Jadi Penggemar Kpop Memang Salah Banget, ya, Buatmu?

MOJOK.CO Teruntuk orang-orang yang menertawakan kami, orang-orang yang lagi seneng-senengnya jadi penggemar Kpop.

Bahasan soal Kpop memang tak ada habis-habisnya di Wkwk Land. Meski banyak Kpopers di Indonesia, banyak pula yang tak menyukai Kpop, baik karena si idola Korea dianggap plastik dan tukang dandan, beberapa orang membenci Kpop karena penggemar-penggemarnya sering bersikap lebay dan aneh. Alasan terakhir inilah yang mendorong gelombang kebencian terhadap aku-akun ava Korea di media sosial.

Bahasan soal penggemar Kpop menjadi seksi, lengkap dengan cemoohan dan tertawaan.

Sebagai orang yang dulu pernah kecebur di dunia Kpop, saya sempat merasakannya: betapa mencintai Korea dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan tidak menarik, sedangkan teman saya yang penggemar beratnya Justin Bieber dianggap normal dan wajar.

Jangankan orang lain, wong dua sisi diri saya bisa ditanggapi dengan berbeda: saya yang menggemari Super Junior dan memutuskan untuk mengoleksi album-albumnya, lengkap dengan beberapa merchandise, kesempatan nonton konser, dan mengunduh seluruh video resminya, dianggap jauuuuuh lebih freak dibandingkan diri saya sendiri yang—di saat bersamaan—mengoleksi barang-barang berbau Harry Potter, mulai dari replika tongkat sihir, topi seleksi, sampai seragam Hogwarts.

Aneh banget, kan???

Lebih aneh lagi, ada banyak media membahas permasalahan Kpop ke wilayah yang lebih luas, tapi—lagi-lagi—selalu terkesan merendahkan Kpoper. Bahasan mengenai “kenapa Kpoper bisa fanatik”, “kenapa Kpoper lebay”, “kenapa Kpoper aneh”, dan lain sebagainya tak pernah sepi peminat. Satu-dua reply pun rasanya sah-sah saja untuk melemparkan ejekan kepada mereka—kaum-kaum ber-ava Korea.

Yang terbaru, CNN Indonesia baru saja memproduksi tulisannya terkait penggemar Kpop melalui twit berikut ini.

Biar saya kutip baik-baik: “Demi mendapatkan ‘status’ fanatik, tak jarang para penggemar Kpop harus merogoh kocek lebih dari sekadar membeli album.”

Uh, helllaaaaaw??? “Demi mendapatkan status fanatik”??? Like, seriously, CNN???

FYI aja nih, ya, walaupun dulu saya suka sekali sama Super Junior sampai ubun-ubun, saya jauh lebih tertarik berusaha dan berdoa demi mendapatkan status ‘Kawin’ di KTP, bukannya status ‘fanatik’ demi idola Korea. Heran—segitunya ya harus merendahkan penggemar Kpop, seakan-akan kami nggak punya urusan lain di dunia ini?

Lagi pula, saya benar-benar penasaran dan ingin bertanya: apa, sih, salahnya menjadi penggemar Kpop? Apa salahnya menjadi Kpoper yang tampak begitu mengagumi idolanya dan memutuskan menggunakan ava Korea? Lebih spesifik lagi pada artikel yang ditulis CNN, apa salahnya jadi Kpoper yang rela menghabiskan banyak uang demi keperluan penunjang hobi cinta-cintaan dengan Kpop???

Dulu, tahun 2012, saya pernah datang menonton konser Super Junior di Jakarta, tiket berdiri tepat di depan panggung. Harganya memang tidak murah—hampir 2 juta rupiah. Banyak orang yang mengirimkan sindiran pedas: buat apa kamu ngabisin uang banyak-banyak demi nonton? Uangnya siapa yang kamu pakai, segitu banyak?

Saya ngirit, sebagaimana yang dilakukan Kpoper lainnya. Kami berusaha keras menyisihkan rupiah demi sehelai gelang tiket yang mungkin bakal jadi satu-satunya pengalaman seumur hidup. Terus, apakah menurut Anda-Anda sekalian kami-kami ini rela beli tiket mahal-mahal cuma demi disapa orang, “Ooooh, kamu sekarang udah fanatik, ya?”, gitu???

