MOJOK.CO – Dendam terhadap apa pun yang berbau pembullyan rasanya bisa tersalurkan setelah menonton The Uncanny Counter
Di beranda Facebook dan Twitter saya beberapa minggu yang lewat, kawan-kawan saya mendadak ramai membicarakan serial The Uncanny Counter, serial Netflix asal Korea Selatan yang merupakan hasil adaptasi dari serial Webtoon dengan judul yang sama karya Jang Yi.
Serial yang secara resmi sudah merilis episode terakhirnya pada 24 Januari 2021 tersebut berhasil memecahkan rekor rating tertinggi sepanjang sejarah OCN.
Banyaknya orang yang menonton serial tersebut membuat saya sedikit terpengaruh juga untuk menonton. Saya menaksir bahwa kemungkinan saya hanya akan betah menonton serial tersebut mentok sampai episode 2 atau 3, sebab selama ini, saya memang jarang sekali menonton serial Korea sampai selesai. Satu-satunya serial Korea yang berhasil saya tamatkan di Netflix hanyalah Kingdom, setelah itu tak ada lagi. Bahkan Start Up yang sangat terkenal itu pun saya hanya kuat sampai episode ke-6.
Namun keparat, ternyata The Uncanny Counter ini berbeda. Saya betah dan bahkan ketagihan menontonnya sampai akhir. Beruntung saya menonton saat seluruh episode serial ini sudah dirilis, sehingga saya tak perlu menunggu episode terbaru setiap minggu untuk menontonnya.
The Uncanny Counter bercerita tentang sekelompok orang yang mendapat tugas sebagai seorang Counter, yakni semacam pasukan yang punya job desk untuk mengembalikan roh jahat yang turun ke bumi dan merasuki orang-orang yang suka membunuh.
Siapa saja yang mendapatkan tugas sebagai Counter ini akan mendapatkan kekuatan khusus, di antaranya adalah mampu membaca masa lalu, mampu menyembuhkan penyakit, serta punya kekuatan fisik 4-5 kali lipat dari kekuatan fisik manusia biasa.
Kelak, saya menyadari bahwa salah satu sebab kenapa saya begitu menyukai serial ini adalah karena saya menemukan semacam kepuasan berbalut dendam atas kejahatan dan ketidakadilan.
Tokoh utama serial ini adalah seorang anak SMA bernama So Mun. So Mun, dan kawan-kawannya seangkatannya sering dibully dan mendapatkan perlakuan tak mengenakkan dari senior mereka di sekolah. Mereka sering dipukuli, dimintai uang, sampai diminta untuk melakukan hal-hal seperti membawakan tas dan lain sebagianya.
Suatu saat, So Mun amat marah karena dua sahabat karibnya, Kim Woong Min dan Im Joo Yeon dibully habis-habisan anak-anak yang dipimpin oleh Baek Jun Gyu dan Shin Hyeok Woo.
So Mun, dengan kekuatannya sebagai Counter pun kemudian menghajar semua orang yang membully dua sahabatnya. Orang-orang tentu tak menyangka bahwa So Mun, yang selama ini dikenal lemah (karena memang kakinya pincang akibat menjadi korban kecelakaan mobil saat kecil) ternyata bisa menghajar para pembully yang bahkan punya postur tubuh yang jauh lebih besar.
Jujur, bagi saya, ada semacam kepuasan saat menonton So Mun itu menghajar para pembully. “Modiar, kowe!” teriak saya penuh emosi saat So Mun menghajar telak anak buah Baek Jun Gyu yang berpostur sangat besar sampai terkapar, hal yang kemudian membuat wajah Baek Jun Gyu ketakutan.
Saat melihat wajah Jun Gyu yang ketakutan itulah saya merasa ada semacam kebahagiaan yang merayap dalam diri saya.
Betapa menyenangkannya melihat orang yang bertindak sewenang-wenang akhirnya mendapatkan pembalasan yang sepadan, apalagi jika ditambah dengan rasa malu, karena dihajar langsung oleh orang yang seharusnya menjadi korban bully mereka.
Bagi saya, menonton The Uncanny Counter membuat kebutuhan saya untuk melihat keadilan ditegakkan rasanya terpenuhi. Entah kenapa, walau hanya film, yang tentu tak akan terjadi di dunia nyata, namun ia tetap membuat saya puas.
Di Youtube, saya sering menonton video-video instan karma, dan yang saya rasakan ternyata sama seperti saat saya menonton The Uncanny Counter, saya seperti merasakan sensasi kepuasan tentang bagaimana keadilan seharusnya berlaku.
Menonton The Uncanny Counter membuat saya sering berangan-angan suatu saat, saya, atau mungkin orang lain, akan mendapatkan kekuatan super yang kemudian digunakan untuk menghajar siapa saja yang berbuat zalim dan batil, menembak orang-orang yang korup, mematahkan kaki dan tangan para pejabat yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri, atau menampar sampai sekarat orang-orang yang tega mengambil hak orang lain hanya demi memperkaya diri mereka sendiri.
Selayaknya angan-angan, tentu saja hal itu terasa susah untuk benar-benar terwujud. Namun justru karena saya sadar hal itu susah untuk terwujud, saya jadi merasa sudah cukup puas melihat hal-hal semacam itu terjadi walau hanya melalui film. Dan Uncanny Counter adalah salah satunya.
Di sanalah saya bisa menyaksikan sekelompok pembully dihajar habis-habisan oleh satu orang saja. Dan sungguh, itu sangat memuaskan.