Makan Bersama Bisa Memicu Debat Kusir dan Konflik Horizontal

ilustrasi Ayam Geprek, Sei, dan Makanan yang Kehilangan Jati Diri karena Sentuhan Metropolitan mojok.co

ilustrasi Ayam Geprek, Sei, dan Makanan yang Kehilangan Jati Diri karena Sentuhan Metropolitan mojok.co

MOJOK.CO Saksikanlah bagaimana acara makan bersama malah menumbuhkan bibit-bibit perpecahan. 

Salip menyalip dengan gorengan, ada jenis camilan lain yang jadi favorit orang Indonesia. Namanya donat.

Saya suka donat. Teman-teman saya suka donat. Kalau donat bisa salat dan mengaji, mungkin Tuhan pun suka donat. Bisa saja beberapa kucing di luar sana turut doyan donat. Bukan mustahil, sebab saya pernah lihat kucing gemar makan kangkung mentah.

Karena kami semua suka donat, waktu saya main ke kantor Buku Mojok, saya usul, “Ayo beli donat!” ketika jam menunjukkan pukul 16 dan semua orang mulai lelah.

Karena kami semua suka donat, tak ada yang menolak usul itu.

Mujib, salah satu teman di Buku Mojok, sering beli donat. Dia punya langganan di Jakal Km 11. Donatnya memang enak. Donat kentang empuk yang dibalur gula halus dan dimakan hangat-hangat. Uh, sedapnye… batin saya sewaktu menulis ini, diksi yang otomatis keluar akibat pernah menghabiskan satu semester skripsian dengan pagi-sore nonton Upin Ipin.

Tapi Mujib sedang tidak ada. Padahal kalau diminta, Mujib pasti ringan kaki berangkat beli. Sementara saya tidak. Saya lebih suka GoFood, masalahnya ini donat gerobakan yang nggak buka lapak di GoFood.

Ratih lalu nyeletuk ke Afi yang di sebelahnya. “Fi, berangkat, Fi….”

“Iya, Fi. Nih duitnya aku siapin,” kata saya songong sambil meletakkan dompet di meja.

“Vai aja lah,” kata Afi.

Vai diam. Merokok saja sambil senyam-senyum.

“Dam, kamu berangkat deh!” sekarang Ratih menyasar Sadam.

Sadam seperti kami semua. Sama-sama suka donat dan sama-sama tidak suka pergi beli donat. Jadi Sadam menjawab, “Eh, itu Iim datang.”

Iim memang datang. Orangnya kurus, kalau bicara lembut, gondrong tapi mukanya melankolis. Iim, kalau disuruh beli donat, pasti mau. Tapi tak ada yang tega.

Iim berlalu ke kantor di belakang rumah tanpa satu orang pun memanjatkan permohonan kepadanya. Lepas itu kami malah jadi menggunjingkan Iim yang meski tampangnya bak anak kosan kurang gizi, sebenarnya seorang pemain saham yang lumayan dan baru buka kafe di Jalan Magelang.

Sampai kami semua pulang, tetap tak ada donat hari itu. Haish, ketebak.

***

Kumpulkanlah sepuluh pemuda lalu tunggu sampai mereka lapar. Niscaya mereka akan saling menyuruh satu sama lain untuk berangkat beli makan. Kadang sampai harus taruhan lah, lomba dulu lah, dan segala macam tantangan berliku cuma supaya ada satu pribadi yang sudi berangkat beli.

Mungkin pada dasarnya kita dibentuk oleh kearifan lokal Indonesia untuk lebih suka menyuruh daripada disuruh. Hal-hal semacam itu memang kerap saya saksikan dan alami sendiri.

Misalnya ada orang. Katakanlah namanya Jojo. Jojo ini adalah seorang pembersih dan rapi. Kamar kosnya ditata telaten, tak ada gelas kopi nongkrong di meja tiga hari, baju-baju kotor pun dengan tertib dikumpulkan dalam tas laundry.

Begitu Jojo di kantor, ia bertemu orang-orang yang tidak sepertinya. Contohnya, ada tipe yang justru baru bisa kerja kalau suasana sudah seperti kapal pecah. Ada yang setiap masuk toilet, begitu keluar pasti lupa mematikan lampu apalagi menutup pintu. Spesies terbanyak adalah yang suka menumpuk piring kotor di bak cuci tanpa perasaan bersalah.

