MOJOK.CO – Siapa yang bilang orang pintar susah dapat pacar? Kalaupun susah, memangnya itu benar-benar karena kepintarannya? Yakin?
Entah sudah berapa kali kita mendengar ungkapan yang berkata bahwa orang pintar konon susah mendapatkan pasangan, baik pacar, suami, ataupun istri. Sebagai manusia yang memang bukan tergolong orang pintar (ingat, saya sudah ditolak UGM tiga kali), saya merasa cukup heran dengan pernyataan ini.
Apakah memang benar orang pintar susah dapat pacar? Lah kalau iya, apa kabar orang-orang kayak saya yang prestasinya paling mentok cuma di level “B aja”, dong???
Sebagai manusia-manusia yang berada di tingkat medium, perkara ‘orang pintar susah dapat pacar’ ini tentu menjadi keuntungan sekaligus kekurangan tersendiri. Kenapa keuntungan? Ya tentu saja karena pernyataan tersebut menunjukkan informasi bahwa saingan kita berkurang. Malah, yang berkurang pun saingan yang pinternya tuh amit-amit-pinter-banget pula!!! Woo-hoo!!!
Tapi, hal ini juga menawarkan kekurangannya tersendiri. Kadang-kadang, kita justru minder: kalau dia yang segitu pintarnya saja tampak cuek soal pacaran, kenapa kita harus terlihat sedih banget jadi jomlo? Jangan-jangan, kita ini bucin alias budak cinta??? (Hah, kita???!!!)
Kebenaran teori yang menyebutkan bahwa orang pintar susah dapat pacar ini—saya yakin—nggak 100% benar. Lagi pula, “pintar” di sini itu takarannya apa? Gelar akademik? FYI aja nih ya: temen saya yang udah lulus S-2 dan resmi jadi dosen, baru saja kemarin dipersunting pacarnya setelah mereka pacaran selama 2 tahun. Lah saya, dengan usia pacaran yang sama, malah harus patah hati padahal cuma bergelar Sarjana.
Lantas, dari mana anggapan orang pintar susah dapat pacar ini muncul? Apakah ini berarti semua orang yang sedang punya pacar sekarang adalah orang-orang yang tidak pintar???
Menanggapi teori ini, beberapa alasan pun secara random muncul, seolah-olah benar mendukung kepintaran seseorang menjadi hambatan untuk menemukan pasangan jiwa. Katanya, orang-orang pintar cenderung tidak memiliki pacar karena mereka ingin sukses dan mencapai titik tertinggi dalam pekerjaan. Hal ini berbeda dengan orang kebanyakan yang hanya berpikir soal asmara.
Loh, loh, loh, ha mbok pikir kita-kita yang bukan orang pintar dan cerdas ini juga nggak pengin po???
Please deh, kita ini juga udah sama-sama repot mengumpulkan berkas administrasi untuk daftar CPNS, siap-siapin mental untuk ikut tes wawancara di perusahaan swasta, salat tahajud demi kerja di BUMN—semuanya kami lakukan demi ambisi menjadi sukses dan gemilang dalam perkara karier. Lah kok bisa-bisanya yang dianggap berpikir soal kesuksesan cuma orang-orang yang pintar aja???
Alasan lain muncul kembali—katanya, orang pintar susah punya pacar karena mereka sadar betul bahwa berpacaran selalu memiliki risiko patah hati sehingga mereka enggan memulai hubungan karena belum siap dengan konsekuensi tersebut.
Alasan kedua ini menurut saya jauh lebih masuk akal dibanding alasan pertama. Lagi pula, “pintar” pada poin ini tidak terpatok pada urusan nilai di sekolah dan perkuliahan, melainkan lebih merujuk pada “pintar memahami diri sendiri”.
Artinya, seseorang bisa dikatakan pintar saat ia mengerti dirinya dengan baik. Jika dirasa ia belum siap pacaran karena belum mampu menghadapi (atau menciptakan) kemungkinan terburuk, ya mereka tidak akan memulai pacaran.
