“Mas,” ujar Kalis pacar saya dari seberang sana melalui sambungan telepon, “Aku kelihatannya nggak jadi pulang hari ini, jadinya besok, ini aku ketinggalan pesawat.”
“Lho, kok bisa?” balas saya.
“Ya bisa, soalnya jalannya macet, penerbangannya jam 6, aku berangkat dari Bogor jam 2, aku pikir aman, ternyata jalannya macet parah, nggak kekejar,” ujarnya dengan nada yang terdengar mimbik-mimbik.
Percakapan tersebut terjadi sekitar enam bulan yang lalu saat Kalis mengisi pelatihan menulis di Bogor.
Beberapa bulan setelah peristiwa tersebut, Hal yang sama terjadi. Namun kali ini dengan sebab yang berbeda. Kalis ketinggalan pesawat karena salah Bandara. Ia harusnya terbang dari bandara Halim Perdanakusumah, tapi karena ada miskomunikasi dengan supir, Kalis ternyata justru diantar ke Bandara Soekarno-Hatta.
Ia kembali mengadu pada saya. Dan tentu saja, masih tetap dengan mimbik-mimbik.
Saya omeli dia. “Kenapa kok bisa salah? Kamu ini berapa kali sih ke Jakarta kok sampai nggak ngeh mana jalan menuju Soetta dan mana jalan menuju Halim!”
Nah, hari minggu kemarin, hal yang sama terjadi kembali. Kali ini bukan murni kesalahan dia, namun tetap saja saya dongkol saat ia berkeluh-kesah tentang penerbangannya yang kembali kacau.
Ia harusnya pulang dari Jakarta ke Jogja. Penerbangan menggunakan Lion pukul 7 malam. Entah bagaimana ceritanya, penerbangan ternyata dimajukan menjadi jam 6. Ia tampaknya tidak mendapatkan pemberitahuan karena memang tiket itu bukan dia yang beli, melainkan panitia acara yang mengundang Kalis sebagai pembicara.
Saat ia mau check in, petugas memberitahu Kalis bahwa pesawatnya sudah berangkat. Maka, tak ada hal lain yang ia lakukan selain menumpahkan perasaannya pada saya melalui telepon.
“Maaaaaaas….” ujarnya. “Aku ketinggalan pesawat lagi. Penerbanganku dimajukan, aku nggak tahu.”
“Lha kamu kenapa selalu datang mepet-mepet?” Balas saya dengan nada yang keras. Jujur, saya merasa sudah hilang simpatik pada insiden yang seperti itu, sebab itu sudah terjadi berulang kali.
“Aku sudah di bandara sejak jam lima!”
“Lha trus kenapa kamu nggak langsung check in?”
“Ya aku ngiranya kan penerbangannya jam 7, jadi aku santai-santai dulu, makan-makan dulu.”
Telepon saya tutup, saya dongkol setengah mati. Kenapa Kalis selalu saja terjebak pada lubang yang sama.
Ada banyak orang yang pernah ketinggalan penerbangan pesawat, dan dari sekian banyak itu, mungkin hanya Kalis yang menjadikannya sebagai hobi.
Malam tadi, Kalis mengirimi saya pesan di whatsapp. Dia minta tolong untuk ditransferkan buat bayar tiket pulang dari Jakarta ke Solo. Rencananya dia akan pulang besok karena sehari sebelumnya, ia harus menginap semalam di Jakarta sebab penerbangannya yang ketinggalan itu.
Sesaat setelah saya transferkan uang buat bayar tiket itu, ia kemudian mengirim pesan.
“Ya Allah, Mas. Aku ternyata salah beli tiket. Harusnya Jakarta-Solo, tapi aku belinya Jakarta-Jogja.”
Saya membacanya dengan perasaan yang sangat dongkol. Kesalahannya kali ini mengingatkan saya pada kesalahan yang juga pernah ia lakukan sebelumnya. Di mana ia berangkat ke bandara Adi Sucipto untuk terbang ke Jakarta, tapi ternyata tiket yang dibeli adalah tiket Jakarta-Jogja, bukan sebaliknya. Kesalahan yang kemudian membuat dia harus beli tiket lagi dengan harga yang tentu saja tidak murah.
Kalis ini kalau pas nulis di media atau pas ngisi acara, keenceran otaknya kelihatannya sangat wah. Saya sering terkagum-kagum. Tapi saat harus berurusan dengan pesawat, entah kenapa, kecerdasannya langsung berubah payah.
Kadang dalam hati saya berpikir, jangan-jangan ia memang sangat terobsesi dengan keledai.