Lucunya Naskah Akademik RUU Permusikan Catut Sumber dari Blogspot

MOJOK.COTim perumus naskah akademik RUU Permusikan sepertinya memang malas mengolah dan menelaah. Jadi kalau naskahnya bersumber dari blogspot, ya nggak masalah.

Belum lama ini, niat baik Anang Hermansyah dan para koleganya di DPR menyusun Rancangan Undang-Undang Permusikan memunculkan sikap kritis dan mencak-mencak dari banyak pihak. Terutama musisi alias pelaku musik yang peduli terhadap kehidupan musik di tanah air, plus para netizen yang lumayan peduli dengan musik agak terkaget-kaget dengan munculnya RUU Permusikan yang ternyata di dalamnya mengandung pasal-pasal ngaret karet.

Sebelum lebih lanjut membahas RUU Permusikan, alangkah lebih baik kita mengenang tabiat para anggota dewan kita yang kerap sekali melahirkan Undang-Undang yang mengundang gairah masyarakat dan netizen untuk berkomentar dan bertengkar. Sepertinya, pemerintah kita memang suka keributan. Misalnya kita ingat UU MD3 yang kala itu booming karena ada pasal-pasal “bernada ancaman” bagi siapa pun yang berani menginjak kehormatan anggota dewan.

Lalu pasal karet yang hingga hari ini bersemayam dalam UU ITE dan sudah banyak memakan korban orang-orang yang vokal mengemukakan pendapatnya di media sosial. Merasa tidak cukup sebatas itu, kali ini kebebasan dalam berekspresi para musisi yang vokal mengkiritisi Pemerintah melalui musik, juga berpotensi terkekang jika RUU Permusikan yang beredar saat ini, disahkan.

Jika pemerintah terus menerus menunjukkan mengatur-atur bagaimana masyarakatnya berekspresi serta mengemukakan pendapat. Lantas, apa bedanya pemerintahan saat ini dengan masa orde baru dulu, Malihhh??!11!!!

Vokalis ERK Cholil Mahmud, Mas Jason Ranti, sampai Mbak Rara Sekar melalui berbagai kanal sedang berusaha menghentikan kiamat kecil dunia permusikan itu terjadi. Mereka (dari petisi yang beredar, sudah terdapat ratusan musisi) dengan tegas menolak pengesahan RUU Permusikan yang di dalamnya mengandung beberapa pasal elastis kayak gombalan mantan. Isu ancaman pidana terhadap musik yang kritis, kewajiban bagi pelaku usaha di beberapa bidang untuk menyetel musik tradisional yang dirasa tidak logis, hingga aturan soal lisensi permusikan yang jelas-jelas menunjukkan keberpihakannya pada industri besar, berpotensi mengancam kreatifitas para musisi.

Ternyata eh ternyata, Polemik Draft RUU Permusikan yang dinilai sesat pikir ini sudah lucu dan blunder sejak dalam pikiran para penyusun undang-undangnya yang tertuang dalam: naskah akademik! Tentu saja mahfum bagi kita semua dalam membuat sebuah aturan yang akan mengikat banyak pihak, jelaslah perlu diketahui asbabun nuzulnya. Nah, yang menjadi asbabun nuzul dari Undang-Undang adalah si naskah akademik ini.

Dari naskah akademik RUU Permusikan yang beredar saja kita sudah dapat menemukan beberapa kelucuan. Sebagai disclaimer, saya memang bukan musisi atau orang yang paham-paham banget soal permusikan. Tapi membaca—meski sekilas saja—naskah akademik RUU tersebut, ada hal yang cukup mengganggu saya.

Pertama, dari sekian nama yang tercantum dalam tim perumus naskah akademiknya, kenapa kok tidak ada satu pun yang saya kenal, ya? Oke, saya tahu ini terlalu subjektif. Mungkin, karena bisa jadi saya memang bukan orang yang malang melintang di dunia musik. Jadi, wajar saja saya tak mengenal satu pun dari 10 orang yang bertanggung jawab dalam naskah akademik tersebut. Maka, lebih baik abaikan saja perkara ini.

Kedua, hal menggelitik lainnya, ketika melihat sumber yang tertera dalam naskah akademik salah satunya berasal dari sebuah makalah siswa SMK yang diambil dari blogspot. Yak, betul. Dari blogspot, Saudara…

…yang sukses membuat saya terkejut, tapi nggak terkejut-terkejut amat. Bukannya saya mendeskreditkan pelajar SMK dan menganggap bahwa mereka tidak kredible, dan seterusnya. Hanya saja, apa ya mereka—tim penyusun ini—nggak mikir, bagaimana pertanggung jawaban akademiknya dengan mencatut pernyataan dari blogspot?

