Komnas Perlindungan Anak Seharusnya Mengapresiasi Kata “Anjay”, Bukan Malah Mempermasalahkannya

anjay

MOJOK.COKata Anjay itu lucu, imut, dan tidak kasar. Tidak seharusnya ia dihindari, ia justru lebih pantas untuk dirangkul.

Tentu saja tak pernah terpikir oleh kita sebelumnya bahwa kelak, akan ada satu masa ketika Komnas Perlindungan Anak muncul menjadi objek pemberitaan di banyak media karena mempermasalahkan penggunaan kata “anjay”. Dan sialnya, hal yang tak pernah terbayangkan itu kini benar-benar kejadian.

Sebagai sebuah lembaga yang berfokus pada kerja-kerja perlindungan hak anak, Komnas Perlindungan Anak sudah semestinya terkenal, namun sayang, keterkenalan itu justru hadir melalui perantara kasus sepele yang, kalau mau diukur menggunakan parameter apa pun, sungguh amat sangat jauh dari perkara anak.

“Ini adalah salah satu bentuk kekerasan atau bullying yang dapat dipidana, baik digunakan dengan cara dan bentuk candaan. Namun jika unsur dan definisi kekerasan terpenuhi sesuai dengan ketentuan Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, tindakan itu adalah kekerasan verbal. Lebih baik jangan menggunakan kata ‘anjay’. Ayo kita hentikan sekarang juga,” begitu terang Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait dalam pers rilis resmi yang disebarkan oleh akun Komnas Perlindungan Anak. “Jika istilah anjay digunakan untuk merendahkan martabat seseorang dapat dilaporkan sebagai tindak pidana. Maka itu harus dilihat perspektifnya.”

Tentu saja ini hal yang jenaka belaka. Pertama, akan sangat sulit untuk membuktikan seseorang merendahkan martabat seseorang lainnya dengan menggunakan kata anjay. Sejauh yang saya ketahui, di lingkungan pergaulan saya, kata anjay sama sekali tak ada kasar-kasarnya. Dan saya yakin, hal ini juga berlaku di banyak lingkungan pergaulan lainnya.

Kedua, secara etimologi, kata anjay ini terbentuk sebagai sebuah penghalusan dari kata “anjing”, ia satu ruangan bersama anjir. Ia tak ubahnya dengan kata “bajingfay” atau “bajinguk” yang terbit untuk menghaluskan kata bajingan atau kata tokai untuk menghaluskan kata tahi.

Jika merujuk pada sejarah munculnya kata tersebut, maka kata “anjay” seharusnya diapresiasi, sebab ia merupakan sebuah bukti lonjakan moral anak-anak bangsa yang merasa kurang sopan dan kurang pantas menggunakan kata anjing sehingga punya inisiatif untuk menggantinya dengan kata anjay.

Kata anjay seharusnya bisa menjadi representasi kebijakbestarian anak-anak Indonesia. Ia menjadi semacam mekanisme pertahanan diri untuk melindungi lidah dari kata-kata yang dianggap tidak pantas

Bayangkan, kata anjing yang kasar (itu pun kalau mau disebut kasar) bisa diolah sedemikian rupa menjadi sangat halus serupa bubuk tapioka. Lebih dari itu, ia juga menjadi lebih imut dan lucu.

Kalau kemudian kata anjay dianggap bisa menjadi senjata dalam tindakan kekerasan verbal, maka itu tentu saja sangat aneh. Kekerasan jenis apa yang bisa ditimbulkan oleh kata sehalus dan selembek anjay?

Secara teori begitu. Secara praktik lebih jelas lagi. Sepanjang saya hidup, belum pernah sekalipun saya menemukan ada orang dihinakan dengan kata anjay.

Lha gimana, seperti yang sudah saya sebut di atas, anjay itu kata yang lucu, maka kalau sampai ada orang dihina dengan kata anjay, misal “Memang dasar anjay, Lu!”, maka bukannya merasa terhina, jatuhnya malah geli dan jijik.

Komnas Perlindungan Anak seharusnya malah mencari siapa inisiator kata anjay dan memberikannya penghargaan. Setidaknya, itu jauh lebih punya hitungan faedah dan lebih punya sisi “memperjuangkan” moral anak-anak bangsa. Bukannya malah bikin pers rilis meminta orang-orang menghindari kata anjay.

Tapi yah, memang jalan pedang banyak lembaga itu berbeda-beda. Komnas Perlindungan Anak tampaknya memang menempuh jalan tersebut sebagai bagian dari mendekatkan diri dengan apa yang mereka perjuangkan.

Sebagai lembaga pelindung anak, mereka benar-benar terobsesi untuk bisa dekat dengan anak-anak. Saking dekatnya, mereka sampai tampak seperti anak-anak itu sendiri.

Pers rilis itu buktinya.

Exit mobile version