Hal ini jelas berbeda jika dibandingkan dengan segelintir orang di luar sana yang sebetulnya belum siap pacaran tapi nekat pacaran, padahal ujung-ujungnya dia cuma bisa mematahkan hati orang lain tanpa menggunakan otak dan perasaannya. Parah bats~
Alasan berikutnya datang dengan bukti penelitian yang lebih akurat. Dari sebuah studi yang dilakukan di Inggris, ditemuilah simpulan bahwa beberapa orang tidak tertarik memiliki pasangan yang sangat cerdas karena dapat menimbulkan perasaan yang tidak aman.
[!!!!!!11!!!!1!!!]
Sampai di sini, mungkin kamu masih bisa mengernyitkan dahi. Beberapa orang dengan bangga merasa senang jika memiliki pasangan pintar, kok! begitu katamu dalam hati. Memang benar, tapi tunggu dulu—saya belum nulis dengan lengkap.
Konon, beberapa pria memang tidak ingin mencari wanita dengan tingkat kecerdasan di atas dirinya karena menimbulkan perasaan khawatir dan tidak aman, padahal pria cenderung tidak suka didominasi.
[!!!!!!11!!!!1!!!]
Hasil penelitian dengan teori gender ini agaknya diamini diam-diam oleh banyak orang, apalagi kita pun terbiasa dengan stereotipe pria yang ‘harusnya’ tampak lebih dominan dan hebat dibandingkan pasangannya. Tak jarang, cewek-cewek yang kuliah sampai S-2 malah diberi sindiran-sindiran tajam soal pernikahan yang kian jauh dari hidup mereka karena terlalu asyik mengejar ilmu.
Hih, ngapain sih mulutnya rempong???!!!
Heran saya: kenapa kita nggak mengubah cara pandang saja? Bagaimana kalau teman-teman yang masih jomlo padahal sudah menempuh ilmu hingga S-2 itu bukannya ‘susah dapat pacar karena terlalu mengerikan bagi lawan jenisnya’, melainkan karena mereka sedang menyeleksi ‘pelamar’ yang mungkin ada di hidupnya sebelumnya??? Hmm???
Kawan saya yang saya kisahkan di awal tulisan ini adalah perempuan dan ia merupakan lulusan S-2. Suaminya juga merupakan lulusan S-2 dan keduanya kini bekerja sebagai dosen. Bagi sebagian orang, hal ini tampak harmonis dan pantas. Tapi bagi saya, ini adalah ‘hadiah’ bagi kawan saya.
Karena dia rajin mengejar ilmu, dia dipertemukan dengan orang yang mampu mengapresiasi kegemarannya tersebut. Saat dia masih lulusan S-1, pintarnya pun tak kurang-kurang; yang mendekatinya pun banyak bukan kepalang. Tapi, setelah dia menempuh S-2, dia mendapat pekerjaan baru, lingkungan baru, dan petualangan baru. Keadaan inilah yang membawanya bertemu dengan suaminya, yang kala itu masih menyelesaikan studi S-2-nya (iya, teman saya yang perempuan lulus duluan dan itu bukan masalah).
Kalau masih belum puas, saya masih punya kisah yang lain: saya kenal baik dengan pria yang bahkan D-3 saja nggak selesai, tapi kini justru bahagia menjadi suami dari seorang dosen lulusan S-3. Pekerjaannya? Sopir mobil rental anak-anak SD.
Apakah sang istri selama ini harus pura-pura bego di hadapan suaminya, demi membuat sang suami tidak merasa tidak aman? Saya rasa tidak. Keduanya hanya saling menghargai dan mengapresiasi—itulah yang saya rasa menjadi kuncinya.
Jadi, saya rasa, saya patut-patut saja mempertanyakan teori ‘orang pintar susah dapat pacar’. Maksud saya—emang situ yakin situ nggak dapat pacar cuma karena situ pintar???
Yaaaaah, siapa tahu, situ cuma belum ketemu orang yang bisa mengapresiasi situ apa adanya aja.
Tenang, saya juga, kok. Huhu.