Mohon maaf nih, bukankah ini naskah akademik, ya? Yang mana, dia adalah naskah hasil penelitian dan pengkajian lainnya yang harus dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah? Sesungguhnya, menemukan data yang masih bersumber blogspot ini sangat mudah. Pertanyaannya, kenapa kok bisa-bisanya si naskah akademik ini di-acc dan dijadikan dasar untuk bikin RUU?

Saya jadi sangat kasihan sekali melihat para mahasiswa yang sulit lulus, lulus lama atau bahkan sampai di-DO hanya karena ketatnya tata cara penulisan dalam bikin makalah atau skripsi yang harus akademis. Jangankan mencantumkan blogspot, wordpress dan semacamnya, mengambil sumber pengertian dari Wikipedia saja kadang-kadang kita sudah diomelin setengah mati sama dosen pembimbing. Lha ini naskah akademik Undang-Undang dengan sangat percaya dirinya mencomot sumber dari blogspot, je.

Kenapa kok ya, nggak langsung ambil sumber dari makalah anak SMK-nya saja kalau memang tahu bahwa makalah itu bagus dan kredibel untuk dijadikan sumber? Selain itu, apakah para musisi yang naudzubillah banyaknya di Indonesia ini juga tidak ada yang bisa dijadikan narasumber sampai-sampai harus mengambil makalah siswa SMK? Hadeeeh. Sungguh sukar dipahami~

Tidak hanya perkara blogspot, kita bisa melihat ketidakmatangan dan ketidakjelasan tim penyusun dalam mencantumkan kajian teoritis naskah akademik ini dalam hal lain. Dalam catatan kaki pertama yang tertera tentang pengertian dari culture. Kok bisa-bisanya mereka mencukupkan diri dengan mengambil dari sebuah jurnal online?

Kenapa kok nggak berusaha lebih keras sedikiiiit saja dengan mendapatkan sumber yang primer: yak, dari bukunya langsung! Padahal, di jurnal online tersebut, sudah ada kutipan pernyataan yang mempelihatkan nama penulis buku dan tahunnya—yang dijadikan sumber utama dari jurnal tersebut. Jadi, kan tinggal dicari bukunya aja toh, Malihhhh?

Tapi mungkin memang mereka malas untuk mencari sumber primer. Lha wong naskah akademik setebal kira-kira 150-an halaman itu, mencantumkan sumber hanya dari 13 buku, 1 jurnal, 2 dokumen, dan 13 sumber internet. Hayooo, coba cek skripsi masing-masing, apakah realita ini sudah termasuk sumber primer yang mumpuni?

Hal ini tentu membuat kaya jadi agak suudzon tentang keseriusan para anggota DPR dan tim perumusnya dalam membangun sebuah tata kelola musik dengan bikin UU Permusikan yang baik. Karena jika diamat-amati, tidak hanya satu atau dua saja sumber yang menurut saya kurang kredibel untuk dituliskan dalam sebuah naskah akademik. Lihat saja beberapa website yang dicantumkan di dalamnya—cek sendiri di naskah akademiknya, ya.

Padahal dengan anggaran yang cukup besar untuk menyusun sebuah naskah akademik (besar kan ya, anggarannya?), seharusnya mereka mampu melakukan penelitian lebih dalam dengan jurnal atau buku-buku yang lebih kredibel dan sanadnya lebih jelas. Atau kalau memang nggak suka-suka amat membaca, kan juga bisa melakukan wawancara terhadap beberapa musisi yang sudah ‘kondang’ di dunia permusikan Indonesia.

Saya masih tak paham juga, masak sih, timnya DPR kesulitan mendapatkan akses semua itu? Masak sulit, sih mengajukan perizinan? Atau nggak sempat buat baca buku-bukunya? Atau justru memang males dan nggak serius nggodoknya?

Ta… tapi, kok ya, DPR malah main-main dengan proyek bikin Undang-Undang ini? Di akhir masa jabatan lagi. Padahal kan, ini salah satu kesempatan mereka untuk menunjukkan sebagai anggota dewan yang berkualitas dan kredibel. Toh, RUU yang seksi dan menjadi pusat perhatian ini, sangat layak untuk dijadikan modal dalam membangun kepercayaan masyarakat ketika nyalon lagi. Bukankah 89% dari mereka katanya mau nyaleg lagi? Kenapa ini tidak dimanfaatkan baik-baik, Malihhh?!

Atau sebetulnya ketidakseriusan mereka ini, karena pikiran mereka sedang terpecah-pecah dan sedang semangat-semangatnya ngelarin PR proyek-proyek sebelum habis masa jabatannya. Mungkin ini jauhhh lebih menggiurkan bagi mereka daripada sekadar pencitraan ke masyarakat. Bagaimana tidak, semakin banyak proyek, maka semakin banyak kesempatan untuk dapat sangu ketika menghadiri rapat, rapat, dan rapat.

Uuuh, sungguh anggota dewan kita sangat pekerja keras sekali~

Exit mobile version