MOJOK.CO – Saat ada orang tua di rumah dan nyuruh-nyuruh kita, sungguh malesnya minta ampun. Tapi, saat mereka pergi, tanpa disuruh pun kita bisa mengerjakan banyak hal dengan begitu tekun.
Kamu pernah nggak, sih? Saat sedang berada di rumah dan ada orang tua di rumah, ngerasa begitu males-malesan? Apalagi kalau udah disuruh-suruh dan dianggap sebagai anak yang nggak bisa ngapa-ngapain. Atau, malah dianggap sebagai anak yang nggak pernah bisa memahami capeknya mereka sebagai orang tua. Dan kata-kata “tambahan” yang terlontar, semakin membuat kita ngerasa males kalau disuruh melakukan sesuatu.
Akan tetapi, hal ini bisa langsung berbeda, saat orang tua keluar rumah. Ntah pergi ke mana dan untuk kepentingan apa. Hingga membuat kita tinggal sendirian di rumah dan langsung ngerasa bebas mau ngapain aja. Nah, kalau kondisinya kayak gini, kita malah betul-betul bisa jadi rajin minta ampun. Apa-apa diberesin. Semua pekerjaan rumah tangga dilakukan tanpa ada seorang pun yang nyuruh-nyuruh kita. Semua dilakukan dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Kita pun bahagia-bahagia aja ngelakuinnya. Dan langsung merasa sebagai anak paling berbakti sedunia.
Namun, sedihnya—yang sering terjadi, usaha keras yang bagi kita adalah sebuah perbuatan yang sungguh subhanallah itu, seolah-olah nggak ada artinya sama sekali bagi orang tua. Jarang ada pujian tersampaikan. Malahan, masih ada aja salah yang dipergunjingkan. Rasanya pengin marah-marah, tapi kok ya mereka orang tua kita sendiri, ya?
Aneh nggak, sih? Kalau kita jadi manusia yang males saat disuruh-suruh. Tapi kalau nggak disuruh, bisa jadi anak yang “terlalu rajin”. Bukankah sebetulnya, yang dilakukan itu ya, sama-sama saja? Lantas, kok bisa dilakukan dengan rasa yang berbeda?
Mungkin begini, ya, pada dasarnya, jiwa egoisme kita ini memang lebih nyaman melakukan sesuatu atas inisiatif diri sendiri. Kalau kita sendiri yang menentukan pengin melakukan apa, ghirah-nya bakal lebih keluar. Sesuatu yang sama akan terasa berbeda, saat hal tersebut diperintah oleh orang lain. Rasanya tidak lagi natural. Lha wong, itu semua perintah.
Bisa jadi, hal ini nggak hanya terjadi di rumah dan kalau berurusan sama orang tua saja. Coba bayangkan saja, kalau ini adalah urusan pekerjaan kantor. Kira-kira, manakah yang lebih meningkatkan harga diri kita? Melakukan sesuatu atas perintah atasan? Atau melakukan sesuatu tanpa disuruh dan atas inisiatif sendiri—meskipun itu bisa jadi jauh lebih berat? Ehm… yang kedua, bukan?
Kok, bisa kayak gitu? Ya, karena ketika kita melakukan sesuatu atas kehendak diri sendiri, kita merasa harga diri tidak berada pada mental “suruhan”. Kita merasa punya wewenang atas sesuatu, tidak sekadar merasa sebagai “orang suruhan” yang nggak punya kendali apa-apa. Bukankah pada dasarnya manusia merupakan jiwa-jiwa yang ingin selalu merasa bebas?
Akan menjadi aneh, kalau kita lebih nyaman dikendalikan orang lain. Ehm, tapi kalau sudah jadi bucin yang terjebak dalam toxic relationship, mungkin beda lagi, ya. Kalau yang ini mah, penginnya terikaaat terus. Dan bakal manut-manut aja kalau disuruh apa-apa.
Pada dasarnya, setiap manusia itu pasti pengin merdeka dan bebas. Baik pikirannya, jiwanya, maupun raganya. Oleh karena itu, sebagai orang tua atau bos, baiknya sih bisa memunculkan potensi tersebut pada anak atau anak buahnya. Ini memang bukan tugas yang mudah. Namun, saat hal ini telah bekerja dan potensi tersebut muncul, pasti kita juga akan bekerja atau berkarya tanpa disuruh-suruh, kok. Meski ya, mengingat lagi, kalau kondisi ini tidak mudah untuk dibentuk.
Apalagi, kondisi pendidikan kita hari ini yang juga masih serupa. Di ruang-ruang kelas, kita seringnya dicekoki. Itu kan nggak ada bedanya sama disuruh-suruh. Tapi karena kita ini butuh disekolahkan, dengan biaya yang mahal untuk tetap dapat menjaga gengsi, akhirnya kita jadi terbiasa dengan doktrin-doktrin yang (((memaksa))) kita buat nurut. Nggak usah jauh-jauh supaya jadi anak teladan. Setidaknya, supaya orang tuanya nggak dipanggil guru BK. Kondisi yang hampir sama seperti saat kita berada di tempat kerja.
Nah, saat berada di rumah, kita seolah pengin melampiaskan ketidakbebasan kita saat berada di sistem sosial yang lain tersebut. Kita terlalu capek disuruh-suruh, dan penginnya pas sampai rumah nggak disuruh-suruh lagi. Bukankah katanya hanya berada di rumah, kita bakal bisa diterima seada-adanya? Jadi, bisa bebas buat nolak, dong? Akan tetapi, itu hanya sebatas keinginan kita. Ternyata, orang tua di rumah sering kali nyuruh-nyuruh kita beberapa hal, meski itu memang sederhana.
Misalnya, pekerjaan cuci piring yang sungguh ringan itu, jadi begitu berat. Hanya karena kita diperintah orang tua untuk melakukan sesuatu yang sebetulnya sudah teramat sangat kita pahami. Saat pekerjaan tersebut menjadi “suruhan”, kitanya jadi males. Ego kita memberontak, geram, dan berkata, “Iya, ya. Tahu kalau habis makan itu piring langsung dicuci. Bentar toh, ini gebetan lagi bales chat kita 4 hari yang lalu. Kalau nggak langsung dibales, ilang lagi nanti.” Akhirnya, situasi berantem tipis-tipis pun sulit untuk dielakkan.
Sebetulnya, meski kita nggak suka saat disuruh-suruh orang tua. Nggak seharusnya kita langsung merasa nggak cocok dengan mereka dan pengin memusuhinya. Rasa tidak suka saat disuruh ini, terjadi karena banyak faktor. Bukan sekadar kepribadian di antara kita dan orang tua saja yang nggak cocok. Nyatanya, kalau hal ini dirunut-runutin, kitanya juga yang sudah capek disuruh-suruh di luar. Jadi penginnya, bisa manja-manjaan di rumah—yang ternyata nggak bisa.
Jadi, kita lebih rajin saat nggak ada orang tua di rumah, soalnya kita pengin jadi manusia yang merdeka, yang punya inisiatif sendiri. Bukannya jadi manusia yang bisa disuruh-suruh kayak robot, yang dengan seenaknya dipencet bisa bergerak sesuai perintah.