MOJOK.CO – Sebenarnya apa sih yang ditakutkan massa Mujahid 212 terhadap peluang Ahok menjadi pemimpin Badan Otoritas Ibu Kota Baru?
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memang punya hubungan “istimewa” dengan para alumni 212.
Harus diakui, tanpa Ahok sangat mustahil umat Islam bisa berkumpul sampai—katanya—berjuta-juta di Monas. Mulai dari Aksi Bela Islam, Aksi 411, sampai Aksi 212, ada nama Ahok yang selalu dikumandangkan oleh para peserta aksi.
Dulu, banyak yang berpikir ketika Ahok akhirnya masuk penjara dalam kasus “Penistaan Agama” tensi massa alumni 212 akan sedikit mereda terhadap Ahok. Maklum, misi dari Aksi 212 kan sudah sukses secara paripurna.
Ahok jadi pesakitan di penjara, Anies Baswedan jadi Gubernur Jakarta, dan kalaupun ada yang tak berhasil ya cuma satu: Prabowo gagal jadi presiden.
Uniknya, massa alumni 212 yang tergabung dalam organisasi bernama Mujahid 212 ini masih belum menerima perjalanan Ahok selepas dari penjara. Setiap ada kebijakan pemerintah yang menyangkut nama Ahok, maka di situ akan muncul pula massa alumni 212 sebagai penolaknya.
Dalam aksi yang terbaru—misalnya, Mujahid 212 memprotes rencana pemindahan ibu kota, sekaligus menyampaikan penolakan karena dalam daftar calon Kepala Badan Otoritas Ibu Kota Negara (IKN) ada nama Ahok di sana.
Pada mulanya, Mujahid 212 memprotes soal besarnya anggaran untuk proyek pindah ibu kota negara ini, namun—seperti yang sudah diduga banyak orang—ujung-ujungnya tetap merembet sampai ke nama Ahok lagi.
“Kami menolak keras Ahok lantaran fakta-fakta pribadi Ahok merupakan seorang jati diri yang memilik banyak masalah. Ahok perlu kejelasan hukum atas masa lalunya selaku Wagub dan Gubernur DKI periode sebelum Anies,” kata Damai Hari Lubis, Ketua Korlap aksi Mujahid 212.
“Sementara Ahok jelas pribadi yang rawan, karena faktor trust yang banyak melilit dirinya,” tambahnya.
Menurut Damai yang tak juga mau damai sama Ahok ini, status Ahok yang mantan narapidana kasus penistaan agama semakin menambah daftar ketidakpercayaan ini.
“Bahkan data tak terbantahkan salah satunya biografi Ahok. Dirinya berstatus eks-napi, karena fakta hukum Ahok dulu menistakan Al-Quran, kitab suci umat muslim, umat mayoritas negeri ini dengan modus menghina surah Al-Maidah ayat 51,” kata Damai.
Selain soal penolakan nama Ahok yang masuk sebagai calon pimpinan Badan Otoritas Ibu Kota Baru, dalam kesempatan yang lain Damai juga sempat memprotes Erick Thohir karena menunjuk Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina.
“Kami nyatakan kami menolak Ahok tidak terbatas CEO IKN (Ibu Kota Negara), melainkan juga termasuk minta Erick Thohir mencopot Ahok dari posisi Komisaris Pertamina,” katanya saat aksi.
Artinya, Mujahid 212 memang tak menginginkan Ahok punya keterlibatan—secuil apapun—dalam pemerintahan. Baik sebagai komisaris BUMN, maupun sebagai calon pimpinan IKN. Bahkan kalaupun nanti Ahok mau ikut daftar jadi Ketua RT di kampungnya sekalipun, bukan tidak mungkin Ahok kena protes pula.
Bagi Mujahid 212, masuknya nama Ahok ini barangkali jadi sinyal bahaya karena bukan tidak mungkin Ahok bakal jadi gubernur pula di ibu kota baru. Udah capek-capek membuat gubernur rasa presiden seperti Anies Baswedan, lah kok pemerintah enak aja mindahin ibu kota dengan calon yang punya rekam jejak bikin sakit hati begini?
Padahal, kalau kita semua mau jeli, sebenarnya ada banyak alasan kenapa kekhawatiran Mujahid 212 ke Ahok ini sangat kontraproduktif dan berlebihan.
Soalnya, apa sih yang perlu ditakutkan dari seorang Ahok kalau beneran jadi pimpinan proyek ini?
Apa iya, lantas popularitasnya bakal jadi melejit lalu tiba-tiba bisa jadi capres atau menteri di masa depan gitu? Lantas dianggap ancaman bagi Anies Baswedan yang konon mau dijagokan maju untuk Pilpres 2024 mendatang?
Duh, duh, tenang. Sini saya kasih tahu, secara aturan Ahok jadi pesaing Anies itu udah nggak mungkin terjadi kok.
Kok bisa?
Gini. Soalnya seorang capres, cawapres, atau menteri itu tak boleh punya rekam jejak masa lalu kayak Ahok ini. Yakni pernah menghadapi perkara tuntutan pidana dengan hukuman 5 tahun penjara.
Nah, sialnya bagi Ahok, meski kemarin dirinya cuma divonis 2 tahun, dalam pasal tuntutan jaksa ndilalah tuntutannya sampai 5 tahun gitu lho. Artinya, mau koprol ratusan kali ya peluang Ahok jadi pesaing Anies itu udah nggak ada. Zero. Nol.
Apalagi, yang bicara soal tertutupnya peluang Ahok ini adalah Mahfud MD sendiri, Sang Menkopolhukam saat ini.
Lagian, meski nanti akhirnya Ahok jadi gubernur di ibu kota baru (misalnya), tak ada jaminan kiprahnya sebagai pemimpin akan disorot. Memimpin daerah baru jadi ibu kota itu belum tentu otomatis memindahkan daya tarik Jakarta. Terutama kalau melihat betapa jagonya Anies Baswedan yang selalu sukses memoles Jakarta jadi sedemikian “menarik”.
Apalagi bukan tidak mungkin ketika Ahok nanti memimpin ibu kota baru, Anies Baswedan sudah memanen segala prestasi-prestasinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ibarat Ahok baru mulai di ibu kota baru, Anies sudah tinggal memamerkan semua hasil karyanya.
Seperti gelaran Formula E, pemugaran Monas, pedagang kaki lima di trotoar Jakarta, sampai dengan pemanfaatan sisa-sisa Reklamasi Jakarta. Ini belum dengan prestasi membuat Jakarta jadi begitu indah bak kota Venesia, Italia.
Artinya, ketika nanti Anies Baswedan benar-benar maju sebagai capres 2024 sesuai dengan harapan massa Mujahid 212, lalu (misalnya) blio benar-benar terpilih sebagai presiden. Posisi Ahok di ibu kota baru bakal cuma jadi “anak buah” dari Pak Anies Baswedan.
Nah lho, menarik bukan kalau ada peluang Ahok bisa jadi anak buahnya Anies? Syaratnya juga nggak mustahil-mustahil amat kok, yakni cukup bikin Anies jadi presiden aja dulu.
Lagian kalau meminjam kata-kata Fadli Zon, “memang apa hebatnya Ahok?” harusnya Mujahid 212 tak perlu sampai sekhawatir itu.
Iya kan, Hid?
BACA JUGA Alumni 212 Menolak Ahok Jadi Kandidat Kepala Badan Otoritas Ibu Kota Baru atau tulisan rubrik POJOKAN lainnya.