MOJOK.CO – Jika Jogja lockdown jadi solusi final, sudah sewajarnya kebutuhan warga dipenuhi oleh pemerintah. Tanpa terkecual, tanpa menyalahkan.
Saya baru saja selesai membaca tulisan Prabu Yudianto di Terminal Mojok. Prabu memberi judul “Pada Akhirnya, Jogja Lockdown Total Jauh Lebih Masuk Akal ketimbang Sayur Lodeh”. Tulisannya bagus sekali. Sangat mengena di hati pembaca apalagi penguasa… seharusnya.
Saya pribadi kaget ketika Pak Sultan bilang bahwa kalau kontrol di RT dan RW gagal, solusinya adalah lockdown. Apalagi Pak Sultan pakai istilah yang keren: lockdown totally. Saya kaget karena belum ada satu tahun yang lalu, orang yang sama menolak kebijakan ini. Katanya, warga Jogja jangan ditakuti-takuti, nanti kalau lapar bagaimana.
Waktu itu saya juga kaget. Kaget karena kalau lockdown, biar penyebaran covid bisa dicegah, ya tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan warga. Katanya ada UU-nya, kan. Kenapa Pak Sultan takut warganya lapar?
Apakah sebagai gubernur seumur hidup cum seorang raja, Pak Sultan nggak mampu menjaga kesejahteraan rakyatnya? Saya kaget.
Nah, kaget saya belum selesai. Masih lanjut. Pak Sultan bilang, “Kontrol di RT RW, kalau gagal, arep ngopo meneh, kita belum tentu bisa cari jalan keluar….”
Gimana ya. Ucapan Pak Sultan itu seperti menyingkirkan sebuah fakta. Saya masih ingat ketika banyak dukuh dan kampung yang melakukan isolasi mandiri. Mereka melakukannya secara mandiri, tanpa menunggu gerak bekicot penguasa. Pokok e mlaku sik, gotong royong, lung-tinulung.
Nyatanya, banyak dukuh dan kampung yang “aman”. Namun, ketika pemerintah akhirnya bergerak, banyak dukuh dan kampung membuka pintu, covid datang dengan senang hati. Pariwisata mulai dibuka, wisatawan mulai banjir masuk Jogja. Ya kalau Pak RT dan Pak RW dikasih tahu untuk buka pintu, mereka bisa apa?
Kalimat Pak Sultan yang berbunyi, “… kita belum tentu bisa cari jalan keluar,” ini seperti meremehkan kesadaran orang-orang Jogja. Padahal beliau itu seorang raja. Kalau raja sudah nglokro dan nggak tegas, ya siapa mau dijadikan panutan?
Saya bilang meremehkan karena ketika warga terhimpit, rasa saling menjaga justru menjadi kuat, kok. Lockdown pribadi itu diwarnai dengan menjamurnya pasar cantol. Warga yang lebih mampu mencantolkan bahan pangan ke pagar. Ada juga yang meletakkannya di atas meja. Warga yang membutuhkan tinggal mengambil. Ada juga yang menukarnya dengan bahan makanan lain.
Ketika ada warga yang positif corona, Pak RT langsung mengumumkannya. Warga berganti-gantian mengantar bahan makanan ke depan rumah warga yang positif. Rasa tepa selira dan gotong royong itu ada di dalam hati warga Jogja. Jika penguasa bisa memberi contoh nyata, ha mbok yakin, warga akan bersatu dan saling menjaga, bahkan ketika Jogja lockdown totally.
Sementara itu, Pak Sultan malah seperti menyalahkan rakyatnya. “Kita pemerintah juga sulit kalau masyarakat tidak mengapresiasi diri sendiri untuk bisa disiplin.”
Pripun nggih, Ngarso Dalem. Lha sayane malah sedih je. Pihak yang membuka pintu untuk wisatawan itu ya siapa? Apa ya Pak RT? Pak Dukuh?
Warga sudah pernah disiplin. Mengunci diri di dalam kampung-kampung sendiri. Perut satu warga dipuaskan oleh warga lain. Saling menjaga, tak membutuhkan campur tangan penguasa. Namun, ketika warga Jogja lockdown pribadi, kami menyaksikan gelombang wisatawan tak pernah benar-benar surut.
Malah diberi karpet merah. Diajak masuk. Demi ekonomi. Demi kesejahteraan sebuah provinsi, bukan isi. Ketika terjadi lonjakan corona, lagi-lagi, yang disalahkan adalah rakyat. Kami dianggap sekelompok orang bodoh, bandel, ngeyel, ndugal. Kami nggak pernah diberi contoh. Kami tidak diuwongke, dianggap sebagai manusia yang ada.
Sekarang, yang terjadi adalah benturan-benturan di dunia maya selepas Pak Sultan bilang Jogja lockdown adalah solusi tunggal. Ada yang setuju sekaligus marah kenapa nggak dari dulu. Ada yang ngamuk ke yang setuju karena kalau lockdown, pendapatan mereka berkurang.
Coba saja cek di berbagai kanal media sosial. Benturan itu sudah terjadi. Kembali, saya dibuat kaget sama cara Pak Sultan berkomunikasi.
Maksud saya begini. Kalau memang Jogja lockdown itu solusi final, ya sudah segera dieksekusi. Namun, ketika penguasa bilang lockdown, ya kalimatnya jangan berhenti di situ. Penguasa sudah sewajarnya menularkan ketenangan, bukan kepanikan dan miskin solusi.
Kalau mau bilang lockdown, ya dibarengi dengan penjelasan. Misalnya, Pak Sultan menegaskan bahwa selama lockdown, kebutuhan rakyat Jogja dipenuhi oleh pemerintah. Lumbung-lumbung kraton akan dibuka. Kekayaan kraton akan dihabiskan demi keselamatan warganya.
Itu yang juga seharusnya dikomunikasikan seorang raja. Bukan hanya mentok menyalahkan rakyat sebagai “subjek yang nggak disiplin”. Jangan sampai rakyat bentrok di berbagai platform hanya karena ketidakpastian nasib, hanya karena sebuah wacana tanpa kepastian.
Jika Jogja lockdown, ada banyak rakyat kecil yang kesusahan. Para pedagang pasar, tukang parkir, kuli bangunan, hingga pengayuh becak. Ketika bicara Jogja lockdown, mereka-mereka ini yang harusnya digapai lewat komunikasi yang baik. Bukan hanya menyalahkan dan seperti cuci tangan dari kesalahan.
Ya memang, banya warga yang tidak disiplin. Tidak pakai masker, tidak mencuci tangan, tidak menjaga jarak. Namun, ada banyak juga yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk sendika dawuh. Namun, apa lacur, keluarga mereka tetap mati karena covid.
Apakah cuci tangan dari sumber masalah, menyalahkan sekaligus membenturkan rakyat sendiri sudah jadi kebiasaan? Ngono ya ngono, ning ojo ngono.
BACA JUGA Kondisi Terkini Jogja buat yang Kangen dengan Kota Penuh Kerinduan Ini dan tulisan Yamadipati Seno lainnya.