MOJOK.CO – Tren kemeja flanel sudah dimulai sejak abad ke-16 dan masih berlangsung sampai sekarang. Apa, sih, alasannya?
Saya suka motif kotak-kotak untuk pakaian. Dulu sekali, saya bahkan sampai bela-belain nabung demi sebuah rok berwarna biru kotak-kotak—maklum, masih jadi mahasiswa baru yang nggak punya kerjaan.
Motif ini kemudian muncul jauh lebih sering dari yang saya duga. Beberapa kali ada orang mengenakan kemeja lengan panjang dengan motif kotak-kotak. Yang membuat saya penasaran, bahannya nggak tipis-tipis amat, meski nggak terlalu tebal. Usut punya usut, saat itulah dimulai kejayaan kemeja flanel kotak-kotak.
Kemunculan bahan flanel sendiri dimulai sejak abad ke-16. Dalam bahasa Wales, ia bernama gwlanen yang berarti “bahan wol”. Flanel kemudian disebut sebagai flannelette yang bersifat hangat dan cukup tebal sehingga mampu melindungi penggunanya dari cuaca dingin dan ranting pohon.
Uniknya, hampir semua motif kemeja flanel adalah kotak-kotak. Bagi saya, ini adalah misteri. Maksudnya apa coba? Biar kayak taplak? Atau kayak nasi kondangan? Hmmm???
Tapi, kotak-kotak dalam kemeja flanel ternyata juga punya sejarahnya sendiri. Pada abad 17, ia menjadi simbol pemberontakan terhadap tirani di Inggris Raya, sementara di abad ke-20 motif ini dipakai para pemusik. Singkatnya, kemeja flanel kotak-kotak kemudian identik dengan karakter maskulin, bebas, dan—tentu saja—santuy.
Sekarang, hingga tahun 2019, masih banyak saja orang yang memilih kemeja flanel sebagai andalan berbusana. Kenapa hal itu terjadi? Ya mana saya tahu. Saya kan bukan cenayang—saya cuma karyawan swasta. Hih!
Tapi, kayaknya seru juga kalau saya menebak-nebak alasannya, seperti berikut ini.
*JENG JENG JENG*
Pertama, mereka yang pakai kemeja flanel sebenernya berada di tengah kebimbangan cuaca: panas tapi dingin.
Seorang narasumber terpercaya dalam hal per-flanel-an, Yamadipati Seno, mengatakan bahwa kemeja flanelnya adalah kawan yang tepat untuk dipakai saat cuaca panas. Soalnya, ia bisa melindungi diri dari terik matahari dengan kemeja lengan panjang, sekaligus tetap merasa silir dan tidak hareudang berkat keberadaan kaze wa fuiteru angin yang berhembus.
Kedua, kemeja flanel menjadi pilihan bagi mereka yang suka naik gunung, baik saat mereka lagi beneran naik gunung ataupun cuma lagi stay di Kelurahan Gunung, Kebayoran Baru.
Kegiatan fisik seperti naik gunung memang menuntut pelakunya untuk menggunakan pakaian yang mampu menyerap keringat. Tujuannya apa? Ya biar tetap kering dan nyaman dipakai, sekaligus menghangatkan tubuh. Kamu nggak mau, kan, kedinginan di gunung? Makanya, baju flanel ini sering kali jadi pilihan.
Lebih spesifik lagi, OOTD anak gunung berflanel biasanya gini: pakai kaus di dalam, dilapisi baju flanel yang kadang nggak dikancingin, lalu pakai slayer di leher atau satu hal penting: pakai buff. Kalau diibaratkan seperti sinetron Indonesia, pelaku tren pakaian ini mungkin sama kayak jumlah sinetron Tukang Bubur Naik Haji: banyak banget!
Ketiga, mereka yang pakai kemeja flanel sebenernya males ganti baju.
Ha gimana nggak? Umumnya, mereka-mereka ini adalah orang-orang yang belum ganti kaus dari kemarin dan merasa “aman” hanya dengan mengganti luaran alias outer, atau dalam hal ini, berupa flanel. Soalnya, pakaian ini memang ajaib: bisa membuat pemakainya tampak lebih elegan dan kece hanya dalam sekian detik.
Pengguna kemeja flanel dengan tipe ini umumnya memang hanya memanfaatkan si kemeja sebagai pemanis. Maka, sering kali, mereka nggak bakal repot-repot ngancingin baju kemejanya.
Nah, ini juga menjadi sebuah misteri yang mengherankan: kenapa harus nggak dikancingin coba???
Beberapa orang percaya, alasan kemeja flanel nggak dikancingin adalah agar penggunanya tampak lebih bergaya dan keren. Padahal, kalau dipikir-pikir lagi, mungkin kemejanya nggak dikancingin biar…
…ehm, biar nggak pesing, ya?
Hehehe. Ketawa, dong. Hehehe.
BACA JUGA Harga Pakaian Anak-Anak Hype yang Membuat Kita Merasa Missqueen atau tulisan Aprilia Kumala lainnya.