula sebaliknya. Saya juga nggak perlu repot-repot ngenalin dia sama teman-teman saya karena—ya gimana ya—lah wong kami satu geng!
Masalah yang nggak menyenangkan memang sesekali muncul, mulai dari cemburu, hingga—anehnya—terbatasnya topik curhat. Maksud saya, kalau pacarmu adalah orang lain, mungkin kamu bisa bercerita soal pacarmu pada sahabatmu. Lah, kalau pacarmu adalah sahabatmu sendiri, kamu mau cerita apa?
Belum lagi kalau saya dan pacar berantem. Bisa-bisa, salah satu dari kami melancarkan aksi diam di dalam grup chat geng kami, atau menolak semua ajakan kumpul. Hal-hal semacam ini, menurut saya, menjadikan persahabatan laki-laki dan perempuan yang kami punya jadi tidak—apa ya—profesional.
Ah, jangan tanya apa yang terjadi saat kami akhirnya putus. Saya kira, geng ini bubar dengan sendirinya. Si pacar, yang kemudian menjadi mantan, langsung menjauh sejauh-jauhnya. Saat kami mengadakan reuni kecil-kecilan, tentu anggotanya kini sudah berubah: hanya ada empat orang, karena yang satu sudah pergi.
Dan itu semua, mari akui saja, karena cinta yang kandas. Coba kalau kami tak pernah pacaran—mungkin hingga tulisan ini dibuat, saya bisa memasang foto kami berlima di laman Instagram.
Dengan kata lain, saya rasa kita bisa mengambil pelajaran pertama yang penting di sini:
Saat persahabatan laki-laki dan perempuan berubah jadi cinta dan ternyata ambyar, kamu harus siap pada satu hal: kehilangan pacar sekaligus sahabat. Pertanyaannya: kamu siap atau nggak, mempertaruhkan persahabatan yang kamu punya?
Untung saja, dua orang yang tersisa—sebut saja namanya Botol dan Pulpen—membuat saya yakin bahwa pertemanan murni seperti yang dimiliki Harry Potter dan Hermione Granger itu benar-benar ada. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah tahu-tahu datang ke muka saya sambil menyatakan cinta, dan itu melegakan saya.
Pulpen menikah tahun lalu setelah menjalani proses taaruf. Saya baru tahu siapa istrinya pada saat hari pernikahan mereka. Yang saya ingat, sebuah kejadian awkward terjadi saat saya datang ke pelaminan, bermaksud menyalami mereka.
“Dek,” kata Pulpen bersemangat pada istrinya, saat saya datang, “Ini nih, sahabatnya Mas yang Mas ceritain. Dia pokoknya sahabat Mas banget, deh!”
Saking bersemangatnya, Pulpen nyaris menepuk-nepuk pundak saya—seperti yang biasa dia lakukan. Meski kelihatannya normal, saya langsung menangkap pandangan lain dari istri Pulpen.
Tidak, tidak, saya bukan mau bilang istri Pulpen kelihatan cemburu. Tapi saya rasa, kalau saya jadi istrinya Pulpen, saya pun bakal kesal sendiri melihat suami saya begitu heboh bertemu perempuan lain di hari pernikahan. Saya langsung menghindar dari tepukan Pulpen dan menyalami istrinya sambil cipika-cipiki.
Beberapa bulan kemudian, kami mengadakan janji bertemu. Saya meminta Pulpen mengajak istrinya, sedangkan saya akan datang bersama Botol. Pulpen mengiyakan permintaan saya lewat balasan pendek di WhatsApp: “Oke, Liakuuu!”
Sedetik kemudian, tulisannya berubah: This message was deleted. Tak lama, pesan baru masuk: “Oke, Lia!”
Saya cuma tertawa kecil. Dalam hati, saya menyadari bahwa ada perubahan besar di sana. Selama ini, Pulpen tak pernah absen menyebut saya sebagai “Liaku”—sebuah panggilan obsesif yang sudah saya terima sejak persahabatan laki-laki dan perempuan ini dimulai.
Tapi, tentu saja kami tak boleh egois: istri Pulpen adalah orang yang baik dan kami tak ingin menyakiti hatinya, meski panggilan tadi hanya iseng belaka.
Dari sini, saya rasa kita bisa mengambil pelajaran kedua yang tak kalah penting:
Akan jauuuh lebih baik kalau kamu dan sahabat-sahabatmu bisa bersikap bijaksana sejak awal dan tak mengglorifikasi kedekatan yang kalian miliki. Panggilan unik, emoji love, hingga kebiasaan skinship di antara kalian, coba dipikirkan lagi: itu penting banget nggak, sebenarnya?
Terakhir, hubungan persahabatan laki-laki dan perempuan yang paling awet saya jalani adalah bersama Botol. Karena kami sama-sama belum menikah, pertanyaan “Kenapa kalian nggak jadian aja?” mulai sering terdengar, dan ini sungguh mengganggu.
Saya nggak peduli orang lain kekeuh menilai bahwa bisa saja saya dan Botol sama-sama punya perasaan khusus tapi denial. Toh, semuanya adalah asumsi dan saya nggak akan repot-repot menanggapi. Yang jelas, di titik ini, saya bersyukur bisa tetap berteman dengan Botol secara murni, bercerita banyak hal padanya, dan tetap berhubungan tanpa perlu bawa-bawa perasaan.
Dan saya rasa, itu adalah pelajaran ketiga yang paling penting: menempatkan diri sebagai sahabatnya—hanya sahabat, dan tidak lebih sama sekali.