Ya nggak, lah, Fernandoooo!

“Habisnya kalian aneh, sih, rela ngeluarin uang demi orang yang nggak kalian kenal!”

Duh, monmaap, nih sebelumnya—memang hobi-hobi lainnya nggak ngeluarin uang juga? Budaya idola yang lain, mulai dari JKT48 sampai Rossa dan Afgan sekalipun jelas bisa melestarikan budaya “ngeluarin uang” demi idola, lah, Saudara-saudara sekalian. Apalagi kalau jadi penggemarnya Anang dan Ashanti—pasti ada kecenderungan beli album baru, beli kosmetik Ashanti dan Aurel, sampai makan di tempat makan yang juga jadi lini bisnis mereka. Terus, apakah itu namanya bukan “ngeluarin uang” juga???

“Demi mendapatkan status fanatik…”

Sekali lagi, walaupun saya dulu suka sama Super Junior sampai ubun-ubun—bahkan hafal ulang tahun membernya satu-satu—saya jauuuuh lebih tertarik berusaha dan berdoa demi mendapatkan status ‘Kawin’ di KTP, bukannya status ‘fanatik’ demi idola Korea. Alih-alih fanatik, kebiasaan ini lebih disebabkan karena—dengerin nih, CNN—kebutuhan kepuasan batin.

NAH!!!

Jadi gini, Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian. Hobi kami kebetulan berbeda dengan hobi Anda-Anda yang lebih konvensional, seperti bercocok tanam, bersih-bersih kamar ala Marie Kondo, atau membaca buku-buku politik untuk bekal pengetahuan menjelang pilpres.

Hobi kami, sayangnya, adalah menggemari idola Kpop, termasuk mengoleksi album dan merchandise-nya—tentu saja dengan uang tabungan kami sendiri yang tidak minta-minta dari kamu-kamu sekalian. Pertanyaannya: apakah ini berarti hobi kami jadi lebih tidak berharga dibandingkan hobimu?

FYI aja, nih, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Annals of Behavioral Medicine menyebutkan bahwa 34 persen orang yang melakukan hobinya terbukti tidak merasa lebih stres. Bahkan, mereka juga merasa bahagia, detak jantung lebih stabil, dan perasaan jadi lebih tenang selama berjam-jam.

NAH ITU, ITU LOH, GAES-GAESKU!!!

Kenapa penggemar Kpop menyukai Kpop? Kenapa Kpoper aneh dan lebay, sekaligus suka banget beli-beli album dan merchandise, bahkan nonton konser jauh-jauh dan mahal-mahal? Kenapa???

Jawabannya ya cuma satu: demi memenuhi kebutuhan hobi, bukan sekadar demi status fanatik yang kamu-kamu itu bilang.

Dan, ingat, perkara hobi itu balik ke masing-masing orang—bukan untuk kamu campur-campurin demi membuat penggemar Kpop lebih rendah daripada hobimu yang mungkin-mungkin saja lebih fancy, misalnya koleksi mobil mewah, koleksi kostum cosplay, bersepeda (lengkap dengan seluruh peralatan dan sepatu!), golf, bahkan ‘sekadar’ arisan sosialita.

Apakah penggemar Kpop akan selamanya jadi penggemar Kpop?

Bisa iya, bisa nggak. Saya sendiri sudah tidak selalu mengikuti update dari grup favorit, mulai dari Super Junior, EXO, SNSD, hingga Gfriend, tapi sesekali masih mendengarkan, meski tak lagi mengejar target album-album baru dan merchandise resmi. Percayalah: ini cuma urusan waktu. Toh, hobi bisa berkembang—atau berubah—seiring bertambahnya usia.

Yah gini aja, deh: hobiku, hobiku; hobimu, hobimu. Selama tidak menganggu ketenangan publik, memang salah banget, ya, jadi penggemar Kpop di matamu?

Exit mobile version