Beberapa waktu yang lalu, di beranda Facebook saya, banyak kawan yang nge-share postingan tentang foto spanduk kampanye seorang caleg bernama Romy Bareno Ilyas.
Foto spanduk tersebut cukup eye catching, foto si caleg yang pasang tampang merenges, lengkap dengan slogan yang sangat heroik: “Saatnya Hijrah”, serta ditambah dengan unsur yang sejatinya, paling menyita perhatian, yakni foto Karni Ilyas, dedengkotnya Indonesia Lawyer Clus, di belakang foto sang caleg.
Belakangan diketahui bahwa ternyata, si caleg ini adalah putra kandung Karni Ilyas. Anak kandung host bersuara berat ini usut punya usut ternyata memang maju sebagai caleg DPR RI Dapil Jabar VI (Depok dan Bekasi) melalui Partai Partai Amanat Nasional (PAN) nomor urut 3.
Keberadaan foto Karni Ilyas dalam spanduk kampanye Romy itulah yang kemudian mengundang perhatian banyak orang. Di beberapa postingan foto spanduk kampanye tersebut, Romy banyak dihujat. Maklum, bagi banyak orang, membawa-bawa sosok bapak sebagai media kampanye memang dianggap sebagai hal yang cukup menyebalkan. Ia menjadi semacam bukti bahwa si caleg tidak percaya diri dan tidak yakin atas kemampuannya sendiri, sehingga merasa perlu untuk mencantumkan foto bapaknya yang sudah kadung kesohor dan punya nama besar.
Di Indonesia, hal seperti ini sejatinya memang bukan hal yang baru. Toh, di Indonesia ini, banyak orang yang selalu ingin tampil, tapi ragu dengan dirinya sendiri, sehingga ia merasa perlu mendompleng (untuk tidak menyebutnya sebagai memanfaatkan) nama besar orang-orang tedekatnya.
Jangankan dalam dunia kontestasi politik, dalam bermasyarakat pun, banyak orang yang merasa hebat hanya karena punya orangtua atau saudara orang penting.
“Bapak gue aparat, lo mau apa?”
“Gua anaknya X, sini kalau berani!”
“Bapakku dines neng polsek, rasah macem-macem!”
“Dsb…”
Dalam kontestasi politik, menggunakan nama besar orang terdekat sebagai alat pengerek elektabilitas adalah salah satu cara yang sangat kuno, norak, namun sayangnya, kerap terbukti ampuh.
Anak menggunakan kebesaran nama bapak tentu sah-sah saja, sebab ia memang tidak melanggar aturan kampanye. Jangankan anak membawa nama bapak, lha wong bapak membawa nama anak saja juga ada.
Dulu, Rafflyn Lamusu sewaktu nyaleg lewat Partai Peduli Rakyat Nasional untuk DPRD Kota Gorontalo pada 2009 lalu, ia juga menebeng nama besar anaknya. Di spanduk kampanyenya, tertulis “Rafflyn Lamusu, Papanya Cyntya Lamusu”.
Bukan hanya hubungan anak-orangtua, hubungan cucu-kakek pun tak ketinggalan.
Di kampung halaman saya sendiri, Magelang, salah satu cucu Jenderal Sarwo Edhie melakukannya. Ia memasang spanduk untuk mempromosikan dirinya sebagai seorang politisi dengan mendompleng nama besar kakeknya.
“Cucu Sarwo Edhie Wibowo”, begitu tulisan yang terpampang dalam banner bertebaran di berbagai pelosok Magelang.
Kita sebagai seorang pemilih tentu saja dongkol dengan fenomena yang demikian. Sebab, seorang anggota legislatif seharusnya dinilai dari kinerja dan kapasitasnya sebagai seorang politisi, bukan berdasarkan dia anak siapa atau saudaranya siapa.
Rasanya memang tak ada yang lebih tepat selain tidak memilih orang-orang seperti itu, orang-orang yang dengan ringannya menggunakan nama besar orangtua atau saudaranya sebagai bahan kampanye.
Masyarakat butuh sosok-sosok yang percaya diri pada kemampuannya, bukan sosok yang manja dan suka membawa-bawa nama besar orang terdekatnya.
Contohlah Jokowi, yang setiap kampanye tidak pernah mendompleng nama besar Kaesang atau nama besar Ibu Iriana…
Lak yo begitu, tho?