Tadinya Jojo cekatan. Sebelum pulang kantor piring dan gelas dicuci dulu. Meja-meja dibersihkan dari abu rokok, asbak tak lupa dikosongkan. Memang demikianlah sifat orang yang suka kebersihan dan kerapian. Apalagi kalau ditambah OCD. Lengkap. Tinggal dipakaikan seragam oranye sama disurub bawa sapu lidi.

Tapi lama-kelamaan Jojo bosan. Lha kok orang lain enak, pakai-pakai barang aja, terus dibiarkan. Saya dan Anda pasti paham perasaan Jojo. Kearifan lokal memang menempa kita untuk nggak suka kerja sendiri. Apalagi kalau kerjaan itu bikin kita jadi kayak babu gratisan. Ada satu frasa andalan untuk menggambarkan watak kebudayaan ini, yakni ujaran, “Lha, kok aku doang?”

Persis. Persis banget kayak berangkat beli donat. Dimakan bareng-bareng, kenapa harus aku yang pergi beli?

***

Sewaktu menjalani hari-hari satu semester skripsian cuma buat nonton Upin Ipin itu, saya adalah bagian dari pemuda lapar yang malas berangkat beli makanan. Padahal badan masih lengkap, jiwa raga sehat, duit bukan tak ada, motor pun tinggal distarter. Seperti cinta, malas tak pernah butuh alasan.

Suatu hari saya sedang bertiga dengan teman di rumah kontrakan mereka. Kami baru bangun tidur karena matahari telah tinggi dan perut keroncongan. Inilah waktunya menjalankan rutinitas seperti kemarin-kemarin….

“Siapa mau beli makan?” tanya saya kepada kedua teman tadi.

“Kamu ajalah, Prim.”

“Aduuuh, malas aku.”

“Ih sukanya nyuruh.”

“Lha, kalau aku beli kamu kan palingan nitip.”

“Itu lho dekat.”

“Makanya itu, kamu aja yang berangkat.”

“Ini aku lagi merokok.”

“Gapapa nunggu rokoknya habis.”

“Kamu sekalian olahraga, Prim.”

“Kayak kamu pernah olahraga.”

Pembaca yang terhormat, percayalah, obrolan seperti ini tak ada habisnya.

“Aku aja yang berangkat,” sahut teman ketiga yang dari tadi menonton. Pria ini memang kami kenal penuh welas asih. Budiman tiada tara, ringan tangan, dan rajin menabung.

“Jangan, Jrin! Biar Prima aja!” sergah teman kedua.

Saya jelas tak terima. “Lah, ngapa? Orangnya mau berangkat kok!”

“Kamu malah kayak nyuruh Fajrin!”

“Orangnya emang mau nolong kok!”

“Jangan, Jrin! Kamu mau dieksploitasi Prima.”

“Sudah, sudah, aku aja yang berangkat. Prima mau apa? Kamu makan apa?”

Kami berdua menjeda debat kami sejenak demi mendaftar makanan yang diinginkan. Fajrin lalu berangkat. Saat motornya digas, perdebatan lanjut lagi. Teman saya bilang, saya punya mental eksploitatif oportunistis. Memanfaatkan kelemahan Fajrin yang suka menolong. Saya balas kalau dia pahlawan kesiangan karena nyata-nyatanya dia juga ikut nitip. Kata dia, dia memang nitip, tapi kan beli sarapan bukan usulannya. Dia hanya memakai peluang yang ada alih-alih menciptakannya secara licik seperti yang saya lakukan.

Perdebatan itu resmi ditutup ketika Fajrin datang membawa tiga bungkus nasi rames. Saya ke dapur mengambil tiga set alat makan, teman saya menyiapkan air minum. Kami lalu makan bersama dengan damainya sambil menonton Upin Ipin.

Kalau ingat itu semua, sampai sekarang saya masih nggak habis parkir.

BACA JUGA Parameter Enak Tidaknya Makanan di Sebuah Warung Makan dan esai Prima Sulistya lainnya.

Exit mobile version