Menyesal Makan Sate Padang di Depok, Kalap dan Rakus Berakhir Malu-maluin dan Malah Demam

Pertama Makan Sate Padang, Kalap Lagi dan Berujung Demam (Wikimedia Commons)

Pertama Makan Sate Padang, Kalap Lagi dan Berujung Demam (Wikimedia Commons)

Dua hari yang lalu, saya menulis soal pengalaman pertama kali makan di warteg. Kenikmatan makan di warteg berujung penyesalan karena kalap dan habis banyak. Nah, sekarang saya akan menulis soal pengalaman pertama kali makan di sate padang yang juga berujung penyesalan. Lagi-lagi karena kalap.

Jadi, kalau kamu membaca tulisan pengalaman pertama kali makan di warteg, di sana saya menjelaskan soal mencoba hal-hal baru. Saya adalah orang yang nggak terlalu niat untuk mencoba hal baru. Apalagi soal makanan lantaran dulu saya kudu menghemat pengeluaran.

Namun, di sisi lain, saya juga sangat lemah dengan ajakan untuk makan enak. Saat akhirnya mencoba makan di warteg, seorang teman yang kos di dekat warung mengajak saya. Lantaran sangat lapar, saya akhirnya mencobanya dan berujung penyesalan. Kali ini, lagi-lagi, datang sebuah ajakan yang sulit saya tolak.

Saya sulit menolak ajakan untuk makan sate padang di depan Depok Sport Center, Sleman. Namanya sate padang Pariaman. Kata teman saya, sate padang di situ sudah cukup legendaris. Selain enak, harganya juga sangat terjangkau untuk dompet mahasiswa. Sudah begitu, saya kalah suara ketika voting mau makan di mana.

Kalah suara, makan sate padang

Nah, di dekat sate padang Pariaman itu ada sebuah warung sambal yang juga legendaris. Namanya Sambel Bawang Bu Santi. Tepatnya persis sebelum tikungan Jalan Babarsari dan Jalan Seturan Raya. Dulu, saya dan teman-teman saya cukup sering makan di sana, ketika harganya masih “agak bersahabat” dibanding sekarang.

Malam itu, mereka ingin sesuatu yang beda. Saya dan seorang teman ingin makan di Bu Santi. Namun, lima orang lainnya memilih sate padang Pariaman. Katanya, biar variasi saja. Masak sambal bawang terus, sesekali yang beda. Kalah suara, akhirnya saya menurut saya.

Gerobak sate padang Pariaman ini kecil saja. Si penjual membuka tenda khas warung makan di trotoar. Beberapa kursi plastik untuk duduk pengunjung langsung penuh ketika kami masuk ke tenda itu. Semua memesan menu yang sama. Minumannya juga seperti pada umumnya; es teh dan es jeruk. 

Ada yang beda di sana dan menarik perhatian saya. Saya tidak tahu istilah dalam Bahasa Minang. Oleh sebab itu, saya sebut saja keripik kentang balado atau keripik kentang pedas. Kebetulan, saya memang menggemari camilan itu. Inilah awal dari “bencana” karena kalap itu.

Nikmatnya sate padang Pariaman

Sejak SMA, saya sudah menggilai menu-menu warung nasi Padang. Nah, kalau sate padang sendiri, saya akan ragu. Ya mau gimana, untuk mendeteksi sebuah “benda”, indera yang pertama bekerja adalah mata. Biasanya sih begitu. Makanya, ketika melihat potongan daging yang kecil untuk sate padang, saya merasa ragu.

Salah saya adalah membandingkannya dengan sate kambing atau sate sapi. Iya, saya salah karena nggak menggunakan indera penciuman untuk kemudian mendeteksi. Dan malam itu, indera penglihatan, penciuman, rasa, dan sentuhan saya berpesta. Ternyata, mulai dari kuah santan hingga rasa dagingnya, sangat memuaskan.

Saya bukan ahli kuliner. Makanya, saya nggak bisa menjelaskan apa saja bumbu sate padang. Yang bisa saya deteksi adalah bumbunya bisa meresap ke dalam daging. Santan yang menemani juga cocok di lidah. Rasanya gurih dan sedikit pedas. Saya bersyukur kalah voting dan nggak makan di Bu Santi malam itu.

Kalap karena keripik kentang pedas

Semua teman saya makan dengan lahap. Salah satu teman saya mencomot keripik kentang pedas di meja dan meremasnya. Persis ketika kita menggado mie instan mentah. Setelah agak remuk, dia menuangkan keripik kentang pedas itu ke sate padangnya yang sudah habis separuh. 

Dia menyuapkan sepotong ketupat, potongan daging, dan sendoknya penuh kuah santan. Raut wajahnya menunjukkan rasa puas. Sebuah kepuasan yang langsung memantik rasa ingin tahu saya. Makanya, saya meniru teman saya. Persis langkah demi langkah.

Dan benar, rasa pedas dari keripik kentang pedas mengangkat makanan ini satu level. Begitu batin saya. Pedas memang kesukaan saya. Dengan cepat, keripik kentang pedas di piring saya tandas. Belum puas, saya mengambil lagi sebungkus, meremas, dan menuangkannya ke dalam sate padang saya.

Saya melakukan itu sampai tiga kali. Teman saya sempat bilang jangan terlalu banyak ketika dia melihat saya mengambil keripik kentang pedas untuk kedua kalinya. Ah, peduli amat, pikir saya. Rasa yang baru, dan nikmat ini, mengejutkan dan saya tidak ingin “sudah” makan.

Tenggorokan panas, eh lalu demam

Saya salah lagi. Salah karena kalap. Pedasnya keripik kentang itu memang nikmat. Iya, nikmat di lidah. Ia juga memberi tekstur ke sate pedang yang lembut itu. 

Nikmat di lidah ternyata menjadi derita untuk tenggorokan. Seporsi sate padang, empat bungkus keripik kentang pedas, dan dua es teh yang saya hajar malam itu. Semuanya berakhir dengan siksaan. Beberapa jam setelah selesai makan, tenggorokan saya terasa mengganjal.

Pagi harinya, malah semakin perih. Saya mencoba minum air putih sebanyak mungkin. Tidak ada pengaruhnya. Siang harinya, suhu tubuh saja hampir 39 derajat. Resmi sudah, saya demam karena radang tenggorokan. Saya jadi agak dilema. Nikmat makanan baru, berakhir dengan saya sakit. Dan itu karena salah saya sendiri.

Sekarang, sate padang, khususnya Pariaman di Depok, Sleman, adalah salah satu menu favorit saya. Tapi memang, ini jenis makanan yang agaknya susah jadi menu sehari-hari. Maka, saya menjadikan sate padang sebagai makanan khusus. Khusus untuk merasakan sesuatu. Begitu.

Penulis: Yamadipati Seno

Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 4 Dosa Besar yang Kerap Dilakukan Penikmat Sate Padang dan catatan lainnya di rubrik POJOKAN.

Exit mobile version