MOJOK.CO – Kemungkinan rekonsiliasi antara kubu Jokowi dengan Prabowo semakin membesar. Sekilas ini ide menarik dan solutif. Hm, benarkah?
Sudah hampir 5 tahun ke belakang, peta perpolitikan di Indonesia mirip kayak El Clasico Real Madrid vs Barcelona. Sengit, seru, dan mungkin sedikit brutal.
Grup-grup kecil yang tadinya punya misi masing-masing akhirnya mengelompok menjadi dua. Mereka yang tadinya punya gagasan berbeda-beda mendadak berkumpul menjadi organisasi yang ketara betul identitasnya.
Di posisi elite—sejak 2014—kita punya koalisi partai bentukan PDIP dan Gerindra. Di ketokohan kita punya Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Sedangkan di arus bawah ada cebong dan kampret, atau kalau mau menghaluskan istilah itu ya pakai Prabower dan Jokower saja. Singkirkan sejenak soal mereka yang golput, kita bahas itu nanti.
Sekalipun kita mencak-mencak dan gerah dengan polarisasi yang terjadi sejak Pilpres 2014 sampai berlanjut ke Pilpres 2019, namun sejatinya keadaan Indonesia “masih baik-baik saja”. Saya beri tanda kutip, karena memang nggak sepenuhnya baik-baik saja.
Kerusuhan 22 Mei silam—misalnya—dengan indikasi adanya kelompok misterius yang menginginkan negara ini kacau dan sekilas seperti rencana kudeta, tak bisa ditolak berhasil bikin kita waswas. Meski akhirnya situasi terkendali, ya tetap saja itu tidak bisa dibilang kalau keadaan 100 persen negeri ini sedang baik-baik saja.
Di sisi lain secara umum kita masih bisa beli rokok ke Indomaret atau Alfamart tanpa perlu khawatir nyawa melayang, ke luar kota dengan tenang tanpa perlu lewati medan perang, atau sekadar salat jumat dengan beban kekhawatiran cuma soal sandal yang hilang.
Bolehlah dikatakan, aman tak aman belakangan ini masih berputar pada persoalan perspektif dan di mana kamu menempatkan posisi saja.
Malah, kalau mau melihat situasi apa yang lebih runyam ya tak usah melalui kekhawatiran soal harga sembako naik (misalnya) atau ikut asyik menyaksikan Sidang MK, melainkan tengok simbiosis apa yang ada di Istana dan Rumah Kertanegara sana.
Konon, pembicaraan rekonsiliasi antara kubu Prabowo dengan kubu Jokowi sedang dalam proses peracikan sempurna. Jauh dari genggap gempita rakyat yang sedang harap-harap cemas menanti keputusan Sidang MK.
Kabar ini mungkin terdengar masih sumir belaka. Dianggap mustahil dan sangat tidak masuk akal. Apa untungnya bagi keduanya? Buat apa dua kekuatan besar ini berembug bersama? Bukankah masing-masing sudah mewakili—hampir sama kuatnya—separuh suara rakyat Indonesia?
Setidaknya hanya Majalah Tempo edisi 22 Juni 2019 yang berani mengungkapnya. Hal yang membuat saya juga terkejut saat membaca laporannya.
Ketika mata kita tajam menatap saksi-saksi di Sidang MK, Ustaz Rahmat Baequni yang jadi tersangka, sampai Deddy Corbuzier yang mualaf secara tiba-tiba, dari laporan yang disusun oleh Jurnalis Tempo, Hussein Abri menunjukkan dengan sedikit telanjang bagaimana peta politik Indonesia di kemudian hari bisa saja ditentukan arahnya.
Laporan di Majalah Tempo ini memaparkan indikasi-indikasi yang menyasar kalau kubu Prabowo Subianto sangat dimungkinkan untuk berkenan merapat ke kabinet. Sedikit melunak karena godaan-godaan yang menggiurkan dari Petahana.
Bahkan dari proses ini muncul semacam kode bernama “212”. Dua-satu-dua yang merupakan istilah dua jatah Menteri dan satu jatah Ketua MPR. Hal yang barangkali jadi sebab kenapa laporan ini berjudul “Kepala Intel dan Rekonsiliasi ‘212’”.
