Nggak Ada Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Kasus Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet

Selebgram Rachel Vennya bisa dijerat pidana karena melanggar protokol kesehatan.

ilustrasi Nggak Ada Pelajaran yang Bisa Dipetik dari Kasus Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet mojok.co

MOJOK.CORachel Vennya lagi, selebgram blunder lagi. Perkara blio kabur dari Wisma Atlet dibantu TNI, itu keniscayaan kok. Emang udah bobrok semuanya.

Sebenarnya saya udah telanjur kehilangan selera dengan berita seputar selebgram. Di mana-mana blunder-nya punya pola yang sama, ujungnya kalau nggak klarifikasi, ya, di-cancel secara massal. Perkaranya juga itu-itu aja, antara nebeng nama besar dan ada kaitannya sama duit. Terutama soal kasus Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet untuk skip karantina selepas pulang dari AS, sumpah, bikin capek.

Mungkin Rachel Vennya adalah selebgram paling kuat mental yang pernah bertahan dalam sejarah populer media sosial Indonesia. Meskipun, lingkar mikro seleb Indonesia ya… nggak keren-keren amat. Blio kayaknya nggak pernah bosan dapat sorotan media seputar drama kehidupannya. Mulai dari zaman pacaran, pernikahan mewah, perceraian, sampai kasus-kasus sepele, tapi nyebelin semacam doxxing haters, ngelabrak detik forum, tas ratusan juta, dan berselisih sama klien endorsement.

Kacau banget, Mbak. Tenaga sampeyan pancen oye.

Kali ini, kasusnya semakin advance. Rachel Vennya dianggap melanggar protokol karantina Wisma Atlet sebab dirinya kabur bersama sang pacar. Bahkan isu seputar blio sekamar sama si pacar di Wisma Atlet juga dibahas, hadeeeh. Yang terbaru, konon, kaburnya selebgram jebolan Ask.fm ini dibantu prajurit TNI. Wow, nepotisme apa neeeh.

Sejumlah pejabat serius banget kayaknya mengusut kasus kaburnya sang seleb dari Wisma Atlet. Haters kali ini dapat dukungan dan udah nggak takut dijadikan doxxing berkedok sayembara. Selamat, ya Haters. Namun, di balik kasus ini kita semua tahu satu hal yang pasti: nggak ada pelajaran yang bisa dipetik dari kasus selebgram blunder.

Saya nggak tahu apakah sebenarnya jumlah idola masyarakat di Indonesia memang kurang atau sosok yang ideal memang jarang ada. Yang jelas, saya merasa bahwa semua netizen seolah-olah perlu banget panutan sampai jumlah figur publik di Indonesia nggak terhitung. Padahal, nggak ngefans siapa-siapa itu nggak apa-apa.

Gelombang fans hadir memenuhi jumlah followers orang-orang kurang terkenal yang kemudian disebut selebgram, influencers, bintang media sosial, atau apalah. Padahal saya yakin, yang tahu persis bahwa mereka seleb ya cuma orang-orang tertentu. Dengan kata lain, figur media sosial sebenarnya belum bisa dikatakan sebagai orang tenar.

Gini-gini. Zaman dulu, waktu sinetron Manusia Millenium lagi tayang di RCTI, orang se-Indonesia hampir semua kenal Primus Yustisio. Kalau Om Primus jalan-jalan ke Malioboro Mall, yakin saya dia bakal dikerubutin. Ini contoh simpel buat mengukur seseorang itu beneran terkenal atau nggak.

Sayangnya setelah gawai dan media sosial menggeser kepopuleran televisi sebagai media paling konvensional, ada disparitas dalam masyarakat . Banyak banget figur-figur idola baru yang sebenarnya kita nggak tahu apa kontribusi mereka dalam dunia hiburan, tapi mereka terkenal. Eh, tapi dibilang terkenal ya juga nggak terkenal-terkenal banget, ding. Keterkenalan dalam gelembung.

Nanti malam, coba kamu beli sate dan tanyakan ke penjualnya, “Cak, sampean eruh Rachel Vennya ta?” Kalau dia jawab kenal, borong satenya yang banyak.

Dari sini sebenarnya kita bisa melihat kalau masyarakat memang sedang mengalami transisi. Kita seolah-olah kaget dengan kultur siber, kita heran dengan laku masyarakat yang tercipta dalam dunia virtual. Dunia virtual sama sekali baru dan berbeda dengan masyarakat sosial. Tatanan di dalamnya baru, nilai-nilai di dalamnya juga baru. Jumlah followers jadi value. Pengikutnya sedikit sama dengan cupu. Bahkan, kita bisa menyimbolkan diri kita sebagai orang yang benar-benar baru.

Saya misalnya, meskipun di kehidupan nyata saya kelihatan kalem, tapi di media sosial pengin kelihatan sangar. Maka, saya pasang foto yang nggak senyum. Pokoknya biar misterius. Hal ini juga terjadi pada selebgram-selebgram yang kalian idolakan termasuk Rachel Vennya. Dia adalah sosok baru di media sosial, dan di dunia nyata dia mungkin cuma orang biasa yang ngawuran dan pah-poh. Dia pengin mengesankan dirinya sebagai wanita tangguh, wanita yang berhak bahagia, wanita sosialita populer dan update tren fesyen. Ya nggak apa-apa. Pada akhirnya dia juga menang jumlah pengikut sehingga dia dilabeli “punya value”.

Tapi, ingat, Rachel Vennya di luar dunia virtualnya mungkin memang berbeda. Nggak usah berekspektasi lebih. Makanya, wajarlah dia kabur dari Wisma Atlet demi party with bestie. Mau berharap apa? Berharap dia jadi relawan vaksin?

Nggak cuma Rachel Vennya, selebgram lainnya macam Keanu, Fadil Jaidi, Arief Muhammad, Dwi Handa, dan kawan-kawan satu sirkel mereka juga begitu. Mereka menjadikan kehidupan mereka sebagai panggung di dunia virtual. Berbeda dengan figur yang memang berkontribusi dalam dunia entertainment. Ada batasan yang lebih jelas antara karya dengan kehidupan pribadinya.

Jadi, kalau Rachel Vennya kabur dari Wisma Atlet dan dibantu prajurit TNI, kita nggak perlu kecewa, nggak perlu tertawa. Ah, sudah biasa. Selebgram lagi selebgram lagi. Selebgram dan blunder itu memang jalan bergandengan. Mengidolakan mereka dan menjadikannya panutan hanyalah satu dari sekian banyak perkara sia-sia di dunia. Udah, ngidolain BTS aja.

Artikelnya selesai sampai di sini karena emang nggak ada pelajaran yang bisa dipetik. Beneran nggak ada.

BACA JUGA Ternyata Alasan Rachel Vennya Lepas Hijab Bisa Saya Pahami karena Saya Juga Alami Hal yang Sama dan artikel lainnya di POJOKAN.

Exit mobile version