Bahkan dengan berani Majalah Tempo menyebut nama-nama besar di sana. Setidaknya, menurut laporan tersebut, diindikasikan Luhut Binsar Panjaitan sampai Budi Gunawan punya peran dalam proses “mempersatukan” Jokowi dengan Prabowo Subianto di sana.
Masalahnya, rembugan elite ini—bagi saya—masih belum terkonfirmasi dengan baik. Sebab berkali-kali beberapa pihak BPN Prabowo-Sandi dan TKN Jokowi-Ma’ruf menampik dengan jawaban yang—yah normatif-normatif saja. Meski ada juga pihak-pihak yang membenarkan info tersebut—setidaknya yang mereka memberi informasi ke Majalah Tempo.
Tentu saja saya tak akan mengungkap semua isi laporannya di sini, kalau kamu penasaran ya silakan beli atau berlangganan saja majalahnya. Saya cuma memaparkan apa yang akan terjadi kalau Jokowi dan Prabowo rekonsiliasi dan sepakat dengan tawaran-tawaran di belakangnya.
Wajar saya kira kalau beberapa pendukung Prabowo merasa tidak sepakat. Mau marah pun kayaknya juga sah-sah saja. Sudah diperjuangkan sedemikian rupa kok malah keluar isu mau gabung sama Petahana?
Jangankan soal dugaan tawaran “212” tersebut, soal ide rekonsiliasi sejak awal pun beberapa elite Gerindra tak percaya. Bahkan menurut Arief Poyuono, pengurus partai terbelah-belah sejak hasil suara KPU keluar.
Ada yang meminta Prabowo menerima kekalahan dan segera gabung ke Pemerintah, ada yang tak sepakat membawa kasus ini ke Sidang MK, ada pula yang bersikukuh tidak akan masuk kabinet apapun tawarannya.
Menjadi menarik tentu saja kalau membayangkan kubu Prabowo benar-benar mau melunak karena tawaran-tawaran ini. Sebab pertaruhannya bukan lagi Jokower dan Prabower di masa depan, tapi benar-benar “kelompok masyarakat tertentu” dengan pemerintah.
Bakal muncul pihak-pihak yang tak terakomodasi suaranya. Terutama pemilih Prabowo yang sebagian besar tidak menyukai Pemerintahan Presiden Jokowi. Kalau Prabowo dan Jokowi berekonsiliasi betulan, kita mungkin gembira, Jokower dan Prabower bersatu—pada akhirnya.
Namun hal ini juga tidak sepenuhnya baik karena tanpa adanya polarisasi ini, keadaan bisa runyam karena kubu akan semakin banyak yang memisahkan diri. Keadaannya bakal jadi makin abu-abu. Tak jelas apa lawan apa, siapa lawan siapa.
Itu baru di ranah arus bawah. Di posisi elite, peta politik bakal tidak berimbang lagi. Oposisi dan Petahana bakal jomplang. Dan pemerintahan tanpa oposisi yang sama kuatnya justru rentan untuk disalahgunakan.
Setidaknya, komentar Andrea Rosiade dalam penutup laporan Majalah Tempo ini sedikit membawa angin segar bagi saya. Katanya, Gerindra dan koalisinya akan konsisten menjadi oposisi.
Dari semua pertentangan yang pernah dialami Jokower dengan Andrea Rosiade, agaknya Jokower perlu mempertimbangkan untuk menyetujui ide Andre yang ini. Sebab yang jadi persoalan kita bukanlah polarisasi, kubu-kubuan, dan segala macamnya, melainkan cara komunikasi yang buruk satu sama lain selama lima tahun ini. Itu saja.
Sebab mau bagaimapun buruknya, lawan politik itu harus selalu ada. Kalau sebuah pemerintah kok tidak punya oposisi yang sama kuatnya, negeri ini justru malah semakin berbahaya. Keadaan akan semakin buruk kalau pihak yang berkuasa ternyata satu suara.
Kalau sampai hal ini tidak disetujui juga oleh para Pemilih Jokowi, hanya karena alasan moral-klise agar negeri ini tak terbelah lagi, maka jangan salahkan kalau ke depan kelompok-kelompok golput yang pernah kalian sebut sebagai pengecut itu justu bakal semakin membesar di kemudian hari, lalu menunjukkan taringnya.